Struktur Ekonomi, Pertentangan Kelas, Dan Perubahan Sosial: Teori Sosial Karl Marx
Posted by DENBAGUS in TOKOH - TOKOH DUNIA
Bayangkan bahwa pendapatan anda lima kali lebih besar daripada yang sekarang ini. Apa pengaruhnya terhadap cara anda melihat dunia ini? Apakah gagasan-gagasan politik dan pandangan anda mengenai siapa yang harus membayar pajak lebih banyak dan siapa yang harus diberi keringanan akan tetap sama? Perubahan-perubahan apa kiranya yang terjadi dalam nilai-nilai dasar dan gaya hidup anda? Orang macam apa yang akan anda lihat sama dengan anda dalam kedudukan ekonomi, budaya, dan pandangan hidupnya? Pertanyaan-pertanyaan sepertti itu dapat membantu kita untuk peka terhadap pengaruh pentingnya kedudukan dalam hirarki ekonomi terhadap nilai-nilai serta tanggung jawab ideologi kita, pola-pola budaya dan hubungan-hubungan sosial dan kesejahteraan materil serta gaya hidup kita, melihat pentingnya kondisi materil itu, terhadapnya individu harus menyesuaikan diri atas dasar kedudukan ekonomi, merupakan satu dasar utama teori Marx.
Kehidupan individu dan masyarakat kita didasarkan pada asas ekonomi. Antara lain ini berarti bahwa institusi-institusi politik, pendidikan, agama, ilmu pengetahuan, seni, keluarga, dan sebagainya, bergantung pada tersedianya sumber-sumber ekonomi untuk kelangsungan hidup. Juga berarti bahwa institusi-institusi ini tidak dapat berkembang dalam cara-cara yang bertentangan dengan tuntutan-tuntutan sistem ekonomi. Pendirian dan pemeliharaan perpustakaan dan museum sebagai tempat kebijaksanaan politik, kesenangan keluarga dalam suatu perjalanan liburan, suatu penelitian seorang ilmuwan, mobilisasi suatu kumpulan orang untuk mengambil jumlahnya tidak dapat dilaksanakan tanpa sumber ekonomi dan dasar materil yang diperoleh lewat kegiatan ekonomi. Dasar ekonomi ini dilihat Marx sebagai “insfrastruktur” di atas mana “superstrukur” sosial dan budaya yang lainnya dibangun dan harus menyesuaikan diri dengannya.
Kegiatan-kegiatan masyarakat dalam sektor nonekonomi tidak selalu secara sadar diarahkan ke tuntutan-tuntuan asas ekonomi; barangkali ada otonomi yang pantas diperhatikan dalam insititusi-institusi lainnya. Tetapi dalam analisa akhir, kegiatan-kegiatan dalam pelbagi institusi nonekonomi harus bergerak dalam batas-batas yang ditentukan oleh tuntutan-tuntutan ekonomi; dan dinamika-dinamika sosial yang khusus dalam institusi-institusi lainnya itu, dalam jangka panjang benar-benar bukan tidak dapat sesuai dengan dinamika-dinamika ekonomi. Individu dan keluarga yang mengetahui pentingnya faktor-faktor ekonomi dalam usahanya untuk “hidup sesuai dengan pendapatannya”. Juga seperti yang ditekankan Marx, tuntutan untuk mencari nafkah supaya bisa tetap hidup, dapat memakan waktu dan energi sedemikian besarnya, sehingga hampir tidak mungkin untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan lainnya.
Menurut perspektif kami di sini, pusat perhatian Marx adalah pada tingkat struktur sosial dan bukan pada tingkat kenyataan sosial budaya. Perbedaan yang kontras dengan gambaran Comte dan Sorokin mengenai kenyataan sosial dan pusat perhatian analisanya akan sangat jelas. Mereka melihat ide-ide yang dominan atau pandangan hidup sebagai kunci untuk memahami kenyataan sosial; Marx memusatkan perhatiannya pada cara orang menyesuaikan dirinya dengan lingkungan fisiknya. Dia juga melihat hubungan-hubungan sosial yang muncul dari penyesuaian ini dan tunduknya aspek-aspek kenyataan sosial dan budaya pada asas ekonomi ini. Walaupaun ide-ide yang dominan atau pandangan-pandangan hidup dasar itu kelihatannya merupakan kunci untuk memahami suatu masyarakat, dalam kenyataannya, ide-ide bersifat “epifenomena”; artinya ide-ide itu merupakan cerminan dari kondisi-kondisi kehidupan materil dan struktur ekonomi di mana orang menyesuaikan dirinya dengan kodisi-kondisi itu. Jadi, memusatkan perhatian pada tema-tema intelektual utama seperti yang dimanifestasikan dalam kesenian, ilmu, filsafat, dan seterusnya, sama dengan menerima suatu cerminan kenyataan yang salah atau yang diidealkan saja sebagai kenyataan itu sendiri. Dalam bidang-bidang kehidupan nonekonomi lainnya, orang mungkin mengalami suatu tingakat kebebasan dan otonomi oleh kondisi materil atau sumber-sumber dan kedudukan ekonomi mereka.
Bagi Marx, kunci untuk memahami kenyataan sosial tidak ditemukan dalam ide-ide abstrak, tetapi dalam pabrik-pabrik atau dalam tambang batu bara, di mana para pekerja menjalankan tugas yang di luar batas kemanusiaan dan berbahaya, untuk menghindaran diri dari mati kelaparan; dalam kalangan penganggur di mana orang menemukan harga dirinya sebagai manusia yang ditentukan oleh ketidakmampuannya untuk menjual tenaga kerja mereka di pasaran; dalam kantor-kantor kapitalis di mana analisa perhitungan pembukuan mengarah ke satu keputusan untuk meningkatkan penanaman modal daripada untuk meningkatkan upah; dan akirnya dalam konfrontasi revolusioner antara pemimpin-pemimpin serikat buruh dan mereka yang mewakili kelas kapitalis yang dominan. Peristiwa-peristiwa yang demikian itu merupakan kenyataan sosial, bukan impian naïf dan idealilstik yang dibuat oleh ilmu pengetahuan, teknologi dan pertumbuhan industri untuk meningkatkn kerja sama dan peningkatan kesejahteraan dalam bidang materil semua orang. Seperti kita akan lihat, Marx juga mempunyai pandangan mengenai masyarakat Utopis di masa depan, tetapi yang hanya dapat muncul melalui perjuangan revolusioner, tidak sebagai suatu pertumbuhan organis dari organisme sosial. Sebelum mendiskusikan ide-ide teoritis Marx, kita akan mencatat sepintas lalu beberapa segi yang menonjol dari lingkungan sosial dan intelektualnya.
Materialisme Historis Marx
Materialisme Hirtoris Marx (istilah yang tidak digunakan Marx) sangat berguna untuk memberinya nama pada asumsi-asumsi dasar mengenai teorinya, dan memberinya suatu pemahaman yang tepat. Dari The Communist Manifasto dan Das Capital, secara tradisional sudah diasumsikan bahwa tekanan utama Marx adalah pada kebutuhan materil dan perjuangan kelas sebagai akibat dari usaha-usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Dalam pandangan ini, ide-ide dan kesadaran manusia tidak lain daripada refleksi yang salah tentang kondisi-kondisi materil. Tambahan pada perhatian dipusatkan pada usaha Marx untuk meningkatkan suatu revolusi sosial sedemikian sehingga kaum proletariat dapat menikmati sebagian besar kelimpahan materil yang dihasilkan oleh industrialisme. Asumsi-asumsi tradisional ini agak menyimpang (bias). Marx sangat menekankan pentingnya kondisi-kondisi materil yang bertentangan dengan idealisme Hegel, tetapi dia tidak menyangkal kenyataan kesadaran subyektif atau peranan penting yang mungkin itu menentukan dalam perubahan sosial. Dia pasti tidak setuju dengan ahli filsafat materialis yang menekankan bahwa semua kenyataan tidak lebih daripada benda-benda yang bergerak. Juga dia tidak setuju dengan pandangan positivis bahwa teknik-teknik penelitian empiris yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam cocok untuk menjelaskan perilaku manusia atu perubahan sosial. Menurut Marx, suatu pemahaman ilmiah yang dapat diterima tentang gejala sosial menuntut si ilmuwan itu untuk mengambil sikap yang benar terhadap hakekat permasalahan itu. Hal ini mencakup pengakuan bahwa manusia tidak hanya sekedar organisme materil; sebaliknya, manusia memiliki kesadaran diri. Artinya, mereka memiliki suatu kesadaran subyektif tentang dirinya sendiri dan situasi-situasi materilnya.
Kelemahan-kelemahan Filsafat Abstrak Tradisional
Tekanan materialisme Marx harus dimengerti sebagai reaksi terhadap interpretasi idealistik Hegel mengenai sejarah. Filsafat sejarah ini menganggap bahwa suatu peranan yang paling menentukan adalah yang berasal dari evolusi progresif ide-ide. Marx menolak filsafat sejarah Hegel ini karena menghubungkannya dengan evolusi ide-ide sebagai suatu peranan utama yang berdiri sendiri dalam perubahan sejarah lepas dari hambatan-hambatan dan keterbatasan-ketebatasan situasi materil atau hubungan-hubungan sosial yang dibuat orang dalam menyesuaikan dirinya dengan situasi materil. Dalam pandangan ini, teori-teori idealistik seperti teori Hegel itu, mengabaikan kenyataan yang jelas bahwa ide-ide tidak ada secara terlepas dari orang-orang yang benar-benar hidup dalam lingkungan materil dan sosial yang sungguh-sungguh riil. Ide-ide adalah produk kesadaran subyektif individu-individu, tetapi kesadaran tidak terpisah dari lingkungan materil dan sosial; selalu kesadaran akan lingkungannya.
Marx menyatakan tekanannya ini sebagai berikut:
“Berlawanan langsung dengan filsafat Jerman yang turun dari langit ke bumi, di sini kita naik dari bumi ke langit. Itu untuk mengatakan, kita tidak bertolak dari apa yang dikatakan, digambarkan, dipahami orang, juga tidak dari orang seperti yang diceritakan, dipikirkan, dibayangkan, dimengerti, dengan maksud supaya kita sampai ke orangnya itu sendiri. Kita berangkat dari orang yang riil, aktif dan atas dasar proses kehidupan riil mereka kiat memperlihatkan perkembangan refleks ideologis serta gemarnya dari proses kehidupan yang riil ini….moralitas, agama, metafisika, semua ideologi lainnya serta bentuk-bentuk kesadaran yang berhubungan dengan itu tidak lagi memperlihatkan rupa kemandirian….Kehidupan tidak ditentukan oleh kesadaran, tetapi kesadaran ditentukan oleh kehidupan.
Pemikiran tentang sifat dunia ide sebagai kekuatan yang berdiri sendiri terpisah dari kondisi-kondisi materil praktis, tumbuh dari pemisahan antara pekerja kasar dan pekerja otak, atau dengan kata lain, dari munculnya kelas: orang-orang spekulatif. Terpisah dari kegiatan praktis sehari-hari, anggota-anggota kelas spekulatif itu, dapat mengkhususkan diri dalam menggali dan mengolah ide-ide, dengannya mereka kemudian secara salah menghubungkan pengaruh yang berdiri sendiri terhadap masalah-masalah manusia. Mengutip Marx:
“Pembagian kerja hanya terjadi, ketika pemisahan kerja kasar dan kerja otak muncul. Sejak saat itu dan seterusnya, kesadaran dapat benar-benar memegahkan diri bahwa kesadaran itu meruakan sesuatu yang lain dari kesadaran akan praksis yang ada, bahwa kesadaran itu menangkap sesuatu di luar yang riil; sejak itu dan seterusnya kesadaran berada dalam posisi membebaskan diri dari dunia dan terus menuju pembentukan teori, teologi, filsafat, etika, “murni”, dan seterusnya”.
Saling ketergantungan timbal balik antara pengalaman praktis dalam dunia materil dan dunia kesadaran dan ide-ide, diperhatikan Marx dalam pandangannya mengenai praxis. Meskipun secara konvensional diterjemahkan dengan practice, kata Jerman itu sebenarnya mengandung makna yang lebih dari kata Inggris. Dengan praxis Marx menunjuk pada kegiatan manusia yang dilaksanakan dalam konteks kondisi-kondisi materil dan sosial yang ada, meskipun dibimbing oleh suatu kesadaran yang terang mengenai kepentingan-kepentingan materil dan kebutuhan-kebutuhan dasar menusia. Praxis bertentangan dengan spekulasi intelektual murni dan mencakupi suatu kesediaan untuk menguji ideologi-ideologi yang dominan serta kondisi-kondisi sosial yang ada secara kritis.
Namun kritisisme filosofis hanya merupakan suatu langkah pertama saja. Tujuan akhirnya adalah utuk menerobos pengaruh filsafat yang bersifat membingungkan, yang dipisahkan dari kehidupan manusia yang riil, dan untuk merealisasikan tujuan dari kritisisme filosofis dalam kegiatan politik praktis. Perpaduan kritisisme filosofis dan kegiatan politik praktis harus berpusat pada manusia sebagai dasar berpikir utama yang memberi arah. Selama manusia dipaksa menderita atau mempertahankan kondisi materil dan kondisi sosial yang menekan dan menurunkan martabatnya perombakan kondisi-kondisi ini secara revolusioner harus merupakan tujuan praxis.
Konsepsi Matrealis Marx yang diterapkan pada perubahan sejarah untuk pertamakalinya dijelaskannya dalam The German Ideology, disusun bersama Engels. Tema pokok dalam tema ini adalah bahwa perubahan-perubahan dalam bentuk-bentuk kesadaran, ideologi-ideologi, atau asumsi-asumsi filosofis mencerminkan, bukan menyebabkan perubahan-perubahan dalam kehidupan sosial dan materil manusia. Kondisi-kondisi kehidupan materil bergantung pada sumber-sumber alam yang ada dan kegiatan manusia yang produktif. Manusia berbeda dari binatang dalam kemampuannya untuk menghasilkan kondisi-kondisi materil untuk kehidupannya; mereka tidak haya sekedar masuk ke dalam suatu tempat ekologis di alam atau menggunakan sumber-sumber materil menurut “sifat alamiah”-nya.
Juga manusia tidak menyesuaikan dirinya dengan alam atau mengolah lingkungan materilnya sebagai manusia yang terisolasi; sebaliknya, mereka masuk dalam hubungan-hubungan sosial dengan orang lain dalam usaha mencoba memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya (makanan, tempat tinggal, pakaian, dan seterusnya). Hubungan-hubungan produksi yang pokok ini menimbulkan pembagian kerja. Sangat erat hubungannya dengan pembagian kerja itu adalah munculnya hubungan-hubungan pemilikan yang mencakup pemilikan dan penguasaan yang berbeda-beda atas sumber-sumber pokok dan pelbagai alat produksi. Pemilikan dan penguasaan yang berbeda-beda atas barang-milik ini merupakan dasar yang asasi untuk munculnya kelas-kelas sosial. Karena sumber-sumber materil yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia bersifat langka, hubungan-hubungan antara kelas-kelas yang berbeda itu menjadi kompetitif dan antagonistis.
Juga tidak seperti binatang, kebutuhan manusia itu tak pernah terpuaskan. Manusia tidak membatasi kegiatan produktifnya pada tingkat minimal yang perlu untuk bertahan hidup. Begitu kebutuhan biologis pokok terpenuhi, kebutuhan baru muncul, dan pemenuhan kebutuhan baru ini menimbulkan bentuk-bentuk produksi materil yang baru, serta jenis-jenis hubungan sosial yang baru. Hasilnya adalah seperangkat kegiatan produktif yang kompleks yang bersifat saling tergantung, yang mencerminkan tingkat teknologi yang ada. Masing-masing kegiatan produktif individu yang khusus serta gaya hidup pada umumnya ditentukan oleh posisinya dalam pembagian kerja dan oleh penggunaan sumber-sumber materil yang tersedia.
Dalam kehidupan masyarakat yang terus berlangsung, kondisi-kondisi materil dan hubungan-hubungan sosial yang menyertainya ada lebih dulu dari individu dan independen dari setiap kemauan individu atau maksud-maksud yang sadar. Dalam skala yang lebih luas, setiap generasi mengkonfrontasikan lingkungan materil dan lingkungan sosial yang sudah ada yang meliputi pelbagai sumber, alat-alat, dan teknik-teknik produksi, pembagian kerja dengan pola-pola hubungan sosial yang pemilikan atau penguasaan atas alat-alat produksi yang berbeda-beda. Kegiatan individu, apakah itu diarahkan untuk sekedar mempertahankan hidup biologis, atau untuk memenuhi pelbagai kebutuhan manusia yang lain-lainnya, dibatasi oleh kedudukan sosial tertentu yang kebetulan dimilikinya dalam lingkungan sosial dan materil ini.
Juga cara individu melihat dunia (kesadaran subyektifnya) dikondisikan oleh kedudukannya yang tertentu dalam lingkungan materil dan sosialnya. Seperti yang berulang-ulang kali ditekankan Marx, kesadaran tidak terpisah dari pengalamaan aktual orang dalam dunia riil ini; secara asasi itu merupakan kesadaran akan pengalaman dunia-nyata ini. Hubungan erat antara pengalaman hidup riil individu dan keadaan mental subyektif juga berlaku untuk keseluruhan dunia kebudayaan, termasuk ide-ide dan ideologi, pengetahuan, etika, moral, dan standar-standar estetika. Tak satu pun dari pelbagai aspek kebudayaan ini yang terlepas dari dasarnya dalam dunia materil.
Namun demikian, dunia kesadaran subyektif dan ide-ide budaya tidak hanya suatu cerminan lingkungan materil dan sosial. Mungkin ada penyimpangan-penyimpangan yang mengaburkan dasar materil dan sosialnya. Memang, asumsi yang naïf bahwa ide-ide atau ideologi merupakan kekuatan penggerak utama dalam sejarah, merupakan suatu contoh yang baik dari penyimpangan itu, suatu penyimpangan yang dapat dijelaskan, sebagai akibat dari pembagian kerja seperti yang sudah dikemukakan di depan, antara kelas spekulatif dan kelas-kelas yang terlibat dalam produksi materil.
Penjelasan Materialistis Tentang Perubahan Sejarah
Diterapkan pada pola-pola perubahan sejarah yang luas, penekanan materialistis ini berpusat pada perubahan-perubahan cara atau teknik-teknik produksi sebagai sumber utama perubahan sosial dan budaya. Hal ini akan mencakup perkembangan teknologi baru, penemuan sumber-sumber baru, atau perkembangan baru lain apa pun dalam bidang kegiatan produktif. Perubahan-perubahan seperti ini dapat mucul dari usaha-usaha untuk meningkatkan strategi-strategi yang ada dalam menghadapi lingkungan materil, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada secara lebih efisien, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru yang muncul. Karena cara produksi dan kondisi-kondisi materil yang diakibatkannya berubah, maka kontradiksi-kontradiksi muncul antara cara-cara produksi dan hubungan-hubungan produksi. Kalau ketidakseimbangan ini menjadi cukup gawat, akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam hubungan-hubungan produksi, seperti dalam pembagian kerja, dengan mengakibatkan perubahan dalam struktur kelas, perubahan-perubahan dalam hubungan kelas atau hubungan pemilikan, munculnya kelas-kelas baru, atau mundurnya kelas-kelas lama, atau jenis-jenis perubahan sosial lainnya yang bertautan dengan itu.
Misalnya, di masa-masa awal Revolusi Industri, mekanisasi perusahaan secara besar-besaran dan teknologi pabrik yang berhubungan dengan itu tidak cocok lagi dengan hubungan-hubungan sosial yang terdapat dalam sistem produksi kerajinan tangan tradisional yang dilaksanakan suatu basis rumah tangga, serta merangsang perkembangan bentuk-bentuk hubungan sosial yang baru untuk mengantikan yang lama. Khususnya jenis-jenis hubungan yang sangat personal dan sangat terbatas yang mungkin dan cocok untuk produksi kerajinan rumah yang lama, diganti oleh hubungan sosial tipe-pasar yang sangat impersonal dalam pabrik-pabrik besar.
Dalam The German Ideology, Marx dan Engels menelusuri perubahan-perubahan utama kondisi-kondisi materil dan cara-cara produksi di satu pihak, dan hubungan-hubungan sosial serta norma-norma pemilikan di lain pihak, mulai komunitas suku bangsa primitif sampai ke kapitalisme modern. Komunitas suku primitif merupakan satu komunitas di mana kepemilikan dipunyai secara kolektif dan pembagian kerja sangat kecil. Tahap ini disusul oleh tipe struktur sosial komunal purba yang ditandai oleh bentuknya yang lebih besar dan pembagian kerja yang semakin tinggi, dan mulainya pemilikan pribadi. Tahap pokok berikutnya adalah sistem feodal, yang meliputi perkembangan lebih lanjut dalam pembagian kerja dan pola-pola kekayaan pribadi yang lebih ketat. Tahap feodal ini akhirnya memberikan jalan bagi cara-cara produksi borjuis dan hubungan-hubungan sosial yang menyertainya.
Tragedi tahap borjuis ini, berupa perombakan kehidupan komunal di bawah pengaruh ideologi-ideologi individualistik dan berkurangnya hubungan manusiawi, menjadi hubungan-hubungan pemilikan. Dalam tahap kapitalis, buruh upah proletar memiliki hubungan dengan majikan borjuis semata-mata sebagai seorang penjual tenaga kerja yang kegiatan produktifnya dipergunakan untuk menghasilkan produl-produk yang akan dijual dalam sistem pasar yang bersifat impersonal. Tahap ini akhirnya disusul oleh tahap komunis, yang menurut gagasan ideal Marx merupakan satu tahap di mana pemilikan pribadi akan lenyap dan individu-individu akan dapat berinteraksi dalam hubungan-hubungan komunal, tidak melulu ekonomi. Lebih lagi, aspek-aspek pembagian kerja yang menekan dan yang merendahkan martabat manusia akan diganti denga satu sistem yang memungkinkan individu untuk mengembangkan sebesar-besarnya kemampuan-kemampuan manusiawinya, daripada hanya terbatas pada suatu bagian kerja yang sempit.
Maksud dari the german ideology adalah untuk menunjukkan bahwa manusia menciptakan sejarahnya sendiri selama mereka berjugang menghadari lingkungan materilnya dan terlibat dalam hubungan-hubungan social yang terbatas dalam proses ini. Tetapi kemampuan manusia untuk membuat sejarahnya sendiri itu, dibatasi oleh keadaan lingkungan materil dan sosial yang sudah ada itu, dalam seluruh analisa, Marx dan Engels sangat peka terhadap kontradiksi internal yang muncul dalam pelbagai tahap sejarah itu. Mereka mengidentifikasi perbedaan kepentingan dari suku-suku bangsa yang saling berlawanan, yang hubungannya ditentukan oleh kemenangan militer misalnya, perbedaan kepentingan antara budak-budak dan orang merdeka, pemilik tanah dan yang tidak memiliki tanah, petani desa dan penduduk kota, dan kepentingan-kepentingan industri dan perdagangan. Ketegangan-ketegangan yang khas dan kontradiksi-kontradiksi yang menonjol akan berbeda-beda menurut tahap sejarahnya serta perkembangan materil sosialnya. Tetapi dalam semua tahap, perjuangan individu dalam kelas-kelas yang berbeda untuk menghadapi lingkungan materil dan sosialnnya yang khusus agar bisa tetap hidup dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, merupakan sumber utama perubahan untuk tahap berikutnya.
Visi marx mengenai masyarakat komunis masa depan sangatlah idealistis, dan kelihatannya mengusulkan suatu akhir kontraadiksi internal dan konflik-konflik kelas yang sudah menjadi rangsangan utama perubahan sosial di masa lampau. Bagaimanapun, tercapainya tahap ini bergantung pada sumbangan-sumbangan materil dari tahap kapitalis untuk memajukan perkembangan daya-daya produksi masyarakat secara maksimal. Daya-daya produksi ini akan merupakan dasar untuk masyarakat komunis yang akan datang dengan mempersiapkan sumber-sumber materil untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam bidang materi. Ini akan membebaskan individu dari perlunya menggunakan seluruh waktu dan energinya hanya untuk bisa bertahan hidup secara fisik belaka, dan memungkinkan mereka untuk mencurahkan waktu dan tenaganya untuk perkembangannya yang utuh sebaagai manusia. Marx tidak menganjurkan hancurnya dasar materil yang diberikan oleh kapitalisme borjuis sebaliknya, dia mengangan-angankan pemilikan daya-daya produksi masyarakat secara komunal, dan suatu distribusi yang lebih merata yang didasarkan pada kebutuhan manusia, bukan kerakusan borjuis.
Infrastruktur Ekonomi Dan Superstruktur Sosial
Sepertti sudah disinggung dalam bagian terdahulu, individu terpaksa mengubah hubungan materilnya melalui kegiatan produktif untuk dapat bertahan hidup dan memenuhi pelbagai kebutuhannya. Tetapi alat-alat produksi tidak tersebar secara merata di kalangan anggota masyarakat. Ini beraarti bahwa mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi harus menjalin hubungan sosial dengan mereka yang memiliki. Hasilnya berupa suatu diferensiasi anggota-anggota masyarakat dalam kelas-kelas sosial-ekonomi. Totalitas hubungan-hubungan produksi yang bermacam-macam bersama dengan alat-alat (atau cara) produksi yang bersangkutan, membentuk struktur ekonomi masyarakat.
Tekanan yang terus-menerus dikemukakan dalam semua tulisan Marx adalah bahwa struktur ekonomi masyarakat (yaitu, alat-alat produksi dan hubungan-hubungan sosial dalam produksi) merupakan dasar yang sebenarnya. Semua institusi sosial lainnya didirikan atas dasar ini dan menyesuaikan diri kurang lebih dengan tuntutan-tuntutan dan persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam struktur ekonomi itu. Khususnya negara dan sistem hukum misalnya, harus mendukung sistem kelas itu yang muncul dari pemilikan alat produksi yang berbeda-beda. Seperti ditegaskan Marx dengan jelas dalam The Communist Manifesto bahwa “pemerintah negara modern benar-benar merupakan suatu komite yang mengurus kepentingan bersama kaum borjuis seluruhnya.
Kalau Marx berulang-ulang menekankan ketergantungan politik pada struktur ekonomi ini, tipe analisa yang sama juga akan berlaku untuk pendidikan, agama, keluarga, dan semua institusi sosial lainnya. Sama halnya dengan kebudayaan suatu masyarakat, termasuk standar-standar moralitasnya, kepercayaan-kepercayaan, agama, sistem-sistem filsafat, ideologi politik, dan pola-pola seni serta kreativitas sastra, juga mencerminkan pengalaman hidup yang riil dari orang-orang dalam hubungan-hubungan ekonomi mereka. Hubungan antara infrastruktur ekonomi dan superstruktur budaya dan struktur sosial yang dibangun atas dasar itu merupakan akibat langsung yang wajar dari kedudukan materialisme historis ini seperti yang sudah didiskusikan dalam bagian terhadulu. Adaptasi manusia terhadap lingkungan materilnya selalu melalui hubungan-hubungan ekonomi tertentu, dan hubungan-hubungan ini sedemikian meresapnya sehingga semua hubungan-hubungan sosial lainnya dan juga bentuk-bentuk dasar kesadaran, dibentuk oleh hubungan ekonomi itu.
Untuk menegaskan bahwa ekonomi merupakan dasar masyarakat, tidak hendak mengatakan bahwa hanya ekonomi saja yang secara deterministik mempengaruhi segi-segi lain kehidupan masyarakatt. Juga semua proses sosial dalam institusi-institusi lainnya atau semua aspek kebudayaan tidak hanya dapat dijelaskan sebagai akibat keniscayaan ekonomi. Hubungan antara ekonomi dan yang lainnya dalam masyarakat lebih rumit daripada itu. Marx sendiri kelihatannya berubah dalam pandangannya mengenai tingkat kebebasan institusi-institusi lainnya dari pengaruh keniscayaan ekonomi atau kondisi-kondisi materil yang menguasainya itu. Institusi-institusi dapat mempunyai otonomi yang terbatas dengan akibat bahwa institusi-institusi itu dapat mengembangkan dinamika-dinamikanya sendiri secara logis. Malah institusi-institusi itu memberikan pengaruh yang terbatas pada dasar ekonomi itu.
Sebagai contoh, dalam bidang agama, para pendeta dan para ahli teologi atau para penganutnya dapat memperluas dan mengembangkan kepercayaan-kepercayaan mereka menurut ajaran pokok dan cita-cita yang mereka nyatakan, sampai pada titik di mana kaitan antara kesadaran beragama dan kenyataan-kenyataan ekonomi sangat tidak jelas. Hal ini sama dengan masalah yang sudah kita singgung di depan bahwa para ahli filsafat dapat mengembangkan model-model filosofisnya dalam hal di mana mereka yakin bahwa ide-ide filosofis dan bukan kekuatan-kekuatan materil, menentukan perkembangan sejarah masyarakat. Contoh-contoh ini menggambarkan kemungkinaan bahwa beberapa aspek kebudayaan sebagiannya dapat terpisah dari dasar ekonominya dan berkembang dengan cara-cara di mana keciscayaan dan ikatan ekonomi yang ketat tidak dapat langsung dipisahkan.
Namun demikian, dalam analisa akhirnya, keniscayaan ekonomi selalu menyatakan diri kembali. Misalnya kesempatan-kesempatan terbatas yang mungkin dimiliki oleh para pendeta atu para ahli filsafat untuk mengembangkan kepercayaan-kepercayaan atau ideologi-ideologi mereka bergantung pada sumber-sumber ekonomi yang cukup bagi mereka untuk membebskan diri dari keharusan kerja materil. Rupanya makin besar kebebasan dari tekanan-tekanan dan keterbatasan ekonomi, makin besar kemungkinan bahwa institusi-institusi nonekonomi dapat mengembangkan suatu sistem kepercayaan yang padat dan kompleks, sikap-sikap dan ideologi-ideologi yang mungkin mengaburkan dasar ekonomi itu.
Akibat-akibat “Kesadaran Palsu” Dalam Mendukung Struktur Ekonomi
Satu alasan mengapa sulit melihat yang erat antara kondisi-kondisi materil dan ekonomi dan ideologi budaya adalah bahwa ideologi-ideologi budaya itu memberikan ilusi-ilusi untuk mengimbangi ketimpangan-ketimpangan dan kekurangan-kekurangan dalam kondisi hidup materil. Akibatnya adalah bahwa meskipun ideologi budaya itu mencerminkan kondisi-kondisi materil dan hubungan-hubungan ekonomi dalam kehidupan manusia yang riil, cerminan ini sering kali sangat menyimpang. Dalam hal di mana ideologi-ideologi budaya ini diinternalisasikan dalam kesadaran subyektif individu, individu-individu itu menemukan dirinya tidak mampu untuk menyadari kepentingan mereka sesungguhnya. Artinya mereka gagal untuk melihat hubungan yang dekat antara kurangnya pemenuhan kebutuhan manusiawi mereka, ketidakpuasannya, penderitaannya di satu pihak dan struktur sosial dan ekonomi serta kondisi-kondisi materil di mana mereka terlibat di lain pihak. Hasilnya adalah kesadaran yang palsu (false consciousness).
Fungsi ideologi yang mengganti dan menyesatkan itu sangat jelas dalam analisa Marx mengenai agama. Marx mengemukakan bahwa tekanan agama tradisional pada dunia transenden, nonmaterial dan harapan akan hidup sesudah mati membantu mengalihkan perhatian orang dari penderitaan fisik dan kesulitan materil dalam hidup ini. Tambahan pula, cita-cita agama tradisional sebenarnya membalikkan prioritas-prioritas alamiah dengan mengemukakan bahwa penderitaan dan kesulitan mempunyai nilail rohani positif kalau ditanggung dengan sabar, bahkan mungkin memperbesar kesempatan bagi individu untuk memperoleh pahala di alam baka. Kekayaan materil, status duniawi, dan kekuasaan dilihat dalam kesadaran agama sebagai ilusi, fana, dan sangat berbahaya untuk kesejahteraan rohani individu serta pahalanya bagi kehidupan kelak, maka kemiskinan diubah jadi kebajikan, dan kekayaan diubah menjadi kemiskinan rohani. Ini merupakan dasar sindiran Marx yang tajam mengenai agama yang merupakan “candu masyarakat”. Ideologi seperti itu mungkin tidak akan diterima oleh semua kelas sosial dengan kegairahan yang sama, tetapi kelas-kelas masyarakat lapisan bawah yang dengan sungguh-sungguh menerimanya akan semakin mengukuhkan sikap “nrimo” mereka yang pasif dan mereka akan lebih sedia memikul penderitaan sehubungan dengan status kelas rendah mereka daripada memberontak.
Selain mempertahankan harapan akan pahala yang akan datang, yang akan memberikan imbalan atas kemiskinan jasmaniah ini, ideology-ideologi agama secara khas memberikan dukungan diam-diam terhadap pengaturan sosial, politik, dan ekonomi yang ada dalam masyarakat. Kepercayaan akan hak ilahi raja-raja di masa lalau merupakan satu contoh yang sangat jelas mengenai legitimasi agama terhadap struktur politik, seperti praktek yang kadang-kadang dijalankan di abad pertengahan untuk memperoleh dukungaan Gereja untuk ikut membenarkan penguasa politik “duniawi”. Dalam masyarakat Amerika, ide tradisional yang pada umumnya diterima bahwa masyarakat kita mempunyai dukungan ilahi, merupakan satu sumber legitimasi politik yang serupa. Umumnya dukungan agama terhadap pelbagai norma yang mendasari keteraturan sosial (norma-norma pemilikan pribadi, dan seterusnya) membenarkan status-quo dan mendorong individu untuk bertindak sesuai dengan tuntutan untuk mempertahankan keteraturan sosial yang ada.
Tipe analisa yang sama juga digunakan dalam kritik Marx terhadap ideologi-ideologi politik dan struktur negara. Dalam The German Ideology Marx melihat negara sebagai satu kompensasi terhadap ketegangan-ketegangan yang muncul dari pembagian kerja. Sistem politik negara dan ideologi pendukungnya memberi ilusi mengenai suatu komunitas manusia. Hal ini menutup konflik antara kelas-kelas dalam masyarakat yang saling bertentangan dan memberikan kerangka di mana kelas dominan dapat melindungi kepentingan-kepentingannya. Lebih lagi, dalam kekuasaannya untuk menegakkan hukum itu bagi transaksi ekonomi dan macam-macam transaksi sosial lainnya, dalam memonopoli hak untuk menggunakan paksaan terhadap warganya, dan dalam fungsinya menentukan kebijaksanaan nasional atau kebijaksanaan dengan bangsa-bangsa lain, negara melayani kepentingan ekonomi kelas sosial yang cukup kuat untuk mengontrolnya demi tujuan mereka sendiri.
Marx tidak membicarakan institusi-institusi sosial lainnya seluas seperti pembeciraannya tentang ekonomi, sistem politik, dan agama. Namun premis dasarnya yang menyangkut keunggulan sistem ekonomi itu dapat dengan mudah dipergunakan dalam menganalisa institusi-institusi lainnya. Marx dan Engels memberikan beberapa catatan mengenai keluarga, misalnya, dengan mengemukakan pengaruh posisi kelas proletar pada bentuk-bentuk keluarga. Khususnya status anak-anak terpaksa bekerja berjam-jam lamanya dalam pabrik untuk mencukupi pendapatan demi kelangsungan keluarga mereka. Para suami dan ayah dipaksa memperlakukan anggota-anggota keluarga mereka sebagai sumber pendapatan tenaga kerja mereka yang dijual dalam pasar yang bersifat impersonal. Dengan kata lain, sifat hubungan-hubungan yang terdapat dalam ekonomi “merembet” ke hubungan-hubungan keluarga.
Tidak hanya institusi-institusi tertentu dengan ideologi-ideologi pendukungnya, tetapi juga pandangan hidup yang dominan dalam suatu masyarakat akan kehidupan sebagaimana nampak melalui struktur ekonomi, dan akan mendukung posisi-posisi kelas dominan dalam struktur itu. Seperti Marx katakana, “Ide-ide dari kelas yang berkuasa merupakan ide-ide yang berkuasa di setiap masa….”. posisi Marx dalam hal ini adalah posisi seorang relativis sepenuhnya; baginya, pengetahuan terakhir atau yang absolut atau standar-standar moral itu tidak ada. Sebaliknya, semua bentuk kegiatan kreatif dan intelektual manusia ditentuan oleh keadaan materil dan sosial dan mencerminkan suatu tahap sejarah tertentu dalam perkembangan manusia dari lingkungan itu.
Perubahan Dalam Struktur Sosial-Ekonomi Dan Dalam Pandangan Hidup
Bukan pengejewantahan ide-ide yang menjelaskan perkembangan sejarah masyarakat (seperti pandangan Hegel dan Comte) melainkan perkembangan struktur sosial dalam menaggapi kondisi-kondisi materil yang berubah yang menjelaskan munculnya ide-ide baru. Pun perkembangan ide-ide revolusioner tergantung pada pembentukan kekuatan-kekuatan materil yang baru yang melahirkan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial; jadi perjuangan yang nampak antara ideologi-ideologi revolusioner dan ideologi-ideologi konservatif (atau reaksioner) merupakan cerminan dari perjuangan materil antara kelas-kelas sosial yang mewakili kekuatan-kekuatan sosial materil dan kelas-kelas sosial yang dominasinya bersandar pada pelestarian struktur ekonomi yang ada.
Sebagai contoh hubungan antara pandangan hidup ideologi menyeluruh dan struktur ekonomi dalam masyarakat feodal pra-industri, pembagian kerja antara tuan tanah, penggarap dan petani dilihat sebagai bagian dari takdir ilahi yang sudah ditentukan untuk dunia fana ini. Namun pandangan hidup intelektual yang mendukung tipe struktur sosial ini dengan dominasi aristokratis, tidak sejalan dengan kepentingan ekonomi kelas borjuis yang sedang muncul, yang keunggulannya dalam bidang ekonomi tampil karena pertumbuhan industrialisasi dan ekspansi ekonomi. Seperti tata sosial aristokratis tradisional didukung oleh pertimbangan prinsip-prinsip abstrak yang abadi, begitu pula perlawanan ideologis kaum borjuis terhadap tata sosial ini dibenarkan oleh pertimbangan hukum alam yang abadi. Previlese kelas aristokrat yang secara tradisional mereka warisi, ditentang sebagai pelanggaran berat terhadap hukum alam; dan dukungan terhadap kebebasan individu dan persamaan politik dilihat sebagai sesuatu yang berasal dari hukum-hukum alam, yang dapat dimengerti oleh setiap orang yang menggunakan akalnya. Dalam kenyataan, Marx mengemukakan, tuntutan terhadap “kebebasan, persamaan, persaudaraan” (seruan yang sering dikemukakan dalam Revolusi Perancis) merupakan satu tuntutan supaya kelas borjuis yang sedang muncul itu dibebaskan dari kungkungan dan batas-batas trdisional untuk hak-haknya dalam mengejar kepentingan borjuis mereka.
Dengan cara yang sama, teori ekonomi politik Inggris, dalam pembenarannya terhadap sistem pasar laissez-faire yang bersifat impersonal itu, juga melayani kepentingan kelas kapitalis borjuis yang sedang berkembang itu. Berangkat dari suatu pandangan yang sangat individualilstis tentang hakekaat manusia (yang ditolak Marx) para ahli ekonomi politik Inggris itu berpendapatt bahwa sistem pasar ekonomi kapitalis yang bersifat impersonal itu, membebaskan individu dari kungkungan sosial tradisional buat-buatan untuk mengejar kepentingan pribadinya sendiri, dan sekaligus menjamin bahwa seluruh kesejahteraan masyarakat terlayani secara paling baik melalui cara ini. Berlawanan dengan argumentasi bahwa sistem pasar impersonal itu didasarkan pada hukum alam ekonomi politik yang tak terubahkan atau yang konsisten dengan kodrat dasar manusia, Marx memberikan suatu argumen kontra bahwa sistem pasar ekonomi kapitalis yang impersonal itu merupakan kekhasan suatu tahap sejarah tertentu, dan mencerminkan hubungan-hubungan sosial dalam tahap itu. Tetapi seperti ideologi-ideologi terdahulu yang pada akhirnya tergeser, demikian juga dukungan ideologis yang diberikan ekonomi politik terhdap perkembangan kapitalis, akhirnya akan terlampaui, kalau hubungan-hubungan sosial yang sedang berubah itu membuatnya menjadi usang.
Relevansi ramalan ini mendapat peneguhan bahkan dari suatu penelitian sejarah sepintas lalu mengenai ideologi laissez-faire dalam masyarakat kita sendiri. Karena masyarakat kita sudah bertumbuh semakin kompleks, dan karena pedagang-pedagang kecil yang independen diganti oleh perusahaan-perusahaan raksasa, yang menuntut adanya pemerintahan yang lebih daripada sekedar kebijaksanaan yang bersifat “lepas-tangan”, bentuk ekstrem dari kebijaksanaan politik laissez-faire, banyak kehilangan kredibilitasnya. Banyak mahasiswa, ketika berhadapan dengan ide ini untuk pertama kalinya merasa heran bagaimana ideologi serupa itu pernah benar-benar dipakai sebagai satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Dalam zaman kita sendiri, dukungan wakil-wakilk partai republik terhadap sistem bahwa para pengusaha menyumbang kesejahteraan masyarakat begitu mereka mengejar kepentingan diri mereka yang egoistis. Tetapi mereka yang paling konservatif pun tidak melihat jenis ekonomi tak diatur, yang diberikan oleh Adam Smith di abad kedelapan belas atau Herbert Spencer di abad kesembilan belas. Pendirian Marx yang berhubungan dengan pengaruh sistem ekonomi yang meresapi secara luas institusi-institusi lainnya, dan pola-pola kebudayaan dapat langsung dipakai untuk memberikan suatu kritik yang menyeluruh terhadap masyarakat-masyarakat industri modern. Kritik sedemikian itu tidak perlu terbatas pada suatu analisa mengenai negara atau ideologi-ideologi yang dominan. Pelbagai institusi dapat dianalisa untuk menenjukkan ketergantungan pada sumber-sumber materil yang tersedia melalui sistem ekonomi serta tunduknya institusi-institusi itu (sadar atau tidak) pada tuntutan-tuntutan sistem ekonomi. Institusi pendidikan misalnya dapat dilihat sebagai suatu pelayanan terhadap keperluan-keperluan ekonomi dengan memberikan indoktrinasi pada individu tentang norma-norma dan nilai-nilai yang mendukung status-quo dan dengan melatih mereka untuk menmduduki posisi-posisi pekerjaan dalam sistem ekonomi. Pelbagai bentuk industri hiburan dapat dilihat, dalam suatu perspektif kritis, sebagai satu usaha yang mengaalihkan atau memenangkan orang, sehingga mereka tetap merasakan adanya kekurangan dalam hal pemenuhan diri pribadi mereka, serta ketaklukan mereka pada tuntutan-tuntutan sistem-sistem ekonomi itu juga merupakan sutu institusi ekonomi yang sebenarnya.
Lagi mengenai determinisme materialistis atau ekonomi, tidak dijelaskan Marx secara konsisten. Sekalipun ekonomi merupakan dasar seluruh sistem sosio-budaya, institusi-institusi lain dapat memperoleh otonomi dalam batas tertentu, dan malah memperrlihatkan pengaruh tertentu pada struktur ekonomi. Pada akhirnya, struktur ekonomi itu tergantung terhadapnya. Seperti banyak penulis lainnya, Marx kadang-kadang terlampau menekankan gagasannyuaa sendiri, untuk mempertahankan pendapatnya terhadap titik pandangan saingaan. Dengan dasar ini semuanya, analisa sosio-budaya lain-lainnya, menekankan pentingnya suatu realisme yang kuat, yang kadang-kadang kurang diperhatikan dalam teori-teori tentang masyarakat yang bersifat idealistis. Namun Marx pasti mengakui bahwa kebutuhan manusia dan aspirasi-aspirasinya jauh melampaui perihal mempertahankan kelangsungan hidup secara ekonomis belaka, meskipun kenyataan ekonomi dan kondisi materil mungkin sedemikian rupa sehingga macam-macam kebutuhan manusia lainnya mungkin tetap tidak terpenuhi. Hubungan antara kegiatan manusia, khususnya kegiatan ekonomi, dan kesempatan untuk pemenuhan diri sebagai manusia akan dilihat dalam bagian berikut ini dengan lebih lengkap.
Kegiatan Dan Alienasi
Inti seluruh teori Marx adalah proposisi bahwa kelangsungan hidup manusia serta pemenuhan kebutuhannya bergantung pada kegiatan produktif di mana secara aktif orang terlibat dalam mengubah lingkungan alamnya. Namun, kegiatan produktif itu mempunyai akibat yang paradoks dan ironis, karena begitu individu mencurahkan tanaga kreatifnya itu dalam kegiatan produktif, maka produk-produk dari kegiatan ini memiliki sifat sebagai benda obyektif yang terlepas dari manusia yang membuatnya. Karena kegiatan produktif meliputi penggunaan tenaga manusia dan kemampuan kreatifnya, maka produk-produk yang diiptakan itu sebenarnya mewujudkan sebagian dari “hakekat manusia” itu (ungkapan Marxis yang digemari). Jadi manusia mengkonfrontasikan hakekatnya sendiri (yaitu hasil kegiatan dan kemampuan kreatifnya) dalam bentuk yang sudah terasing atau diasingkan, atau sebagai benda dalam dunia luar yang berada di luar jangkauan pengontrolan mereka, dan malah manusia harus menyesuaikan diri dengannya. Sesudah itu, kebebasn individu untuk terus menuangkan kreativitasnya dan mengembangkan kemampuan sebagai manusia, sangat dibatasi.
Dengan kata lain, individu harus menyesuaikan diri dengan dunia benda-benda yang membatasi kebebesannya sebagai manusia walaupaun manusialah yang menciptakannya. Tentu mereka tidak sadar bahwa hambatan-hambatan dari kungkungan-kungkungan yang menyulitkan mereka adalah ciptaan mereka sendiri. Seperti Scrooge dalam karya klasik Dickens Critsmas, mereka terkungkung oleh rantai yang secara tidak sadar mereka sendirilah yang membuatnya. Ini merupakan pernyataan yang paling umum mengenai proses dialektik yang mengarah ke alienasi atau pengasingan diri, dan analisa Marx yang kritis mengenai institusi-institusi sosial dan bentuk-bentuk kesadaran sangat bergantung pada pemahaman-pemahaman alienasi itu.
Misalnya, Marx menulis tentang konsekuensi-konsekuensi yang mengasingkan itu dari sistem produksi yang sudah dimekanisasi dalam pabrik. Mesin-mesin tentu dibuat dari oleh manusia dan dengan demikian mencerminkan kegiatan kreatif manusia. Labih dari itu, mesin-mesin mempunyai pengaruh potensial untuk membebaskan manusia dari kerja fisik. Tetapi akibat actual perkembangan teknologi mesin di awal Revolusi Industri adalah memperbudak para pekerja, membatasi kesempatan mereka untuk kegiatan kreatif. Tunduk pada disiplin mesin produksi, menurut Marx, merendahkan martabat para pekerja, yang menuntut bahwa mereka melayani mesin daripada mesin melayani mereka.
Proses yang sama ini berlaku, tidak hanya untuk benda-benda produk materil dalam lingkungan fisik, tetapi juga untuk kebudayaan nonmaterial yang diciptakan manusia. Misalnya, dalam organisasi formal, individu menciptakan peraturan dan pengaturan sebagai alat untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan bersama mereka; lalu sebagai siswa-siswa organisasi formal seperti yang berulang kali telah dikemukakan oleh Merton, mereka membiarkan diri didominasi sedemikian rupa oleh aturan-aturan dan pengaturan yang mereka buat, sehingga aturan-aturan dan pengaturan-pengaturan itu menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, dan bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Banyak pola institusional lainnya juga memiliki corak itu. Institusi sosial, dalam analisa akhirnya, merupakan produk kegiatan manusia yang kreatif, meskipun institusi-institusi ini sering nampak dalam kesadaran individu sebagai kekuatan-kekuatan obyektif dan asing yang harus mereka patuhi.
Pengaruh Fuerbach
Teori Marx mengenai alienasi dan pengasingan diri sangat dipengaruhi oleh pembalikan Ludwig Fuerbach terhadap filsafat Hegel. Fuerbach lebih konsisten daripada Marx dalam mempertahankan bahwa dunia kesadaran manusia serta ide-ide semata-mata suatu cerminan kekuatan materil, suatu posisi yang seperti dimiliki Marx, yang bertentangan dengan filsafat Hegel. Fuerbach sudah mengembangkan perspektifnya dalam bukunya berjudul Essence of Cristianity, suatu kritik terhadap agama. Singkatnya dia berargumentasi bahwa agama merupakan proyeksi manusia dari sifat dasarnya—kemampuan-kemampuan dan aspirasi-aspirasinya—menjadi suatu makhluk supernatural. Proyeksi ini membiarkan manusia secara prikologis dikosongkan dari sifat-sifat hakikinya itu, dan untuk dapat memperoleh kembali, dia harus mendekati makhluk supernatural dengan menyembah, meminta kembalinya hakekat-hakekat yang akan membuat mereka menjadi manusia secara psikologis dikosongkan dari sifat-sifat hakikinya itu, dan untuk dapat memperolehnya kembali, dia harus mendekati makhluk supernatural dengan menyembah, meminta kebalinya hakekat-hakekat yang akan membuat mereka menjadi manusia secara sempurna—tetapi yang pertama-tama riil adalah hakekat manusianya itu. Jadi, dalam analisa Fuerbach, agama yang akan memperlihatkan keterasingan manusia dari hakekatnya sendiri.
Fuerbach juga memperluas analisanya ini ke filsafat idealistis Hegel. Menurut dia, filsafat Hegel tidak lain daipada suatu bentuk abstrak dan filosofis dari pemikiran teologis. Peranannya yang independen itu berasal munculnya roh akal budi yang universal, yang menginterpretasikan perilaku manusia dan sejarahnya sebagai manifestasi pemunculan diri dari roh akal budi itu yang terlepas dari kegiatan manusia. Feuerbach menyimpang dari pendekatan ini dalam filsafat materialistisnya sendiri, yang memberikan kaum Hegelian muda suatu alternatif ideologi yang menarik, yang lain daripada filsafat Hegel.
Meskipun teori Marx mengenai alienasi dipengaruhi oleh Feuerbach, Marx juga mengkritik Feuerbach. Khususnya dia menyerang penekanan materialistis Feuerbach yang berat sebelah serta pandangannya yang ahistoris abstrak mengenai individu yang pasif, yang terpencil dari konteks sosialnya. Bertentangan dengan Feuerbach, Marx menekankan pentingnya pemahaman terhadap konteks sosial dan sejarah yang khas, di mana bentuk-bentuk khusus kesadaran dan ilusi-ilusi agama atau ideologis muncul. Juga Marx menekankan peranan aktif yang mungkin diamankan individu dalam proses sejarah. Agak berbeda dari penekanan materialistis Feuerbach yang berat sebalah itu, yang melihat seseorang sebagai obyek pasif yang bertindak menurut kekuatan-kekuatan materil, Marx menekankan hubungan dialektik antara seseorang sebagai obyek dan seseorang sebagai subyek yang aktif. Melalui praxis, orang membuat sejarah sendiri, dan sekaligus kegiatan kreatifnya itu ditentukan dan terikat oleh lingkungan materil dan lingkungan sosial tertentu yang sudah mereka bentuk. Kritik Marx yang tepat dan meyakinkan terhadap Feuerbach terdapat dalam tulisan yang terkenal These of Feuerbach; pernyataan kesimpulan: “Para ahli filsafat hanya mengeinterpretassi dunia dalam pelbagai cara; masalahnya, bagaimana mengubahnya.
Komitmen Marx untuk mengubah dunia melalui kegiatan praksis didasarkan pada kepercayaan idealistisnya bahwa alienasi akhirnya dapat diatasi. Pandangan Feuerbach mengenai agama sebagai sumber alienasi hanyalah langkah pertama buat Marx; langkah berikutnya adalah mengidentifikasi kondisi materil dan kondisi sosial yang merupakan sumber alienasi dan ilusi. Sekali kondisi hidup riil yang menciptakan kebutuhan akan ilusi yang mengalienasi itu dijelaskan melalui kritik sosial, langkah berikutnya adalah tindakan revolusioner, yang akan menghapus kebutuhan akan ilusi dengan membiarkan orang untuk bertindak kreatif untuk dirinya sendiri.
Marx setuju dengan Feuerbach bahwa bentuk alienasi yang paling mendalam adalah yang dinyatakan dalam idologi agama dan filsafat. Menerima idiologi-idologi seperti itu mendukung kompensasi manusia bagi kelemahan-kelemahan serta keterampasan haknya yang tidak terpenuhi dalam kehidupannya yang riil sebagai akibat dari kontradiksi internal dalam struktur sosial itu. Tetapi ini bukan merupakan saatu-satunya bidang di mana alienasi itu dapat diamati; alienasi juga terdapat dalam hubungan-hubungan ekonomi dan dalam institusi politik serta ideologi-ideologi.
Alienasi Kaum Buruh Dalam Masyarakat Kapitalis
Tulisan Marx tahun 1844 yang berjudul Economic and Philosophical Manuscripts merupakan satu kritik terhadap teori-teori ekonomi politik yang sudah mapan di Inggris dari Smith, Richardo dan lain-lain. Ekonomi politik Inggris didasarkan pada satu pandangan yang sangat individualistis mengenai kodrat manusia. Eksistensi masyarakat dijelaskan sebagai akibat dari persetujuan kontraktual yang dibuat oleh individu sebagai hasil dari suatu penilaian rasional mengenai cara yang paling baik bagaimana mengejar kepentingan individu mereka masing-masing. Doktrin pokok lainnya adalah bahwa kesejahteraan seluruh masyarakat akan terjamin dengan membiarkan individu untuk sebebas mungkin mengejar kepentingan dirinya. Pendekatan laissez-faire ini dikembangkan dan dikenl sebagai suatu kemajuan yang penting dalam kebebasan manusia.
Dengan latar belakang filsafat dialektik Hegel, Marx menarik kesimpulan dari studinya mengenai sistem kapitalis laissez-faire, yang jauh lebih simpatik daripada kesimpulan-kesimpulan pemikir Inggris itu. Khususnya dia menyayangkan pengaruh-pengaruh individualisme yang semakin meningkat serta sistem pasar bebasnya dalam memecahkan ikatan-iktatan sosial, yang di masa lampau sudah membantu memanusiakan hubungan-hubungan ekonomi. Dia melihat pengaruh-pengaruh ini sebagai sesuatu yang membuat manusia sebagai barang komoditi saja dalam pasar, yang tenaganya diperjualbelikan seperti komoditi lainnya tanpa melihat kebutuhan manusiawi mereka yang terlibat dalam proses ini. Hasilnya adalah alienasi manusia dari sesamanya dan dari kodrat sosialnya sendiri. Marx menekankan masalah ini dalam tulisannya yang terkenal Communist Manifesto. “Kelompok borjuis di mana pun mereka berada pada lapisan atas, sudah mengakhiri semua hubungan feodal, menyobek ikatan-ikatan feodal yang beraneka ragam itu yang mengikat manusia dengan “atasannya secara alamiah”, tanpa menyisakan hubungan lain apa pun antara manusia dengan sesamanya kecuali atas dasar kepentingan diri belaka dan pembayaran tunai tanpa perasaan”.
Alienasi juga merupakan akibat dari hilangnya kontrol individu atas kegiatan kreatifnya sendiri dan produksi yang dihasilkannya. Pekerjaan dialami sebagai suatu keharusan untuk sekedarbertahan hidup dan tidak sebagai alat bagi manusia untuk mengembangkan atau menyatakan kemampuannya yang kreatif. Individu merasa dirinya tidak mampu untuk mengembangkan diri, dalam pengertian yang luas, melalui kegiatan produktifnya.
Sama halnya, hilangnya kontrol atas produk-produk kegiatan mereka berarti bahwa mereka tidak dpaat menggunakan produk yang mereka hasilkan itu untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, meskipun produk-produk mereka itu sebenarnya merupakan perwujudan tenaga hidup mereka sendiri dalam bentuk yang obyektif. Sebaliknya, para pekerja menghasilkan komoditi untuk ditukar dalam sistem pasar yang bersifat impersonal. Hasilnya, adalah bahwa mereka mengkonfrontasikan produk kerja dan tenaga mereka sendiri dalam suatu bentuk yang asing, atau sebagai benda-benda dalam dunia pasar eksternal yang tidak dapat mereka kontrol lagi. Singkatnya, pekerja-pekerja dalam sistem kapitalis dipaksa melaksanakan pekerjaan yang tidak memungkinkan perkembangan pribadi mereka sebagai manusia, dan yang merendahkan martabat mereka, di mana mereka tidak dapat menarik keuntungan, kecuali untuk memenuhi kebutuhan fisik mereka saja dalam arti yang sempit.
Kritik filosofis mengenai ekonomi politik dimaksudkan untuk melawan latar belakang analisa proses ekonomi kapitalis. Bertentangan dengan pandangan ahli ekonomi politik yang optimis, Marx menunjukkan bahwa penerapan wajar hukum penawaran dan permintaan dalam ekonomi yang bersifat impersonal itu mengurangi upah kerja sampai ke tingkat di mana para pekerja hanya dapat sekedar mempertahankan hidup dengan bekerja dalam jumlah jam sebanyak mungkin. Karena para kapitalis jelas mempunyai kepentingan ekonomi dalam mempertahankan biaya produksi komoditi serendah mungkin, upah yang mereka berikan baru agak tinggi sekedar menarik kaum buruh untuk menjual tenaga kerja mereka. Namun kaum buruh hampir tidak mempunyai pilihan lain karena mereka tidak mempunyai alat produksi; jadi satu-satunya pilihan mereka adalah menawarkan tenaga mereka dengan upah yang ditentukan oleh majikan kapitalis itu supaya dapat bertahan hidup.
Karena penawaran dari tenga kerja manusia melebihi permintaan kapitalis untuk jasa-jasa mereka, maka hukum permintaan dan penawaran dalam ekonomi menjamin bahwa upah buruh akan tetap serendah mungkin. Hubungan antara majikan kapitalis dan buruh sangat bersifat ekonomis, sama sekali terlepas dari pengaruh ikatan sosial nonekonomi yang bersifat manusiawi dan lunak. Akibatnya, pekerja menjadi suatu komoditi dalam pasaran tenaga kerja yang tugasnya ditentukan oleh keinginan majikan kapitalis untuk memperoleh keuntungan sebesar-sebesarnya dan oleh tuntutan-tuntutan mesin produksi. Buruh melayani mesin daripada sebaliknya; dalam pengertian luas, buruh melayani majikan kapitalis.
Secara paradoks kelihatannya, semakin produktif kaum buruh dalam memproduksikan komoditi, semakin mereka merasa diri memjadi miskin dan semakin mereka tidak mampu mengontrol kegiatan hidup mereka sendiri. Seperti Marx katakana: “Buruh menempatkan hidupnya dalam obyek, dan kemudian hidupnya tidak lagi menjadi miliknya tetapi menjadi milik obyek itu. Lalu semakin besar kegiatannya, semakin kurang yang dimilikinya. Apa yang terwujud dalam produk kegiatannya tidak lagi menjadi miliknya. Lalu semakin besar produk itu, semakin besar pula dia dimiskinkan. Alienasi buruh dalam produknya tidak hanya berarti bahwa tenaganya menjadi suatu obyek, yang mengandaikan suatu eksistensi eksternal, melainkan bahwa obyek itu berada secara independen, di luar dirinya, dan asing baginya, dan menentang dia sebagai suatu kekuatan yang otonom. Kehidupan yang sudah dia berikan pada obyek itu berbalik melawan dia sebagai satu kekuatan asing dan bermusuhan.
Alienasi melekat pada semua sistem pembagian kerja dan pemilikan pribadi, tetapi bentuknya yang paling ekstrem ada dalam kapitalisme, di mana mekanisme pasar yang impersonal itu, dengan menurunkan kodrat manusia menjadi komoditi, dilihat sebagai satu pernyataan hukum alam dan kebebasan manusia. Bentuk ekstrem alienasi itu merupakan dari perampasan produk buruh oleh majikan kapitalisnya. Marx menjelaskan masalah ini sebagai berikut. “Kalau produk buruh itu menjadi asing bagi saya dan mengkonfrontasikan saya sebagai suatu kekuatan asing, siapa yang memilikinya? Kalau kegiatan saya sendiri bukan mulik saya tetapi sebagai suatu kegiatan yang asing dan memaksa, lalu siapa yang memilikinya? Bukan diri saya, tetapi yang lain di luar diri saya. Dan siapa yang lain itu?” jawaban yang jelas adalah bahwa yang lain itu adalah majikan kapitalis.
Lebih-lebih lagi, tidak ada pembelaan yang valid terhadap sistem serupa itu dengan argumen bahwa karena kapitalis memiliki alat pdoduksi, mereka mempunyai hak untuk mengontrol produk-produk yang dihasilkan oleh kaum buruh yang menggunakan alat-alat itu. Alat produksi itu dari dirinya sendiri merupakan obyektifikasi dan perwujudan buruh sebelumnya. Mesin-mesin dan teknologinya lainnya tidak ada secara alamiah; mereka dihasilkan oleh manusia. Artinya, kontrol kapitalis atas alat produksi itu sebenarnya merupakan kontrol atas tenaga kerja buruh yang diobyektivikasikan, yang termasuk dalam produksi barang-barang modal. Peraturan yang membela hak-hak kapitalis mencerminkan usaha-usaha kapitalis dalam memperkuat dan mempertahankan “hak-hak”-nya untuk mengeksploitasi tenaga kerja kelas buruh.
Jalan keluar dari masalah eksploitasi dan kesengsaraan kelas buruh tidak hanya sekedar dengan menaikkan upahnya. Naiknya upah mungkin meringankan beban materil yang dihadapi kaum buruh, tetapi tidak akan mengatasi konsekuensi-konsekuensi pembagian kerja dan pemilikan pribadi yang besifat mengasingkan. Buruh akan masih tetap sebagai komoditi sifatnya, tanpa kesempatan untuk mengembangkan hakekatnya sebagai manusia dalam hubungannya dengan sesamanya (apa yang Marx tunjukkan sebagai “rumpun manusia”—species life), atau kemampuan manusianya, dan produk-produk tenaganya akan masih dikontrol oleh orang lain dan akan mengkonfrontasikan pekerja-pekerja itu sebagai suatu benda yang asing. Pengasingan dari produk-produk kegiatan kreatif individu merupakan suatu persoalan yang jauh lebih mendalam daripada persoalan upah yang tidak layak; hal ini menuntut tidak hanya sekedar meningkatkan upah tetapi juga suatu perubahan masyarakat radikal untuk pemecahannya.
Alienasi Politik
Manifestasi yang lain dari alienasi dinyatakan dalam teori Marx mengenai netara. Dalam suatu artikel yang ditulis di awal karirnya berjudul “On The Jewish Question” dan dalam krittiknya terhadapnya filsafat Hegel mengenai negara, Marx menganalisa pembedaan antara negara dan masyarakat sipil. Pembedaan ini bertalian dengan pembedaan antara manusia sebagai individu dengan kebutuhan biologis dan kepentingan egoisnya, dan manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki suatu “rumpun hidup”, yang sama. Negara mewakili “rumpun hidup” manusia dalam bentuk obyektifnya, atau menggambarkan sisi komunal dari kodrat manusia. Tetapi karena manusia memproyeksikan sisi kodratnya yang rangkap ke dalam institusi negara yang bersifat eksternal, kehidupannya yang riil dikuasai oleh sisi kodrat manusianya yang bersifat egoistis. Pertentangan itu benar-benar menjadi sedemikian besarnya sehingga dalam revolusi politik borjuis, negara dilihat sebagai sesuatu yang memberikan individu hak-hak tertentu sebagai warga negara—seolah-olah negara itu berdiri sendiri lepas dari anggota masyarakat warga yang membentuknya, dan seolah-olah individu sebagai warga negara berbeda dari individu-individu pria dan wanita yang riil. Analisa tentang negara ini sejajar dengan analisa Marx mengenai angka; dalam kedua kasus itu suatu dimensi tentang kodrat manusia diproyeksikan sebagai suatu benda eksternal yang meskipun diciptakan manusia, kembalil mengkonfrontasikan manusia sebagai satu kekuatan asing di mana mereka harus tunduk.
Analisa Marx tentang negara itu berubah sedikit ketika dia mengembangkan gagasannya. Misalnya dalam The German Ideologi Marx melihat negara sebagai suatu kompensasi dari ketegangan dalam masyarakat yang muncul karena pembagian kerja. Konflik dialektik antara kehidupan pribadi individu dan kehidupan umum diselubungi oleh ilusi bahwa negara merupakan suatu komunitas manusia yang sesungguhnya yang mengatasi konflik yang riil antara kelas-kelas masyarakat yang saling bertentangan. Tetapi dalam The Communist Manifesto penekanan Marx agak berubah, dalam melihat bahwa negara terutama melindungi kepentingan kelas yang dominan dalam masyarakat. Kedua pandangan ini tidak harus bertentangan, tetapi perubahan penekanan dari negara sebagai sumber ilusi yang berhubungan dengan kehidupan manusia komunal, ke negara sebagai alat yang dipergunakan oleh kelas yang dominan sudah sangat jelas.
Alienasi kelihatannya benar-benar tidak dapat dielakkan dalam pandangan mengenai kodrat manusia yang paradoks. Di satu pihak manusia menuangkan potensi manusiawinya yang kreatif dalam kegiatannya; di lain pihak, produk-produk kegiatan kreatifnya itu menjadi benda yang berada di luar kontrol manusia yang menciptakannya yang menghambat kreativitas mereka selanjutnya. Paradoks manusia yang fundamental ini menjadi lebih jelek lagi di masyarakat dalam pembagian kerja dan pemilikan pribadi. Meskipun kebanyakan masyarakat dalam sejarah memperlihatkan suasana alienasi ini (kecuali tahap komunisme suku bangsa primitif), alienasi jauh lebih berkembang dalam masyarakat kapitalis borjuis sedemikian sehingga tingkat alienasi jauh lebih tinggi daripada dalam tahap-tahap masyarakat sebelumnya. Benar bahwa mengatasi alienasi itu sudah melekat dalam struktur masyarakat kapitalis, yang akan menuntut tidak lain daripada suatu revolusi total yang akan menghancurkan semua kontradiksi internal dalam masyarakat dengan meniadakan pembagian kerja, pemilikan pribadi, negara dalam bentuk tradisionalnya, serta semua eksploitasi dan penindasan. Marx yakin hal ini akan mengakhiri alilenasi, yang memungkinkan orang untuk megungkapkan kodrat manusianya secara utuh dalam kegiatannya untuk mereka sendiri.
KELAS SOSIAL, KESADARAN KELAS, DAN PERUBAHAN SOSIAL
Salah sattu kontradiksi yang paling mendalam dan luas yang melekat dalam setiap masyarakat di mana ada pembagian kerja dan pemilikan pribadi adalah pertentangan antara kepentingan-kepentingan materil dalam kelas-kelas sosial yang berbeda. Peranan penting yang dimainkan konsep kelas sudah ada secara implisit dalam diskusi kita mengenai hubungan-hubungan ekonomi, struktur politik, dan alienasi. Dalam bagian ini kita beralih ke suatu analisa yang lebih eksplisit mengenai kelas-kelas sosial dan pentingnya konflik kelas dalam menimbulkan perubahan sosial.
Marx bukan orang pertama yang menemukan kelas sosial dalam masyarakat. Meskipun dia sendiri sering menggunakan konsep itu, namun dia tidak memberikan satu analisa yang sistematis dan komprehensif tentang itu. Meskipun konsep kelas begitu meluasnya ke hampir seluruh tulisan-tulisan pokoknya, perlu mengatakan bahwa dia melihatnya sebagai kategori yang paling dasar dalam struktur sosial. Pembagian yang paling penting dalam masyarakat adalah pembagian antara kelas-kelas yang berbeda; faktor yang paling penting mempengaruhi gaya hidup dan kesadaran individu adalah posisi kelas; ketegangan konflik yang paling besar dalam masyarakat tersembunyi atau terbuka, adalah yang terjadi antarkelas yang berbeda, dan salah satu sumber perubahan sosial yang paling ampuh adalah yang muncul dari kemenangan satu kelas lawan kelas lainnya. Di awal The Communist Manifesto, Marx mengatakan: “Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas, orang bebas dan budak, bangsawan dan rakyat biasa, tuan dan hamba, pemimpin perusahaan dan orang lontang-lantung, dalam satu kata, penindas dan yang ditindas, selalu bertentangan satu salam lain, yang berlangsung tak putus-putusnya dalam satu pertarungan yang kadang-kadang tersembunyi, kadang-kadang terbuka, suatu pertarungan yang setiap kali berakhir, baik dalam satu rekonstruksi masyarakat pada umumnya secara revolusioner, maupun dalam keruntuhan umumnya dari kelas-kelas yang bercekcok itu”.
Hubungan Ekonomi Dan Struktur Kelas
Bagaimana kelas-kelas sosial itu muncul? Apa yang menentukan hubungannya. Jawaban atas pertanyaan ini sangat erat kaitannya dengan konsep Marx mengenai materialisme historis, seperti yang sudah kita diskusikan. Perlu diingat kembali bahwa kemampuan manusia untuk memenuhi pelbagai kebutuhannya tergantung pada terlibatnya mereka dalam hubungan sosial dengan norma lain untuk mengubah lingkungan materil melalui kegiatan produktifnya. Hubungan-hubungan sosial yang elementer ini membentuk infrastruktur ekonomi masyarakat. Pada mulanya hubungan-hubungan ini dipengaruhi oeh perbedaan-perbedaan alamiah antara manusia sesuai dengan kekuatan, ukuran, tenaga, kemampuan-kemampuan, dan semacamnya. Tetapi pada awal munculnya suatu struktur ekonomi masyarakat pembagian kerja sudah berkembang, dan hal ini mengharuskan adanya suatu sistem pertukaran. Proses-proses sosial ini, yang disertai dengan perbedaan-perbedaan alamiah antara satu orang dengan orang lain, segera menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam pemilikan atau kontrol terhadap sumber-sumber alam serta alat-alat produksi. Pemilikan atau kontrol yang berbeda atas alat produksi, yang Marx tekankan jauh lebih keras daipada perbedaan antara orang secara biologis alamiah, merupakan dasar pokok untuk pembentukan kelas-kelas sosial yang berbeda.
Karena langkanya sumber alam dan kepentingan alamiah setiap individu dalam meningkatkan kesejahteraan materil pribadinya, hubungan antar kelas harus bersifat antagonistis. Antagonisme yang fundamental mungkin diselubungi oleh perkembangan ideologi-ideologi yang memberikan ilusi tentang suatu komunitas yang kepentingan-kepentingannya bersifat harmonis, dan oleh pelbagai ikatan sosial yang nonekonomis, namun antagonisme itu terus berlangsung, meskipun tidak harus nampak jelas di mata anggota masyarakat.
Pemilikan atau kontrol atas alat produksi merupakan dasar utama bagi kelas-kelas sosial dalam semua tipe masyarakat, dari masyarakat yang dibedakan menurut kelas yang paling awal yang muncul dari komunisme suku bangsa primitif (di mana nampaknya pembagian kerja dan pemilikan pribadi itu hanya berkembang dalam bentuk yang minimal, atau tidak ada sama sekali) sampai ke kapitalisme modern. Namun ada perbedaan-perbedaan penting dalam struktur-struktur kelas antara tipe-tipe masyarakat yang berbeda atau tahap-tahap yang berbeda dalam sejarah, yang terutama disebabkam oleh perbedaan variasi dalam sumber-sumber dan alat produksi.
Dorongan yang paling penting untuk perubahan-perubahan adalah ekspansi alat produksi yang dihasilkan oleh perkembangaa teknologi. Pengaruh perkembangan alat-alat dan teknik-teknik produksi yang baru ini adalah bahwa kekuatan-kekuatan produktif akhirnya menjadi tidak konsisten dengan hubungan-hubungan kelas yang ada. Perkembangan teknologi mungkin mengakibatkan muculnya kelompok kerja baru yang dapat merombak dasar ekonomi untuk suatu dominasi kelompok, atau dengan salah satu cara dapat mengubah sifat lingkunga sosial dan materil di mana individu itu terlibat. Misalnya, pertumbuhan produksi dengan mesin berskala besar di awal Revolusi Industri menyediakan satu alternatif penting bagi tanah sebagai sumber dan alat produksi dan mendorong kelas kapitalis borjuis ke posisi ekonomi yang dominan yang menghancurkan kelas aristokrat. Pada waktu yang sama, proletariat muncul sebagai bagian dari proses yang sama, dan menurut teori Marx, pasti akhirnya memegang peranan yang penting dalam mengubah masyarakat kapitalis ke tahap sejarah berikutnya (Marx yakin tahap itulah yang terakhir).
Meskipun pemilikan atau penguasaan atas alat produksi selalu merupakan sumber mutlak untuk pembagian kelas, karakteristik khusus dari kelas-kelas yang berbeda dan sifat hubungan sosial di antara kelas-kelas itu akan berbeda-beda dalam masyarakat yang berbeda-beda atau dalam tahap sejarah yang berbeda-beda. Misalnya, hubungan sosial antara bangsawan yang memiliki tanah dan budak dalam masa feodal berbeda secara substansial dari hubungan sosial antara kelas majikan kapitalis dan kelas buruh proletariat. Satu contoh misalnya, ikatan sosial nonekonomis lebih banyak dikembangkan dalam tipe yang pertama. Sama juga halnya, hubungan-hubungan kelas dalam masyarakat feodal berubah secara berarti dari tahap lebih awal yang masih melibatkan perbudakan.
Bersama dengan perbedaan-perbedaan dalam hubungan kelas pelbagai tahap sejarah, ada pula perbedaan-perbedaan internal gaya hidup dan bentuk kesadaran dalam kelas-kelas utama. Meskipun bangsawan yang memiliki tanah dan kapitalis borjuis masing-masing berkuasa dalam tahap-tahap sejarahnya sendiri, ada perbedaan pokok antara kelas-kelas ini. Memang kapitalis borjuis harus terlilbat dalam perjuangan revolusioner melawan kelas aristoktrat untuk memperkuat dominasinya. Juga sama halnya kelas proletar kota secara subtansial berbeda dari petani desa meskipun keduanya merupakan kelas yang tunduk.
Pembedaan Kelas Primer Dan Kelas Sekunder
Sebegitu jauh diskusi kita sudah mengandaikan model masyarakat dua kelas. Meskipun kutipan dari The Communist Manifesto pada halaman terdahulu dengan jelas menegaskan model ini, Marx tidak selalu konsisten dalam hal ini. Dalam satu bagian dari Das Capital jilid ketiga, Marx mulai dengan satu penjelasan yang sistematis menegnai konsep kelas itu, di mana dia mengidentifikasikan tiga kelas utama dalam masyarakat kapitalis: buruh upahan, kapitalis, dan pemilik tanah. Kelas-kelas ini dibedakan terutama karena perbedaan-perbedaan dalam sumber-sumber pendapatan pokok, yakni upah, keuntungan, dan sewa tanah untuk masing-masingnya. Pembagian yang tajam antara kelas-kelas primer mungkin dikaburkan oleh kelompok-kelompok sekunder lainnya atau kelompok menengah yang bermacam-macam. Di Inggris misalnya, yang merupakan masyarakat kapitalis yang paling maju, Marx mengakui bahwa sistem kelas-tiga bagian ini tidak nampak dalam bentuk aslinya.
Lebih-lebih lagi, karena sistem kapitalis itu berkembang, Marx mengharapkan bahwa ketiga sistem kelas itu secara bertahap akan diganti oleh suatu sistem dua kelas begitu lapisan menengah hilang, dan tentu saja karena cara kerja kapitalis itu diperluas dari perusahaan industri ke perusahaan pertanian. Ide bahwa masyarakat-masyarakat kapitalis di masa Marx hidup ada dalam proses gerak menuju sistem dua kelas saja, juga dikemukakannya dalam The Communist Manifesto: “Masyarakat sebagai satu keseluruhan menjadi semakin terbagi dalam dua kelompok besar yang saling bermusuhan ke dalam dua kelas yang saling berhadapan secara langsung: borjuis dan proletariat”.
Kalau model tiga kelas atau mungkin model dua kelas (tergantung pada tahap sejarah tertentu) dapat menggambarkan pembagian kelas yang paling dasar dalam masyarakat kapitalis, kelas-kelas lain pun dapat pula diidentifikasi. Kelas borjuis misalnya, dapat dibagi lagi ke dalam borjuis yang dominan dan borjuis kecil. Borjuis yang dominan dapat terdiri dari kapitalis-kapitalis besar dengan perusahaan raksasa yang mempekerjakan banyak buruh; borjuis kecil dapat terdiri dari pengusaha-pengusaha toko, pengrajin kecil, dan semacamnya, yang kegiatan operasinya jauh lebih kecil. Di antara kapitalis-kapitalis yang dominan, juga dapat dibedakan antara kapitalis uang dan kapitalis industri. Marx meramalkan bahwa perkembangan masyarakat kapitalis ke sistem dua kelas akhirnya akan mengakibatkan hilangnya kelas borjuis kecil dan mengakibatkan anggota-anggotanya menjadi proletariat.
Marx juga mengidentifikasi “kelas menengah ke bawah, pengrajin kecil, pengusaha toko, seniman, petani” yang terlibat dalam suatu pertarungan melawan kaum borjuis. Namun dari titik pandangan yang lain, petani harus dilihat sebagai satu kategori yang berbeda dari lain-lainnya. Mereka tidak jelas masuk dalam sistem tiga kelas itu, meskipun mereka sangat dekat persamaannya dengan kaum proletariat dalam jajaran tiga kelas itu. Namun, ideologinya bersifat reaksioner, dan tingkat organisasinya sebagai satu kelas tidak ada.
Juga di bawah tingkat upah buruh proletariat dalam suatu masyarakat kapitalis masih ada kategori dropouts dan ne’er-do-well’s yang Marx tunjuk sebagai lumpenproletariat (proletariat yang tidak laku); kategori ini “mencakup pencuri, penjahat dari segala jenis, yang hidup dari remah-remah masyarakat, pedagang tak menentu, gelandangan, tunawisma”. Kaum cendekiawan juga membentuk satu kelas menengah yang tidak persis masuk dalam salah satu model dua kelas atau model tiga kelas. Namun pada umumnya mereka mendukung kelas borjuis dengan mengembangkan ideologi-ideologi yang memperkuat struktur sosial dan ekonomi itu. Dalam The Communist Manifesto Marx menekankan bahwa “ahli fisika, pengacara, imam, pujangga, ilmuwan” sudah berbalik menjadi “buruh upahan yang dibayar” dari kelompok borjuis. (Marx tidak akan ragu-ragu menilai dirinya suatu kekecualian, yang dibuktikan dengan kesulitan ekonomi pribadinya.) sebagai satu petunjuk akhir bagaimana Marx menyimpang dari sistem dua atau tiga kelas saja, analisanya mengenai perjuangan kelas di Prancis menunjukkan tujuh kelas yang berbeda-beda: “borjuis pemodal, borjuis industri, borjuis pedagang, borjuis kecil, petani, kaum proletariat, proletar yang tidak laku”.
Penolakan Marx terhadap model yang hanya terikat pada dua atau tiga kelas saja, konsisten dengan pandangannya mengenai struktur sosial yang terus-menerus mengalami perubahan dan variasi dalam periode sejarah yang berbeda-beda. Konstelasi kelas khusus yang dapat diidentifikasi dalam masyarakat atau dalam periode sejarah yang berbeda-beda tidak dapat dianalisa secara memadai dengan menggunakan model yang statis yang mengabaikan variasi-variasi ini. Kekuatan-kekuatan produktif dengan persebaran yang tidak sama di antara kelas dominan dan kelas bawah akan bermacam-macam bentuknya, seperti halnya kelompok kelas sekunder atau menengah. Walaupun begitu, kendati perubahan-perubahan sejarah ini, dasar yang paling fundamental untuk pembagian kelas adalah kemudahan untuk memperoleh alat produksi, dan dalam titik sejarah yang paling menentukan, kriterium yang fundamental ini akan menyatakan dirinya semakin lebih jelas.
Kepentingan Kelas Obyektif Dan Kesadaran Kelas Subyektif
Sumber pokok yang mendasari pembedaan-pembedaan kelas yang utama—kesempatan yang berbeda untuk memiliki alat-alat produksi—mungkin tidak nampak jelas di mata anggota-anggota masyarakat, khususnya dalam perode yang relatif stabil. Ini disebabkan oleh munculnya pelbagai kelas sekunder menengah, dan juga karena perkembangan ideologi yang memberi ilusi yang benar-benar menutupi kepentingan kelas dari individu yang sebenarnya. Hasilnya individu mungkin tidak sadar akan kepentingan kelasnya sendiri bersama orang-orang lain yang ada dalam satu posisi yang serupa.
Lalu pertanyaan muncul, apakah kelompok orang yang semata-mata menduduki posisi yang serupa dalam sistem produksi itu tetapi tidak saling berkomunikasi atau tidak sadar akan kepentingan mereka bersama harus dilihat sebagai satu kelas? Dalam The Communist Manifesto Marx mengemukakan bahwa organisasi kaum proletar menjadi satu kelas sedang terganggu oleh kompetisi mereka satu sama lain. Ini mengandung implikasi bahwa posisi proletar yang sama itu sendiri tidak cukup untuk menggolongkan mereka sebagai satu kelas. Sama juga halnya dengan kapitalis itu sendiri tidak selalu bertindak dalam satu cara yang seragam; sebenarnya bentuk kegiatan mereka yang biasa adalah saling bersaing. Dalam hal di mana hubungan mereka bersifat kompetitif, mereka tidak sepenuhnya merupakan satu kelas. Juga sudah kita lihat di depan, kelas seseorang, secara obyektif ditentukan oleh kedudukannya dalam hubungan sosial yang terdapat dalam produksi dan kesempatan untuk memperoleh pelbagai alat produksi. Marx mengakui aspek obyektif dan subyektif itu termasuk dalam konsep kelas, dan arti istilah kelas yang paling lengkap harus mencakup kedua aspek itu.
Marx membandingkan kedua dimensi itu secara kontras, dan menjelaskan secara khusus pentingnya dimensi subyektif dalam analisanya mengenai petani Prancis di abad kesembilan belas: “sejauh jutaan keluarga hidup dalam kondisi-kondisi ekonomi yang memisahkan gaya hidup kepentingan, dan kebudayaan mereka dari orang yang termasuk dalam kelas lain, dan menempatkan mereka dalam oposisi yang bermusuhan dengan kelas yang terakhir itu, mereka membentuk satu kelas. Sejauh hanya saling keterhubungan setempat antara petani-petani kecil itu, dan identitas kepentingan mereka tidak menciptakan komunitas, tidak ada ikatan nasional dan tidak ada organisasi politik di kalangan mereka, mereka tidak membentuk satu kelas”.
Yang berhubungan dengan antara dimensi kelas subyektif dan obyektif adalah pembedaan antara kepentingan kelas. Kesadaran kelas merupakan satu kesadaran subyektif akan kepentingan kelas obyektif yang mereka miliki bersama orang-orang lain dalam posisi yang serupa dalam sistem produksi. Konsep “kepentingan” mengacu pada sumber-sumber materil yang aktual yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan individu. Jadi misalnya, kepentingan kelas kapitalis terletak pada keuntungan yang semakin meningkat; kepentingan kelas proletar, menurut definisi yang sempit, meliputi kenaikan upah, tetapi menurut definisi yang luas, akan meliputi penguasaan terhadap proses produksi yang lebih luas.
Kurangnya kesadaran penuh akan kepentingan kelas sangat berhubungan dengan penerimaan ideologi yang dikembangkan untuk mendukung kelas dominan dan struktur sosial yang ada. Pengaruh ideologi ini adalah munculnya “kesadaran palsu”. Kesadaran palsu dapat berupa kepercayaan bahwa kesejahteraan materil orang pada masa kini dan di masa yang akan datang terletak dalam dukungan terhadap status-quo politik di mana kepentingan materil seseorang sesuai dengan kepentingan kelas penguasa atau bahwa kelas penguasa benar-benar memperhatikan kesejahteraan semua kelompok masyarakat. Kesadaran palsu menciptakan ilusi yang mengaburkan kepentingan yang sebenarnya dari sekelompok masyarakat dan mendukung kepentingan kelas dominan.
Satu contoh akan menmjelaskan pembedaan antara kesedaran kelas yang benar dan kesadaran kelas yang palsu. Pekerja pabrik pada jenjang hirarki organisasi yang paling bawah yang percaya bahwa kalau mereka bekerja keras mereka akhirnya akan memperoleh posisi yang tinggi dalam perusahaan itu dan yang lalu melihat keberhasilan pribadi mereka sendiri mempunyai hubungan dengan keberhasilan perusahaan itu, mungkin akan memperlihatkan kesadaran yang palsu, terutama kalau tingkat kenaikan jenjang yang sebenarnya sangat rendah. Berlawanan dengan ideologi “orang perusahaan” ini, buruh pabrik yang sadar bahwa kesempatan mereka untuk naik jenjang adalah sangat kecil dan yang lalu berusaha membentuk organisasi buruh sejawat dalam satu serikat buruh untuk mendesak pengelolaan upah yang lebih tinggi, kondisi kerja yang lebih baik, otonomi yang lebih besar, dan seterusnya, mungkin akan memperlihatkan kesadaran kelas yang benar.
Munculnya Kesadaran Kelas dan Perjuangan Kelas
Apa yang menyebabkan kesadaran kelas yang palsu digantikan oleh kesadaran kelas yang benar? Jawaban Marx atas pertanyaan ini dipusatkan pada perkembangan dalam kelas proletar masyarakat kapitalis. Satu faktor penting adalah semakin terpusatnya kaum buruh proletar dalam daerah-daerah industri di kota. Karena mereka bekerja bersama-sama dalam kondisi yang kurang manusiawi dalam pabrik itu dan hidup berdampingan satu sama lain sebagai tetangga di kota, kaum proletar menjadi sadar akan penderitaan bersama dan kemeralaratan ekonominya. Singkatnya, terpusatnya mereka pada satu tempat memungkinkan terbentuknya jaringan komunikasi dan menghasilkan kesadaran bersama. Sesungguhnya ini merupakan salah satu dari pembedaan pokok antara kelas proletar kota dan kelas petani desa, yang anggota-anggotanya hidup terpencil satu sama lain dan jarang berkomunikasi menurut satu pola yang tetap.
Juga Marx membayangkan bahwa kondisi kelas proletar yang tertekan itu secara bertahap akan menjadi semakin parah begitu masyarakat kapitalis itu mendekati masa ajalnya. Tidak seluruhnya jelas apakah ramalan mengenai bertambah melaratnya kelas buruh itu harus dilihat dalam artian mutlak atau relatif. Kalau diartikan secara mutlak, itu berarti bahwa individu-individu kelas itu merasa semakin sulit untuk hidup dalam pengertian fisik belaka. Kalau diartikan secara relatif, itu berarti bahwa jurang antara pemilik alat produksi dan buruh terus melebar, meskipn sumber-sumber materil aktual yang ada pada individu kelas buruh tertentu mungkin sebenarnya bertambah.
Marx tentu sadar akan pentingnya deprivasi relatif; sekali dia menulis bahwa sebuah rumah kecil di antara rumah-rumah kecil lainnya mungkin cukup untuk tempat tinggal, tetapi kalau sebuah istana didirikan di sampingnya, rumah kecil itu lalu menjadi gubuk. Bagaimanapun juga, apakah deprivasi proletar yang bertambah itu bersifat absolut atau relatif, proses deprivasi ini makin mempersulit kelas pekerja untuk membenarkan ilusi yang muncul dari kesadaran palsu. Sebaliknya kelas pekerja menjadi semakin sadar akan antagonisme yang fundamental antara kepentingannya dan kepentingan kapitalis.
Sesekali jaringan komunikasi itu dibentuk dan kepentingan bersama menjadi jelas, maka dibentuklah organisasi kelas proletar melawan musuh bersama. Organisasi ini dapat berupa berdirinya serikat-serikat buruh atau serikat-serikat kerja lainnya untuk mendesak upah yang lebih tinggi, perbaikan kondisi kerja, dan sebagainya. Namun akhirnya organisasi kelas buruh itu akan menjadi cukup kuat bagi mereka untuk menghancurkan seluruh struktur sosial kapitalis dan menggantikan dengan struktur sosial yang akan menghargai kebutuhan dan kepentingan umat manusia seluruhnya.
Bersama dengan proses organisasi politik ini dikembangkanlah satu ideologi yang mengungkapkan kepentingan kelas buruh yang sesungguhnya dan memberikan satu penjelasan mengenai peranan sejarahnya dalam mengubah struktur sosial. Perkembangan segi perjuangan ideologis ditingkatkan oleh proletarisasi borjuis-borjuis kecil yang latar belakang sosialnya membantu mereka untuk peranan barunya ini. Tetapi ingatlah, bahwa perjuangan ideologis antara titik pandangan revolusioner dan konservatif hanya merupakan satu ceerminan dari perjuangan riil yang sedang berlangsung.
Proses yang terdahulu menggambarkan kelas proletar dalam masyarakat kapitalis, tetapi proses perjuangan kelas yang umumnya sama itu juga terjadi pada perjuangan revolusioner kaum borjuis melawan sistem sosial tradisional yang didominasi kelompok aristokrat. Dalam melawan sistem feodal kuno, kelas borjuis itu memperlihatkan proses umum yang sama yang berhubungan dengan peningkatan komunikasi, bertambahnya kesadaran kelas, organisasi politik, dan perkembangan suatu ideologi pendukung. Namun perbedaan yang penting adalah bahwa kelas borjuis mewakili kepentingannya yang khusus, sedangkan kelas proletar, dalam pandangan utopis Marx, bertujuan untuk mewakili umat manusia seluruhnya.
Perjuangan Kelas dan Analisa Dialektik tentang Perubahan Sosial
Jelas, tidak semua pemberontakan dari kelas tertindas mengarah satu revolusi yang berhasil atau reorganisasi masyarakat secara total. Apa yang menentukan berhasil-tidaknya suatu kelas dalam mengubah masyarakat sesuai dengan kepentingannya yang dinyatakan secara tegas? Jawaban Marx atas pertanyaan ini terletak pada perspektifnya mengenai perubahan sejarah secara menyeluruh. Perlu diingat bahwa perubahan-perubahan dalam alat produksi (seperti teknologi baru) mengakibatkan ketidakseimbangan antara kekuatan-kekuatan materil ini dan hubungan sosial dalam produksi (termasuk hubungan pemilikan). Hubungan sosial yang ada dalam produksi akhirnya menjadi hambatan bagi perkembangan kekuatan-kekuatan produktif dalam masyarakat untuk selanjutnaya. Kelas yang kepentingannya memperoleh kemajuan karena perkembangan-perkembangan tertentu, yang terjadi dalam kekuatan-kekuatan produksi, dapat memainkan peranan yang menentukan dalam menghasilkan perubahan masyarakat secara revolusioner. Karena itu, kelompok borjuis berhasil dalam perjuangannya melawan sistem aristokrat feodal, dan karena itulah maka kelas proletar akhirnya akan berontak melawan kaum borjuis. Namun dalam kedua hal itu, kelas revolusioner berasal dari dalam kandungan strruktur itu, yang akhirnya diubah.
Ironi dialektik ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa di masa awal perubahan borjuis, proletariat yang sedang muncul membantu kelompok borjuis dalam perjuangannya melawan aristokrasi. Dengan menggerakkan kaum proletar dengan cara ini sebagai kekuatan politik, kaum borjuis tanpa disadari mempersiapkan kubur untuk kehancurannya sendiri. Bagaimanapun juga, keberhasilan suatu kelas yang tertindas dalam menggerakkan aksi politik revolusioner untuk meningkatkan kepentingannya, bergantung pada perkembangan kekuatan-kekuatan produksi materil yang sesuai. Tingkat perkembangan kekuatan-kekuatan materil ini menentukan apakah kelas revolusioner akan menjadi katalisator untuk menghasilkan tahap sejarah berikutnya dalam perkembangan masyarakat, atau apakah akan hanya merupakan satu pemberontakan yang gagal saja. Singkatnya, satu kelas revolusioner berhasil kalau dia mampu menghubungkan kepentingan kelasnya sendiri dengan tuntutan sosial masyarakat sebagai keseluruhan dalam memasuki tahap sejarah berikutnya.
Cara analisa dialektik merupakan inti model bagaimana konflik kelas mengakibatkan perubahan sosial. Umumnya analisa dialektik meliputi suatu pandangan tentang masyarakat yang terdiri dari kekuatan-kekuatan yang berlawanan yang sewaktu-waktu menjadi seimbang. Analisa dialektik peka terhadap kontradiksi internal dalam masyarakat; memecahkan kontradiksi dengan analisa dialektik itu mempercepat munculnya tahap baru dalam sejarah. Dalam pandangan Marx, kontradiksi yang paling penting adalah antara kekuatan-kekuatan produksi materil dan hubungan-hubungan produksi, dan antara kepentingan-kepentingan kelas yang berbeda. Karena kontradiksi-kontradiksi inilah, setiap tahap sejarah dalam perkembangan masyarakat dapat dilihat sebagai tahap yang mempersiapkan jalan untuk kehancuran akhirnya sendiri, dengan masing-masing tahap baru yang menolak tahap sebeelumnya di mana secara paradoksal memasuki awalnya.
Perkembangan tahap sejarah tertentu bergantung pada munculnya kekuatan-kekuatan yang akhirnya tidak dapat tertampung dalam struktur di mana mereka muncul. Karena kekuatan-kekuatan sosial ini berkembang, mereka akhirnya meledak keluar dari struktur di mana mereka muncul pada mulanya; dalam proses itu, kekukatan-kekuatan sosial itu mengubah struktur itu menjadi struktur baru secara radikal yang terlihat dalam tahap sejarah berikutnya. Kelas-kelas sosial yang memperlihatkan kekuatan-kekuatan baru yang muncul, ditentukan secara historis untuk berhasil dalam mengubah struktur yang ada begitu mereka menyatakan dengan tegas kepentingan kelas mereka.
Namun terak sejarah yang bersifat dialektik itu tidak terlepas dari kemauan atau usaha manusia. Max tidak mengemukakan suatu pandangan sejarah di mana individu hanya bersikap pasif belaka. Manusialah yang menciptakan sejarahnya sendiri, meskipun kegiatan kreatifnya ditentukan dan terikat oleh lingkungan materil dan sosial yang ada. Meskipun orang membuat sejarahnya sendiri, ia tidak dapat membuat sesuka hatinya. Marx berulang kali mempertahankan pendiriannya terhadap masalah ini dalam pertentangannya melawan sosialis utopis yang mengasumsikan bahwa mereka secara praktis dapat merancangkan tipe masyarakat apa saja yang dipilihnya, tanpa memperthatikan kondisi materil dan kondisi sosial.
Karl Marx sendiri secara pasti memprlihatkan keengganannya untuk percaya pada kekukatan dialektis impersonal dalam sejarah yang melahirkan jenis perubahan sosial seperti yang dibayangkannya. Marx adalah seorang yang aktif, dan meskipun tulisan analitisnya mengemukakan proses-proses sejarah umumnya berkembang menurut dinamikanya sendiri secara impersonal, tulisan-tulisan politiknya seperti The Communist Manifesto benar-benar merupakan satu ajakan untuk mengangkat senjata. Khususnya dia mendesak kelas buruh untuk mempergunakan momen yang tepat dalam sejarah yang ditimbulkan oleh munculnya krisis ekonomi, untuk mengubah masyarakat melalui kegiatan revolusioner mereka sendiri.
Munculnya krisis ekonomi dalam sistem kapitalis dipergunakan Marx untuk menjelaskan bahwa kontradiksi-kontradiksi internal dalam kapitalisme akan mencapai puncak gawatnya dan bahwa sudah tiba waktunya yang tepat bagi kaum proletar untuk melancarkan suatu revolusi yang berhasil. Sebaliknya selama masa-masa jaya, Marx merasa bahwa sistem kapitalis benar-benar memiliki potensi untuk terus berkembang dan karena itu tidak dapat dihancurkan segera. Dalam keadaan tidak adanya kemungkinan-kemungkinan yang realistis untuk suatu revolusi yang berhasil, kegiatan politik dapat mengambil bentuk untuk mengorganisasi kelas pekerja.
Kritik terhadap Masyarakat Kapitalis
Meskipun pendekatan teoritis Marx keseluruhannya dapat diterapkan pada tahap sejarah apa pun, perhatian utamanya adalah pada tahap masyarakat kapitalis—perkembangannya sejak semula di akhir masa feodal, ketegangan-ketegangan dan kontradiksi-kontradiksi internalnya, dan akhirnya bubar dan berubah menjadi masyarakat komunis yang akan datang melalui kegiatan revolusioner kelas proletar. Banyak ide pokok yang dibutuhkan untuk satu analisa Marxis tentang masyarakat kapitalis sudah didiskusikan. Bagian ini hanya meringkas beberapa ide pokoknya dan menunjukkan konsep-konsep tambahan serta ide-ide yang dikembangka terutama dalam Das Capital yang dibutuhkan untuk suatu kritik Marxis yang menyeluruh.
Maksud Marx yang dituangnya dalam Das Capital adalah untuk mengungkapkan dinamika-dinamika yang mendasar dalam sistem kapitalis sebagai sistem yang bekerja secara aktual, yang berlawanan dengan versi yang diberikan oleh para ahli ekonomi politik yang bersifat naïf. Dia menerima dinamika-dinamika sistem itu yang berpusat sekitar produksi komoditi dan akumulasi modal. Produksi komoditi untuk pasar dan produksi barang-barang modal untuk dipergunakan sebagai alat produksi selanjutnya, keduanya itu mencakup tenaga kerja manusia.
Seperti banyak ahli ekonomi politik di zamannya, Marx menerima teori nilai tenaga kerja. Menurut teori ini, nilai pasar dari suatu komoditi ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang menghasilkan produksi itu. Nilai ini merupakan faktor utama dalam menentukan harga komoditi itu. Jadi kalau tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi satu lampu meja, misalnya, sama dengan tenaga kerja yang diperlukan untuk memproduksi sepasang sepatu, maka dua komoditi ini harus dijual dengan harga sama. Dalam kedua kasus itu, tenaga kerja total yang terlibat mencakup tanaga kerja yang dipergunakan dalam mengerjakan benda-benda itu tadi secara langsung, tanaga kerja yang ikut dalam pengerjaan setiap barang-barang modal (misalnya mesin) yang dipergunakan dalam produksi itu, dan juga tenaga kerja ahli atau insinyur yang mengembangkan teknik-teknik untuk memproses kulit binatang menjadi kulit halus dan yang menggunakan kekuatan llistrik untuk menghasilkan penerangan. Mungkin ada faktor-faktor lainnya yang mencegah komoditi itu untuk dijual dengan nilai yang sebenarnya, tapi kecenderungan alamiahnya adalah bahwa untuk nilai tukarnya dalam pasar ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang diwakilkannya.
1. Produksi Nilai “Surplus” dan Eksploitasi Tenaga Kerja
Dalam pandangannya yang idealistis mengenai sistem pasar, para ahli ekonomi politik seperti Smith dan Richardo sudah mengemukakan bahwa transaksi ekonomi yang terjadi di pasar, menguntungkan semua pihak; kalau tidak, individu tidak mau terlibat di dalamnya. Jadi misalnya, kalau seorang petani mempunyai surplus dendeng dan yang lainnya surplus telur, maka jelas keduanya mengambil keuntungan dari tukar-menukar kedua surplus tersebut. Keuntungan itu berasal dari kenyataan bahwa sesudah tukar-menukar terjadi, kedua pihak memperoleh sesuatu untuk dimakan yang tadinya tidak mereka miliki.
Tetapi pertukaran seperti itu berbeda dari jenis pertukaran yang terjadi dalam system pasar yang bersifat impersonal, di mana komoditi ditukar dengan uang, atau uang ditukar dengan komoditi. Perbedaan pertukaran ini terletak dalam distingsi Marx antara “nilai pakai” dan “nilai tukar”. Keuntungan timbal balik yang diterima oleh pasangan penukar dari suatu transaksi paling jelas dalam hubungannya dengan pertukaran nilai pakai. Lagi pula, syarat-syarat pertukaran seperti itu cenderung dirancang atas dasar tujuan tertentu yang ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan dan sumber-sumber tertentu dari pasangan penukar itu. Sebaliknya, nilai-nilai tukar ditentukan tidak atas dasar tujuan tertentu seperti ini, melainkan atas dasar jumlah tenaga kerja yang terkandung di dalamnya. Perbedaan antara nilai pakai dan nilai tukar dapat segera dimengerti oleh seseorang yang mengendarai sebuah mobil tua yang harganya hanya sebagian kecil dari harga mobil baru di pasar (nilai tukar), tetapi yang melayani pemiliknya sebagai satu alat transportasi terpercaya (nilai pakai) yang tidak dapat diganti tanpa uang pembelian dalam jumlah besar melebihi nilai pasar yang selayaknya untuk mobil tua itu.
Pembedaan antara nilai tukar dan nilai pakai dapat dilihat sebagai sesuatu yang rawan, khususnya dalam transaksi yang meliputi jual beli tenaga kerja. Buruh dapat dipandang sebagai sumber kedua nilai tukar dan nilai pakai. Sebagai sumber nilai pakai, buruh merupakan sumber kegiatan yang dipakai untuk produksi suatu barang tertentu untuk digunakan. Sebagai sumber nilai tukar, buruh dilihat sebagai masukan umum untuk proses produksi komoditi-komoditi yang dihasilkan tidak untuk kegunaan pribadi buruh itu sendiri ataupaun untuk kegunaan majikan, melainkan untuk dijual dalam sistem pasar yang bersifat impersonal, untuk ditukarkan dengan uang. Meskipun uang merupakan alat tukar yang umum digunakan untuk mempermudah pertukaran komoditi pasar, nilai keuangannya itu sebenarnya mencerminkan jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksikan komoditi itu.
Seperti sudah dilihat sebelumnya, buruh itu sendiri dilihat dalam system kapitalis sebagai komoditi untuk dijual-belikan dalam pasar impersonal, seperti setiap kkomoditi lainnya. Namun, buruh mampu untuk memproduksikan nilai tukar lebih banyak daripada yang diminta untuk mempertahankan nilai tukarnya itu. Artinya, seorang pekerja mampu memproduksi jumlah komoditi dengan nilai tukar yang jauh lebih besar daripada nilai tukar makanan, pakaian, perumahan, dan lain-lain yang perlu untuk mempertahankan hidup dan untuk memperoleh tenaga kerja yang lebih banyak lagi. Tambahan atau kelebihan dari persyarakatan kelangsungan hidup buruh dan pemulihan tenaganya kembali, merupakan “nilai surplus” (atau nilai lebih); dan pemahanan mengenai agaimana hal itu terjadi, sangat penting untuk mengangkap teori Marx mengenai ekspoitasi kapitalis.
Sebagai contoh, katakanlah bahwa seorang pekerja dapat memproduksikan dalam enam jam setiap hari komoditi yang cukup untuk memperoleh yang yang perlu guna mempertahankan hidupnya sendiri beserta keluarganya; tetapi lamanya hari kerja ditetapkan, katakanlah dua belas jam sehari. Nilai komoditi-komoditi yang dihasilkan selama enam jam yang kedua itu menjadi nilai surplus. Nilai ini disadari apabila majikan kapitalis itu menjual komoditi itu di pasar. Uang yang diperoleh dapat dipergunakan oleh si majikan itu untuk membeli lebih banyak bahan mentah, misalnya, untuk memperluas kemampuan produksi dari perusahaannya, ataupun untuk konsumsi pribadinya. Jadi nilai surplus itu dirampas oleh si majikan kapitalis itu. Sebagai hasilnya, pekerja terasing dari hasi produksinya sendiri. Mereka mengkonfrontasikan produk tenaganya itu sendiri sebagai komoditi obyektif dan terasing di dalam pasar yang bersifat impersonal itu yang tunduk pada hokum-hukum yang berlaku umum dalam pertukaran di luar jangkauan pemahaman mereka, apalagi menguasainya.
Tahap sejarah kapitalis dibedakan dari tahap-tahap sebelumya antara lain karena perkembangan yang pesat dari kekuatan-kekuatan produksinya. Produksi mesin secara besar-besaran menggantikan system peroduksi kerja tangan, dan hal ini menyebabkan bertambahnya spesialisasi dalam pembagian kerja serta perubahan-perubahan kualitatif dalam sifat kerja produktif itu. Pekerja menjadi benar-benar perangkat mesin, tunduk pada disiplin produksi mesin yang bersifat kaku daripada menyempurnakan atau memuaskan dirinya dengan bekerja.
Juga investasi modal besar yang diperlukan untuk produksi mesin berarti bahwa sebagian besar modal harus dikumpulkan untuk membiayai suatu perusahaan produktif. Perampasan nilai surplus itu tentu merupakan modal, tetapi jelas makin sedikit orang akan ada dalam posisi memiliki atau mengontrol alat produksi yang penting-penting. Pengrajin kecil merasa dirinya tidak mampu untuk berhasil dalam persaingan, dengan alat-alatnya yang serba kecil, melawan cara produksi mesin kapitalis. Sebagai hasilnya juga mereka mundur ke posisi harus menjual tenaga kerja mereka kepada kaum kapitalis itu. Secara bertahap, cara produksi kapitalis menggantikan semua cara produksi lainnya.
Alasan utama bahwa kapitalis bergairah untuk menanamkan modalnya dalam mesin yang memperbesar kemampuan produksinya adalah keinginan untuk memperoleh keuntungan lebih daripada para saingannya. Kemampuan produksi yang bertambah yang diberikan oleh mesin itu berarti bahwa lebih banyak komoditi itu dihasilkan untuk dijual di pasar, dan berkurangnya permintaan akan tenaga kerja yang disebabkan oleh mesin yang hemat buruh itu berarti bahwa ongkos buruh perkomoditi berkurang. Tetapi mesin tidak dapat menghasilkan nilai; hanya tenaga kerja manusialah yang menghasilkan nilai. Tentu tenaga kerja manusia termasuk dalam produksi mesin itu, yang digunakan dalam kegiatan produksi selanjutnya, dan kapitalis harus membayar tenaga kerja ini dalam harga yang sudah diinvestasikan dalam mesin itu. Nilai kerja yang terwujud itu lalu secara perlahan-lahan hilang dalam komoditi yang dihasilkan oleh mesin itu; akhirnya, mesin akan harus diganti (atau dengan kata lain, nilainya akan habis). Walaupun begitu, dalam jangka pendek seorang kapitalis dapat memperbesar keuntungan dengan memperluas produksi melalui penggunaan mesin-mesin baru yang hemat buruh.
2. Ekspansi Kapitalis dan Krisis Ekonomi
Penggunaan mesin baru yang hemat buruh merusakkan keseimbangkan antara kemampuan produktif dan permintaan, dan karena itu mempercepat krisis ekonomi pada masa tertentu dalam sistem kapitalis itu. Khususnya, karena mesin hemat buruh dipakai, sebagaian besar kelompok buruh harus keluar dari pekerjaannya, walaupun sementara itu kapasitas produksi diperbesar. Namun pekerja yang menganggur tidak mampu untuk membeli komoditi yang dihasilkan dalam jumlah yang semakin besar, dan tanpa pasaran untuk produk-produknya keuntungan kapitalis akan terancam. Tanggapan kapitalis terhadap Ancaman ini adalah memperpanjang jam kerja supaya menarik lebih banyak nilai surplus dari para buruh. Tetapi sepinya pasar-pasar dibandingkan dengan kapasitas produksi berarti lebilh banyak pekerja yang akan harus diberhentikan, dan ini menambah pengaruh tekanan di pasaran. Juga, dengan tawaran akan tenaga kerja yang melampaui permintaan akan tenaga buruh, upah dikurangi sampai ke tingkat yang lebih rendah; karena itu bertambahnya kemelaratan kelas pekerja dan merosotnya pasaran komoditi menjadi berkepanjangan.
Singkatnya, dalam perjuangan kompetitifnya untuk memperoleh keuntungan, kaum kapitalis menggunakan mesin-mesin baru yang hemat buruh yang memperbesar kapasitas produksi; hal ini merusakkan keseimbangan antara kapasitas produksi dan permintaan, dan hasilnya berupa satu spiral menurun, dengan permintaan pasar berkurang (dihubungkan dengan kapasitas produksi) yang mengakibatkan berkurangnya keuntungan, berkurangnya investasi, berkurangnya kesempatan kerja, yang mengakibatkan berkurang terusnya permintaan di pasaran, dan seterusnya. Parahnya keadaan kapitalisme di masa krisis ekonomi periodic ini terletak dalam kecenderungannya untuk memperbesar kapasitas produksi secara berlebih-lebihan; kecenderungan ini merupakan akibat dari kompetisi di kalangan kapitalis untuk memperbesr keuntungan.
Karena spiral ini terus berkembang menurun, akhirnya terciptalah kondisi yang perlu untuk kehancurannya sendiri. Antara lain misalnya, sesudah terjadi periode kemandegan berupa tidak dimafaatkannya alat produksi, maka kelebihan komoditi pelan-opelan berkurang. Juga perpanjangan jam kerja dan berkurangnya upah buruh, meningkatkan sejumlah nilai yang dihasilkan oleh buruh yang dapat dirampas oleh kapitalis sebagai nilai surplus dan digunakan untuk mempertahankan perusahaannya selama krisis itu. Tetapi tidak semua kapitalis dapat mempertahankan perusahaannya selama krisis ekonomi itu. Perusahaan-perusahaan kapitalis yang tidak berhasil itu akan dibeli oleh kapitalis yang lebih besar.
Akibatnya adalah kecenderungan untuk memusatkan dan menyatukan modal di kalangan kapitalis yang makin lama makin sedikit itu. Perusahaan mereka berkembang menjadi sangat besar, dan perusahaan-perusahaan lainnya menjadi menjadi tidak berarti kagi. Ramalan ini lahir dari kenyataan bahwa dalam masyarakat kita sistem ekonomi itu didominasi oleh beberapa ratus perusahaan besar multinasional yang pertumbuhannya memperkecil peranan wiraswasta kapitalis kecil.
Kontradiksi dasar dalam struktur masyarakat kapitalis, menurut Marx, sudah mencapai puncaknya dalam krisis ekonomi; dengan krisis itu sistem kapitalis pasti akan menderita. Kaum kapitalis bersaing satu sama lain untuk memperoleh keuntungan; kelebihan produksi yang dihasilkannya merusakkan dasar untuk memperoleh keuntungan, dan dalam memecahkan konflik ini kapitalis-kapitalis kecil dibinasakan. Kaum buruh bersaingan satu sama lain demi pekerjaan; hasilnya adalah bahwa upah ditekan, kesengsaraan kolektif kelas pekerja meningkat, dan solidaritas kelasnya yang potensial menjadi kabur. Pada tingkat yang lebih abstrak, ada pertentangan antara buruh dan produk kerjanya yang mengkonfrontasikan mereka sebagai benda-benda asing dalam pasar yang bersifat impersonal dan bahwa mereka mungkin juga tidak mampu membeli sesuatu selama krisis itu. Ada juga pertentangan antara nilai pakai dan nilai tukar, di mana kegiatan manusia didominasi oleh tuntutan untuk menghasilkan nilai tukar. Kontradiksi-kontradiksi itu menambah konflik kepentingan yang jelas antara majikan kapitalis dan buruh penerima upah. Pemecahan yang terakhir dari semua kontradiksi ini akan menuntut perubahan struktur masyarakat kapitalis, beserta pembagian kerja, akumulasi modal milik pribadi, dan hilangnya antagonisme kelas yang dihasilkannya.
Marx tidak menyajikan suatu perencanaan yang terperinci mengenai masyarakat post-kapitalis itu; tetapi dia membayuangkan suatu masyarakat di mana keuntungan dalam kapasitas produksi yang dihasilkan oleh kapitalisme akan dimiliki secara kolektif, daripada secara pribadi; hal itu akan membebaskan individu dari keharusan menggunakan semua waktunya untuk bekerja hanya untuk mempertahankan hidup, dan memungkinkan mereka untuk lebih mengembangkan kemampuan-kemampuan mereka sebagai manusia. Munculnya krisis ekonomi mendorong masyarakat kapitalis itu untuk harus berubah, dengan mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi yang mendasar, yang membuat ilusi-ilusi ideologis yang mengaburkan kontradiksi-kontradiksi ini menjadi lebih sulit untuk dipertahankan. Dalam situasi demikian itu kemungkinan-kemungkinan ini diimbangi oleh kompetisi antara keum buruh karena pekerjaan yang langka dan upah yang meningkat. Mengatasi persaingan ini dan mengembangkan kesadaran kelas menuntut bahwa kaum buruh harus senantiasa mendapat penerangan mengenai proses sejarah di mana mereka terlibat. Sebagai seorang aktivis Marx memandangnya sebagai salah satu dari peranan utamanya.
VII. KRITIK TERHADAP MARX
Kritik Marx terhadap masyarakat kapitalis dan ramalannya mengenai perkembangan masa depannya menjadi sasaran banyak kritik. Salah satu kritik yang tidak asing lagi adalah reaksi terhadap Marxisme sebagai satu ideologi politik, bukan sebagai teori sosiologi atau teori ekonomi yang obyektif. Namun penggunaan perspektif Marxis sebagai ideologi politik dalam negara-negara komunis di abad kedua puluh merupakan penyimpangan dan terlampau menyederhanakan teori Marx. Karena itu, kecaman-kecaman yang dilontarkan ke ideologi Marxis seperti yang dicanangkan oleh pemimpin-pemimpin politik masa kini untuk mendukung kebijaksaan ekonomi, politik, dan kebijaksanaan internasional dapat merupakan kecaman yang tepat terhadap teori Marxis dilihat dalam keseluruhannya dan dapat juga tidak. Marx sendiri pernah menyangkal penggunaan ideologi yang menggunakan teorinya, dengan menegaskan bahwa dia bukan seorang Marxis. Di sini kita akan melihat sepintas lalu beberapa kecaman yang dilontarkan terhadap Marx serta argumen-argumen sanggahan.
Kecaman utama adalah bahwa Marx tidak cukup melihat ke depan akan besarnya kenaikan dalam kapasitas produksi yang terus dihasilkan oleh perkembangan industri. Kenaikan ini berarti bahwa sejumlah jam kerja tertentu menghasilkan jauh lebih banyak nilai dalam suatu sistem industri yang sangat berkembang, daripada yang dihasilkan dalam sistem industri yang perkembangannya sangat minim. Akibatnya, ada kemungkinan untuk meningkatkan upah buruh jauh di atas tingkat yang mungkin dirasakan Marx. Singkatnya, ramalan mengenai kondisi ekonomi kelas proletar yang semakin tertekan itu nampaknya tidak terjadi, sekapilun menurut pandangannya tingkat penindasan itu harus dilihat secara relatif dan bukan secara mutlak.
Dalam masyarakat Amerika, produktivitas buruh yang semakin meningkat itu, dan kenaikan upahnya berarti bahwa anggota-anggotanya kelas proletar tidak harus terpaksa atau dipaksa untuk menghancurkan struktur sistem kapitalis yang mendasar dengan maksud untuk menuntut kepentingan kelasnya. Organisasi sosial dan politik kaum buruh dalam serikat-serikat buruh dan partai-partai politik jelas mencerminkan adanya pilihan lain daripada perjuangan revolusi untuk menuntut kepentingan kelas. Singkatnya, serikat-serikat buruh sudah mampu untuk memperjuangkan kenaikan upah serta kondisi kerja yang lebih baik dalam konteks struktur kapitalis, dan secara relatif mereka berhasil, sekurang-kurangnya untuk masyarakat Amerika. Sebagai hasilnya, serikat-serikat kerja cenderung untuk kurang radikal daripada yang dibayangkan Marx. Sangat meragukan bahwa Marx dapat membayangkan tingkat patriotisme nasional yang tinggi dari pemimpin-pemimpin dan anggota-anggota serikat buruh di Amerika dalam mendukung suatu sistem politik yang berhubungan dengan tahap perkembangan kapitalis.
Juga ada tuduhan bahwa Marx gagal melihat pertumbuhan suatu kelas menengah yang besar yang secara politik dominan. Perkembangan seperti itu mematahkan argumennya bahwa karena kapitalisme berkembang, maka struktur sosialnya semakin lama semakin terbagi ke dalam dua kelas yang saling bermusuhan: pemilik alat produksi kapitalis dan buruh proletar. Sebenarnya Marx menyinggung pertumbuhan kelas menengah yang berada di antara kapitalis dan buruh, tetapi dia tidak mengembangkan idenya ini secara sistematis. Tekanannya yang menyeluruh adalah pada kecenderungan untuk hubungan-hubungan kelas yang disederhanakannya dalam suatu sistem dua kelas begitu sistem kapitalis itu berkembang.
Pertumbuhan kelas menengah sebagiannya dihubungkan dengan naiknya upah buruh seperti disinggung di depan. Juga berhubungan dengan perubahan-perubahan dalam sifat pekerjaan yang disebabkan oleh perkembangan teknologi yang terus-menerus. Karena otomatisasi ditambahkan pada mekanisasi dan karena teknologi sudah menjadi semakin kompleks dalam banyak hal lainnya, banyak bentuk pekerjaan industri sudah kurang menindas lagi.
Penilaiannya Marx kemudian mengenai buruh yang semakin rendah martabatnya, pada dasarnya mencerminkan penilaian subyektifnya sendiri mengenai hal itu dan bukan penilaian yang diberikan oleh pekerja-pekerja itu sendiri. Dalam penilaian ini Marx benar-benar mengungkapkan sikap borjuisnya yang agak konservatif. Dia mengasumsikan bahwa pekerjaan industri, atau pekerjaan yang dibutuhkan sekedar untuk mempertahankan hidup secara fisik, tidak dapat memberi kepuasan atau mengembangkan diri. Penilaian ini berlaku sebagai satu penilaian subyektif yang mencerminkan keinginan Marx sendiri, namun kita harus sadar bahwa itu adalah penilaiannya, bukan penilaian kaum buruh itu sendiri. Pekerjaan yang mungkin dianggap merendahkan martabat bagi seseorang, bagi yang lain mungkin memuaskan. Bagaimanapun juga pelbagai perubahan dalam situasi kelas buruh mempunyai arti bahwa pekerja-pekerja itu, bukan karena terpaksa masuk dalam situasi yang semakin tidak menentu karena kapitalisme berkembang, melainkan benar-benar mampu untuk memperoleh status kelas menengah menurut pola konsumsi dan gaya hidupnya.
Juga pemilikan alat produksi yang menyebar luas melalui investasi berupa saham-saham, tidak diharapkan Marx dan merupakan satu alternatif dari ramalannya mengenai pemusatan modal yang semakin kecil jumlahnya. Kaum Marxis tentunya dapat langsung menentang bahwa pemilikan yang sangat tersebar itu tidak sama dengan penguasaan kolektif dan bahwa pembagian saham yang menguasai sebagian besar perusahaan-perusahaan terus saja mempunyai bentuk yang terpusat dan terkumpul.
Secara lebih umum, kritik-kritik terhadap interpretasi Marxis mengenai masyarakat kapitalis mengumakakan bahwa Marx meremehkan fleksibilitas dan kemampuan menyesuaikan diri dari masyarakat kapitalis itu dalam menyelesaikan krisis, serta kemampuannya untuk bertumbuh dan berkembang seterusnya dalam jangka panjang. Sebenarnya Marx berubah dalam penilainnya mengenai potensi-potensi yang terdapat dalam kapitalisme yang tetap berkembang sebelum keruntuhan terakhirnya. Dalam Outline of a Critiue of Political Economy yang ditulis tahun 1859, nampaknya dia mengasumsikan bahwa sistem kapitalis itu akan bertahan utnuk beberapa waktu sebelum habisnya kemungkinan-kemungkinan untuk perkembangannya, khususnya dalam melihat kapasitas produksi yang semakin bertambah yang didorongnya. Di lan pihak, selama masa krisis ekonomi, Marx mengasumsikan bahwa tahap itu hampir membentuk perubahan ke satu masyarakat post-kapitalis.
Bagaimanapun juga, seluruh penilaian Marx mengenai masyarakat kapitalis dan perkembangannya di masa datang tidak membayangkan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah untuk membagi kekayaan lebih merata, atau untuk mengimbangi akibat-akibat krisis ekonomi yang secara sosial bersifat merugikan. Dalam hubungan ini, Communist Manifesto Marx menuntut “pajak pendapatan progresif atau pajak menurut besarnya pendapatan”, yang antara lain merupakan sebagian dari program revolusionernya. Sistem kapitalis yang sangat berkembang sudah menerapkan kebijaksanaan ini tanpa perlu suatu revolusi, terutama karena mereka menerima perlunya pemerintah memainkan peranan yang aktif dalam mendistribusi pendapatan. Marx tidak mengantisipasi perkembangan ini.
Seorang Marxis sejati akan dapat memberikan argumen untuk melawan setiap kritik ini. Misalnya, upah kelas buruh yang semakin meningkat, pertumbuhan kelas menengah, tersebarnya pemilikan saham yang meluas, dan penggunaan kebijaksaan fiskal yang berimbang oleh pemerintah dan tanggung jawab terhadap kesejahteraan dasar, dapat dilihat sebagai strategi dengan mana kelas kapitalis dominan berusaha untuk menjamin kelangsungan ilusi di mana individu mengidentifikasi kepentingannya dengan mempertahankan sistem kapitalis. Strategi-strategi ini memperlemah potensi untuk berontak dan berevolusi serta membantu mempertahankan status-quo. Tambahan pula, kebijaksanaan-kebijaksanaan seperti ini perlu untuk melindungi dan memperluas pasaran komoditi di mana kaum kapitalis dapat mempertahankan dan meningkatkan keuntungan.
Selanjutnya konservatisme politik dari serikat-serikat buruh dapat dengan mudah dijelaskan sebagai akibat dari kepemimpinan yang dipilih oleh kelas kapitalis; karena hal ini mereka juga mengembangkan kepentingan dalam mempertahankan sistem sosial dan politik di mana mereka sudah mampu untuk memperoleh kekuasaan dan prestise yang berhubungan dengan posisinya. Akhirnya seorang Marxis mungkin mengemukakan bahwa kesejahteraan materil kelas buruh yang tidak terduga-duga itu serta kemakmuran menyeluruh yang terus-menerus dimiliki secara meluas di kalangan kelompok terbesar masyarakat kapitalis yang sudah matang itu, dimungkinkan oleh eksploitasi sumber-sumber materil dan tenaga kerja dari masyarakat yang kurang maju. Jadi konflik berpindah dari kelas kapitalis lawan kelas proletariat dalam masyarakat kapitalis, ke masyarakat kapitalis lawan masyarakat terbelakang.
Apakah Marx dan pengikut-pengikutnya atau pengkritik-pengkritik Marx memberikan interpretasi yang paling sahih mengenai dinamika-dinamika dasar dalam masyarakat kapitalis mungkin tidak dapat ditentukan atas dasar obyektif semata-mata. Sebaliknya, interpretasi mana yang paling terpercaya atau paling meyakinkan barangkali akan ditentukan sebagian besar atas dasar asumsi fundamental serta sikap-sikap yang mendasar dengan mana seseorang mendekati interpretasi yang lain. Diskusi kita tentang Marx memperlihatkan bahwa perpektif teoritisnya memberikan satu tipe yang merangsang pemahaman akan kenyataan sosial. Pemahaman ini tidak harus lebih “benar” daripada yang diberikan oleh perspektif teoritis lainnya. Kita sekarang mengulangi pokok-pokok penting dari perspektif teoritis Marx dan menghubungkannya dengan perkembangan teori-teori modern.
Ringkasan
Teori Marx sudah dipaparkan sebagai contoh utama suatu teori yang terutama berhubungan dengan tingkat struktur sosial tentang kenyataan sosial, dan yang menekankan saling ketergantungan yang tinggi antara struktur sosial dan kondisi materil di mana individu harus menyesuaikan dirinya supaya tetap hidup dan memenuhi pelbagai kebutuhannya. Tekanannya pada perlunya menyesuaikan diri dengan lingkungan materil dan pada langkanya sumber-sumber yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia, merupakan satu catatan yang penting mengenai realisme praktis dalam analisa teoritisnya.
Hubungan antara individu dan lingkungan materilnya dijembatani melalui struktur ekonomi masyarakat. Marx mungkin terlampau menekankan masalah pengaruh ekonomi yang menentukan sisterm sosio-budaya lainnya, tetapi pentingnya ekonomi itu sebagai dasar utama struktur sosial umumnya diakui saat ini, walaupun hubungan antara ekonomi dan dan institusi-institusi lainnya mungkin lebih bermacam-bermacam dan lebih rumit daripada yang diperhatikannya.
Struktur internal sisterm ekonomi itu terdidi dari kelas-kelas yang muncul dari perbedaan dalam kesempatan memiliki alat produksi serta ketidaksesuaian yang dihasilkannya dalam kepentingan ekonomi. Hubungan sosial antara kelas-kelas yang bertentangan itu ditandai oleh konflik sosial dan politik pada waktu-waktu tertentu yang mengakibatkan tekanan internal untuk perubahan. Penekenan pada kelas sosial sebagai kategori dasar struktur sosial, pada tidak meratanya sumber-sumber ekonomi pada kepentingan-kepentingan yang tidak berkesesuaian, pada konflik sebagai proses sosial yang paling menyeluruh, serta pada perubahan sosial yang lahir dari tekanan-tekanan kekuatan-kekuatan internal, merupakan elemen-elemen kunci dalam perspektif-perspektif masa kini, yang dilihat umumnya sebagai teori konflik. Alternatif-alternatif perspektif ini akan disajikan pada bab XI.
Tekanan Marx pada bagaimana ideologi dan aspek lainnya dalam kebudayaan memperkuat struktur sosial dan struktur ekonomi, dengan memberikan legitimasi pada kelompok-kelompok yang dominan, merupakan satu proposisi penting yang ditekankan dalam bidang sosiologi pengetahuan pada masa kini. Mannheim, misalnya seorang dari tokoh-tokoh penting dalam perkembangan sosiologi pengetahuan menekankan pendiriannya bahwa ideologi-ideologi dikembangkan dan digunakan untuk melindungi atau meningkatkan kepentingan pelbagai kelompok dalam masyarakat.
Juga pandangan Marx mengenai hubungan antara kegiatan manusia dan produk kegiatannya ini merupakan satu elemen penting dalam pendekatan masa kini, yang dikembangkan oleh Berger dan Luckmann, yang dikenal dengan perspektif “konstruksi sosial tentang kenyataan”. Marx, Berger, dan Luckmann mengemukakan bahwa walaupun individu menyatakan kodrat manusianya dalam kegiatan kreatifnya, hasil dari kegiatannya ini memiliki sifat kenyataan obyektif; individu harus menyesuaikan dirinya. Bagi Marx kenyataan obyektif ini diciptakan oleh mausia, lalu mengkonfrontasikan manusia yang menciptakannya itu, sebagai satu kenyataan yang asing yang membatasi dan mengikat tindakan selanjutnya dan kepadanya mereka menghamba. Teori alienasi Marx didasarkan pada pikiran ini. Pendekatan-pendekatan sosiologi masa kini yang berhubungan dengan sosiologi humanitas atau sosiologi kritis, banyak mengambil dari teori alienasi Marx dalam usaha mereka untuk menciptakan suatu perspektif sosiologi yang berpusat di sekitar kebutuhan dan kemampuan manusia, dan yang dapat digunakan untuk mengkritik struktur sosial yang merendahkan martabat manusia atau memperbudak manusia atau mencegah perkembangan mereka seutuhnya.
Marxisme dan pendekatan teoritis lainnya yang menekankan proses konflik umumnya dilihat sebagai bertentangan dengan teori fungsional. Dalam bab V akan kita lihat sumbangan dari salah seorang perintis utama dalam fungsionalisme, yakni Emile Durkheim. Tentang ini dapat kita catat bahwa pendekatan fungsional menekankan konsensus nilai dan keharmonisan daripada konflik dalam masyarakat. Namun asumsi dasar Marx mengenai saling ketergantungan antara pelbagai institusi dalam masyarakat juga ditekankan dalam fungsionalisme, seperti pandangannya mengenai pentingnya hasil tindakan yang tidak dimaksudkan yang sebenarnya bertentangan dengan hasil yang diharapkan. Satu contoh tentang ini dapat dilihat dalam pengaruh-pengaruh yang tidak diharapkan dari investasi kapitalis dalam permesinan yang dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan tetapi secara tidak disengaja mempercepat krisis ekonomi.
Dalam seluruh penilaian kita mengenai perspektif teoritis Marx, penting untuk mengingat bahwa Marx bukan seorang akaStruktur Ekonomi, Pertentangan Kelas, Dan Perubahan Sosial: Teori Sosial Karl Marx
Bayangkan bahwa pendapatan anda lima kali lebih besar daripada yang sekarang ini. Apa pengaruhnya terhadap cara anda melihat dunia ini? Apakah gagasan-gagasan politik dan pandangan anda mengenai siapa yang harus membayar pajak lebih banyak dan siapa yang harus diberi keringanan akan tetap sama? Perubahan-perubahan apa kiranya yang terjadi dalam nilai-nilai dasar dan gaya hidup anda? Orang macam apa yang akan anda lihat sama dengan anda dalam kedudukan ekonomi, budaya, dan pandangan hidupnya? Pertanyaan-pertanyaan sepertti itu dapat membantu kita untuk peka terhadap pengaruh pentingnya kedudukan dalam hirarki ekonomi terhadap nilai-nilai serta tanggung jawab ideologi kita, pola-pola budaya dan hubungan-hubungan sosial dan kesejahteraan materil serta gaya hidup kita, melihat pentingnya kondisi materil itu, terhadapnya individu harus menyesuaikan diri atas dasar kedudukan ekonomi, merupakan satu dasar utama teori Marx.
Kehidupan individu dan masyarakat kita didasarkan pada asas ekonomi. Antara lain ini berarti bahwa institusi-institusi politik, pendidikan, agama, ilmu pengetahuan, seni, keluarga, dan sebagainya, bergantung pada tersedianya sumber-sumber ekonomi untuk kelangsungan hidup. Juga berarti bahwa institusi-institusi ini tidak dapat berkembang dalam cara-cara yang bertentangan dengan tuntutan-tuntutan sistem ekonomi. Pendirian dan pemeliharaan perpustakaan dan museum sebagai tempat kebijaksanaan politik, kesenangan keluarga dalam suatu perjalanan liburan, suatu penelitian seorang ilmuwan, mobilisasi suatu kumpulan orang untuk mengambil jumlahnya tidak dapat dilaksanakan tanpa sumber ekonomi dan dasar materil yang diperoleh lewat kegiatan ekonomi. Dasar ekonomi ini dilihat Marx sebagai “insfrastruktur” di atas mana “superstrukur” sosial dan budaya yang lainnya dibangun dan harus menyesuaikan diri dengannya.
Kegiatan-kegiatan masyarakat dalam sektor nonekonomi tidak selalu secara sadar diarahkan ke tuntutan-tuntuan asas ekonomi; barangkali ada otonomi yang pantas diperhatikan dalam insititusi-institusi lainnya. Tetapi dalam analisa akhir, kegiatan-kegiatan dalam pelbagi institusi nonekonomi harus bergerak dalam batas-batas yang ditentukan oleh tuntutan-tuntutan ekonomi; dan dinamika-dinamika sosial yang khusus dalam institusi-institusi lainnya itu, dalam jangka panjang benar-benar bukan tidak dapat sesuai dengan dinamika-dinamika ekonomi. Individu dan keluarga yang mengetahui pentingnya faktor-faktor ekonomi dalam usahanya untuk “hidup sesuai dengan pendapatannya”. Juga seperti yang ditekankan Marx, tuntutan untuk mencari nafkah supaya bisa tetap hidup, dapat memakan waktu dan energi sedemikian besarnya, sehingga hampir tidak mungkin untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan lainnya.
Menurut perspektif kami di sini, pusat perhatian Marx adalah pada tingkat struktur sosial dan bukan pada tingkat kenyataan sosial budaya. Perbedaan yang kontras dengan gambaran Comte dan Sorokin mengenai kenyataan sosial dan pusat perhatian analisanya akan sangat jelas. Mereka melihat ide-ide yang dominan atau pandangan hidup sebagai kunci untuk memahami kenyataan sosial; Marx memusatkan perhatiannya pada cara orang menyesuaikan dirinya dengan lingkungan fisiknya. Dia juga melihat hubungan-hubungan sosial yang muncul dari penyesuaian ini dan tunduknya aspek-aspek kenyataan sosial dan budaya pada asas ekonomi ini. Walaupaun ide-ide yang dominan atau pandangan-pandangan hidup dasar itu kelihatannya merupakan kunci untuk memahami suatu masyarakat, dalam kenyataannya, ide-ide bersifat “epifenomena”; artinya ide-ide itu merupakan cerminan dari kondisi-kondisi kehidupan materil dan struktur ekonomi di mana orang menyesuaikan dirinya dengan kodisi-kondisi itu. Jadi, memusatkan perhatian pada tema-tema intelektual utama seperti yang dimanifestasikan dalam kesenian, ilmu, filsafat, dan seterusnya, sama dengan menerima suatu cerminan kenyataan yang salah atau yang diidealkan saja sebagai kenyataan itu sendiri. Dalam bidang-bidang kehidupan nonekonomi lainnya, orang mungkin mengalami suatu tingakat kebebasan dan otonomi oleh kondisi materil atau sumber-sumber dan kedudukan ekonomi mereka.
Bagi Marx, kunci untuk memahami kenyataan sosial tidak ditemukan dalam ide-ide abstrak, tetapi dalam pabrik-pabrik atau dalam tambang batu bara, di mana para pekerja menjalankan tugas yang di luar batas kemanusiaan dan berbahaya, untuk menghindaran diri dari mati kelaparan; dalam kalangan penganggur di mana orang menemukan harga dirinya sebagai manusia yang ditentukan oleh ketidakmampuannya untuk menjual tenaga kerja mereka di pasaran; dalam kantor-kantor kapitalis di mana analisa perhitungan pembukuan mengarah ke satu keputusan untuk meningkatkan penanaman modal daripada untuk meningkatkan upah; dan akirnya dalam konfrontasi revolusioner antara pemimpin-pemimpin serikat buruh dan mereka yang mewakili kelas kapitalis yang dominan. Peristiwa-peristiwa yang demikian itu merupakan kenyataan sosial, bukan impian naïf dan idealilstik yang dibuat oleh ilmu pengetahuan, teknologi dan pertumbuhan industri untuk meningkatkn kerja sama dan peningkatan kesejahteraan dalam bidang materil semua orang. Seperti kita akan lihat, Marx juga mempunyai pandangan mengenai masyarakat Utopis di masa depan, tetapi yang hanya dapat muncul melalui perjuangan revolusioner, tidak sebagai suatu pertumbuhan organis dari organisme sosial. Sebelum mendiskusikan ide-ide teoritis Marx, kita akan mencatat sepintas lalu beberapa segi yang menonjol dari lingkungan sosial dan intelektualnya.
Materialisme Historis Marx
Materialisme Hirtoris Marx (istilah yang tidak digunakan Marx) sangat berguna untuk memberinya nama pada asumsi-asumsi dasar mengenai teorinya, dan memberinya suatu pemahaman yang tepat. Dari The Communist Manifasto dan Das Capital, secara tradisional sudah diasumsikan bahwa tekanan utama Marx adalah pada kebutuhan materil dan perjuangan kelas sebagai akibat dari usaha-usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Dalam pandangan ini, ide-ide dan kesadaran manusia tidak lain daripada refleksi yang salah tentang kondisi-kondisi materil. Tambahan pada perhatian dipusatkan pada usaha Marx untuk meningkatkan suatu revolusi sosial sedemikian sehingga kaum proletariat dapat menikmati sebagian besar kelimpahan materil yang dihasilkan oleh industrialisme. Asumsi-asumsi tradisional ini agak menyimpang (bias). Marx sangat menekankan pentingnya kondisi-kondisi materil yang bertentangan dengan idealisme Hegel, tetapi dia tidak menyangkal kenyataan kesadaran subyektif atau peranan penting yang mungkin itu menentukan dalam perubahan sosial. Dia pasti tidak setuju dengan ahli filsafat materialis yang menekankan bahwa semua kenyataan tidak lebih daripada benda-benda yang bergerak. Juga dia tidak setuju dengan pandangan positivis bahwa teknik-teknik penelitian empiris yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam cocok untuk menjelaskan perilaku manusia atu perubahan sosial. Menurut Marx, suatu pemahaman ilmiah yang dapat diterima tentang gejala sosial menuntut si ilmuwan itu untuk mengambil sikap yang benar terhadap hakekat permasalahan itu. Hal ini mencakup pengakuan bahwa manusia tidak hanya sekedar organisme materil; sebaliknya, manusia memiliki kesadaran diri. Artinya, mereka memiliki suatu kesadaran subyektif tentang dirinya sendiri dan situasi-situasi materilnya.
Kelemahan-kelemahan Filsafat Abstrak Tradisional
Tekanan materialisme Marx harus dimengerti sebagai reaksi terhadap interpretasi idealistik Hegel mengenai sejarah. Filsafat sejarah ini menganggap bahwa suatu peranan yang paling menentukan adalah yang berasal dari evolusi progresif ide-ide. Marx menolak filsafat sejarah Hegel ini karena menghubungkannya dengan evolusi ide-ide sebagai suatu peranan utama yang berdiri sendiri dalam perubahan sejarah lepas dari hambatan-hambatan dan keterbatasan-ketebatasan situasi materil atau hubungan-hubungan sosial yang dibuat orang dalam menyesuaikan dirinya dengan situasi materil. Dalam pandangan ini, teori-teori idealistik seperti teori Hegel itu, mengabaikan kenyataan yang jelas bahwa ide-ide tidak ada secara terlepas dari orang-orang yang benar-benar hidup dalam lingkungan materil dan sosial yang sungguh-sungguh riil. Ide-ide adalah produk kesadaran subyektif individu-individu, tetapi kesadaran tidak terpisah dari lingkungan materil dan sosial; selalu kesadaran akan lingkungannya.
Marx menyatakan tekanannya ini sebagai berikut:
“Berlawanan langsung dengan filsafat Jerman yang turun dari langit ke bumi, di sini kita naik dari bumi ke langit. Itu untuk mengatakan, kita tidak bertolak dari apa yang dikatakan, digambarkan, dipahami orang, juga tidak dari orang seperti yang diceritakan, dipikirkan, dibayangkan, dimengerti, dengan maksud supaya kita sampai ke orangnya itu sendiri. Kita berangkat dari orang yang riil, aktif dan atas dasar proses kehidupan riil mereka kiat memperlihatkan perkembangan refleks ideologis serta gemarnya dari proses kehidupan yang riil ini….moralitas, agama, metafisika, semua ideologi lainnya serta bentuk-bentuk kesadaran yang berhubungan dengan itu tidak lagi memperlihatkan rupa kemandirian….Kehidupan tidak ditentukan oleh kesadaran, tetapi kesadaran ditentukan oleh kehidupan.
Pemikiran tentang sifat dunia ide sebagai kekuatan yang berdiri sendiri terpisah dari kondisi-kondisi materil praktis, tumbuh dari pemisahan antara pekerja kasar dan pekerja otak, atau dengan kata lain, dari munculnya kelas: orang-orang spekulatif. Terpisah dari kegiatan praktis sehari-hari, anggota-anggota kelas spekulatif itu, dapat mengkhususkan diri dalam menggali dan mengolah ide-ide, dengannya mereka kemudian secara salah menghubungkan pengaruh yang berdiri sendiri terhadap masalah-masalah manusia. Mengutip Marx:
“Pembagian kerja hanya terjadi, ketika pemisahan kerja kasar dan kerja otak muncul. Sejak saat itu dan seterusnya, kesadaran dapat benar-benar memegahkan diri bahwa kesadaran itu meruakan sesuatu yang lain dari kesadaran akan praksis yang ada, bahwa kesadaran itu menangkap sesuatu di luar yang riil; sejak itu dan seterusnya kesadaran berada dalam posisi membebaskan diri dari dunia dan terus menuju pembentukan teori, teologi, filsafat, etika, “murni”, dan seterusnya”.
Saling ketergantungan timbal balik antara pengalaman praktis dalam dunia materil dan dunia kesadaran dan ide-ide, diperhatikan Marx dalam pandangannya mengenai praxis. Meskipun secara konvensional diterjemahkan dengan practice, kata Jerman itu sebenarnya mengandung makna yang lebih dari kata Inggris. Dengan praxis Marx menunjuk pada kegiatan manusia yang dilaksanakan dalam konteks kondisi-kondisi materil dan sosial yang ada, meskipun dibimbing oleh suatu kesadaran yang terang mengenai kepentingan-kepentingan materil dan kebutuhan-kebutuhan dasar menusia. Praxis bertentangan dengan spekulasi intelektual murni dan mencakupi suatu kesediaan untuk menguji ideologi-ideologi yang dominan serta kondisi-kondisi sosial yang ada secara kritis.
Namun kritisisme filosofis hanya merupakan suatu langkah pertama saja. Tujuan akhirnya adalah utuk menerobos pengaruh filsafat yang bersifat membingungkan, yang dipisahkan dari kehidupan manusia yang riil, dan untuk merealisasikan tujuan dari kritisisme filosofis dalam kegiatan politik praktis. Perpaduan kritisisme filosofis dan kegiatan politik praktis harus berpusat pada manusia sebagai dasar berpikir utama yang memberi arah. Selama manusia dipaksa menderita atau mempertahankan kondisi materil dan kondisi sosial yang menekan dan menurunkan martabatnya perombakan kondisi-kondisi ini secara revolusioner harus merupakan tujuan praxis.
Konsepsi Matrealis Marx yang diterapkan pada perubahan sejarah untuk pertamakalinya dijelaskannya dalam The German Ideology, disusun bersama Engels. Tema pokok dalam tema ini adalah bahwa perubahan-perubahan dalam bentuk-bentuk kesadaran, ideologi-ideologi, atau asumsi-asumsi filosofis mencerminkan, bukan menyebabkan perubahan-perubahan dalam kehidupan sosial dan materil manusia. Kondisi-kondisi kehidupan materil bergantung pada sumber-sumber alam yang ada dan kegiatan manusia yang produktif. Manusia berbeda dari binatang dalam kemampuannya untuk menghasilkan kondisi-kondisi materil untuk kehidupannya; mereka tidak haya sekedar masuk ke dalam suatu tempat ekologis di alam atau menggunakan sumber-sumber materil menurut “sifat alamiah”-nya.
Juga manusia tidak menyesuaikan dirinya dengan alam atau mengolah lingkungan materilnya sebagai manusia yang terisolasi; sebaliknya, mereka masuk dalam hubungan-hubungan sosial dengan orang lain dalam usaha mencoba memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya (makanan, tempat tinggal, pakaian, dan seterusnya). Hubungan-hubungan produksi yang pokok ini menimbulkan pembagian kerja. Sangat erat hubungannya dengan pembagian kerja itu adalah munculnya hubungan-hubungan pemilikan yang mencakup pemilikan dan penguasaan yang berbeda-beda atas sumber-sumber pokok dan pelbagai alat produksi. Pemilikan dan penguasaan yang berbeda-beda atas barang-milik ini merupakan dasar yang asasi untuk munculnya kelas-kelas sosial. Karena sumber-sumber materil yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia bersifat langka, hubungan-hubungan antara kelas-kelas yang berbeda itu menjadi kompetitif dan antagonistis.
Juga tidak seperti binatang, kebutuhan manusia itu tak pernah terpuaskan. Manusia tidak membatasi kegiatan produktifnya pada tingkat minimal yang perlu untuk bertahan hidup. Begitu kebutuhan biologis pokok terpenuhi, kebutuhan baru muncul, dan pemenuhan kebutuhan baru ini menimbulkan bentuk-bentuk produksi materil yang baru, serta jenis-jenis hubungan sosial yang baru. Hasilnya adalah seperangkat kegiatan produktif yang kompleks yang bersifat saling tergantung, yang mencerminkan tingkat teknologi yang ada. Masing-masing kegiatan produktif individu yang khusus serta gaya hidup pada umumnya ditentukan oleh posisinya dalam pembagian kerja dan oleh penggunaan sumber-sumber materil yang tersedia.
Dalam kehidupan masyarakat yang terus berlangsung, kondisi-kondisi materil dan hubungan-hubungan sosial yang menyertainya ada lebih dulu dari individu dan independen dari setiap kemauan individu atau maksud-maksud yang sadar. Dalam skala yang lebih luas, setiap generasi mengkonfrontasikan lingkungan materil dan lingkungan sosial yang sudah ada yang meliputi pelbagai sumber, alat-alat, dan teknik-teknik produksi, pembagian kerja dengan pola-pola hubungan sosial yang pemilikan atau penguasaan atas alat-alat produksi yang berbeda-beda. Kegiatan individu, apakah itu diarahkan untuk sekedar mempertahankan hidup biologis, atau untuk memenuhi pelbagai kebutuhan manusia yang lain-lainnya, dibatasi oleh kedudukan sosial tertentu yang kebetulan dimilikinya dalam lingkungan sosial dan materil ini.
Juga cara individu melihat dunia (kesadaran subyektifnya) dikondisikan oleh kedudukannya yang tertentu dalam lingkungan materil dan sosialnya. Seperti yang berulang-ulang kali ditekankan Marx, kesadaran tidak terpisah dari pengalamaan aktual orang dalam dunia riil ini; secara asasi itu merupakan kesadaran akan pengalaman dunia-nyata ini. Hubungan erat antara pengalaman hidup riil individu dan keadaan mental subyektif juga berlaku untuk keseluruhan dunia kebudayaan, termasuk ide-ide dan ideologi, pengetahuan, etika, moral, dan standar-standar estetika. Tak satu pun dari pelbagai aspek kebudayaan ini yang terlepas dari dasarnya dalam dunia materil.
Namun demikian, dunia kesadaran subyektif dan ide-ide budaya tidak hanya suatu cerminan lingkungan materil dan sosial. Mungkin ada penyimpangan-penyimpangan yang mengaburkan dasar materil dan sosialnya. Memang, asumsi yang naïf bahwa ide-ide atau ideologi merupakan kekuatan penggerak utama dalam sejarah, merupakan suatu contoh yang baik dari penyimpangan itu, suatu penyimpangan yang dapat dijelaskan, sebagai akibat dari pembagian kerja seperti yang sudah dikemukakan di depan, antara kelas spekulatif dan kelas-kelas yang terlibat dalam produksi materil.
Penjelasan Materialistis Tentang Perubahan Sejarah
Diterapkan pada pola-pola perubahan sejarah yang luas, penekanan materialistis ini berpusat pada perubahan-perubahan cara atau teknik-teknik produksi sebagai sumber utama perubahan sosial dan budaya. Hal ini akan mencakup perkembangan teknologi baru, penemuan sumber-sumber baru, atau perkembangan baru lain apa pun dalam bidang kegiatan produktif. Perubahan-perubahan seperti ini dapat mucul dari usaha-usaha untuk meningkatkan strategi-strategi yang ada dalam menghadapi lingkungan materil, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada secara lebih efisien, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru yang muncul. Karena cara produksi dan kondisi-kondisi materil yang diakibatkannya berubah, maka kontradiksi-kontradiksi muncul antara cara-cara produksi dan hubungan-hubungan produksi. Kalau ketidakseimbangan ini menjadi cukup gawat, akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam hubungan-hubungan produksi, seperti dalam pembagian kerja, dengan mengakibatkan perubahan dalam struktur kelas, perubahan-perubahan dalam hubungan kelas atau hubungan pemilikan, munculnya kelas-kelas baru, atau mundurnya kelas-kelas lama, atau jenis-jenis perubahan sosial lainnya yang bertautan dengan itu.
Misalnya, di masa-masa awal Revolusi Industri, mekanisasi perusahaan secara besar-besaran dan teknologi pabrik yang berhubungan dengan itu tidak cocok lagi dengan hubungan-hubungan sosial yang terdapat dalam sistem produksi kerajinan tangan tradisional yang dilaksanakan suatu basis rumah tangga, serta merangsang perkembangan bentuk-bentuk hubungan sosial yang baru untuk mengantikan yang lama. Khususnya jenis-jenis hubungan yang sangat personal dan sangat terbatas yang mungkin dan cocok untuk produksi kerajinan rumah yang lama, diganti oleh hubungan sosial tipe-pasar yang sangat impersonal dalam pabrik-pabrik besar.
Dalam The German Ideology, Marx dan Engels menelusuri perubahan-perubahan utama kondisi-kondisi materil dan cara-cara produksi di satu pihak, dan hubungan-hubungan sosial serta norma-norma pemilikan di lain pihak, mulai komunitas suku bangsa primitif sampai ke kapitalisme modern. Komunitas suku primitif merupakan satu komunitas di mana kepemilikan dipunyai secara kolektif dan pembagian kerja sangat kecil. Tahap ini disusul oleh tipe struktur sosial komunal purba yang ditandai oleh bentuknya yang lebih besar dan pembagian kerja yang semakin tinggi, dan mulainya pemilikan pribadi. Tahap pokok berikutnya adalah sistem feodal, yang meliputi perkembangan lebih lanjut dalam pembagian kerja dan pola-pola kekayaan pribadi yang lebih ketat. Tahap feodal ini akhirnya memberikan jalan bagi cara-cara produksi borjuis dan hubungan-hubungan sosial yang menyertainya.
Tragedi tahap borjuis ini, berupa perombakan kehidupan komunal di bawah pengaruh ideologi-ideologi individualistik dan berkurangnya hubungan manusiawi, menjadi hubungan-hubungan pemilikan. Dalam tahap kapitalis, buruh upah proletar memiliki hubungan dengan majikan borjuis semata-mata sebagai seorang penjual tenaga kerja yang kegiatan produktifnya dipergunakan untuk menghasilkan produl-produk yang akan dijual dalam sistem pasar yang bersifat impersonal. Tahap ini akhirnya disusul oleh tahap komunis, yang menurut gagasan ideal Marx merupakan satu tahap di mana pemilikan pribadi akan lenyap dan individu-individu akan dapat berinteraksi dalam hubungan-hubungan komunal, tidak melulu ekonomi. Lebih lagi, aspek-aspek pembagian kerja yang menekan dan yang merendahkan martabat manusia akan diganti denga satu sistem yang memungkinkan individu untuk mengembangkan sebesar-besarnya kemampuan-kemampuan manusiawinya, daripada hanya terbatas pada suatu bagian kerja yang sempit.
Maksud dari the german ideology adalah untuk menunjukkan bahwa manusia menciptakan sejarahnya sendiri selama mereka berjugang menghadari lingkungan materilnya dan terlibat dalam hubungan-hubungan social yang terbatas dalam proses ini. Tetapi kemampuan manusia untuk membuat sejarahnya sendiri itu, dibatasi oleh keadaan lingkungan materil dan sosial yang sudah ada itu, dalam seluruh analisa, Marx dan Engels sangat peka terhadap kontradiksi internal yang muncul dalam pelbagai tahap sejarah itu. Mereka mengidentifikasi perbedaan kepentingan dari suku-suku bangsa yang saling berlawanan, yang hubungannya ditentukan oleh kemenangan militer misalnya, perbedaan kepentingan antara budak-budak dan orang merdeka, pemilik tanah dan yang tidak memiliki tanah, petani desa dan penduduk kota, dan kepentingan-kepentingan industri dan perdagangan. Ketegangan-ketegangan yang khas dan kontradiksi-kontradiksi yang menonjol akan berbeda-beda menurut tahap sejarahnya serta perkembangan materil sosialnya. Tetapi dalam semua tahap, perjuangan individu dalam kelas-kelas yang berbeda untuk menghadapi lingkungan materil dan sosialnnya yang khusus agar bisa tetap hidup dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, merupakan sumber utama perubahan untuk tahap berikutnya.
Visi marx mengenai masyarakat komunis masa depan sangatlah idealistis, dan kelihatannya mengusulkan suatu akhir kontraadiksi internal dan konflik-konflik kelas yang sudah menjadi rangsangan utama perubahan sosial di masa lampau. Bagaimanapun, tercapainya tahap ini bergantung pada sumbangan-sumbangan materil dari tahap kapitalis untuk memajukan perkembangan daya-daya produksi masyarakat secara maksimal. Daya-daya produksi ini akan merupakan dasar untuk masyarakat komunis yang akan datang dengan mempersiapkan sumber-sumber materil untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam bidang materi. Ini akan membebaskan individu dari perlunya menggunakan seluruh waktu dan energinya hanya untuk bisa bertahan hidup secara fisik belaka, dan memungkinkan mereka untuk mencurahkan waktu dan tenaganya untuk perkembangannya yang utuh sebaagai manusia. Marx tidak menganjurkan hancurnya dasar materil yang diberikan oleh kapitalisme borjuis sebaliknya, dia mengangan-angankan pemilikan daya-daya produksi masyarakat secara komunal, dan suatu distribusi yang lebih merata yang didasarkan pada kebutuhan manusia, bukan kerakusan borjuis.
Infrastruktur Ekonomi Dan Superstruktur Sosial
Sepertti sudah disinggung dalam bagian terdahulu, individu terpaksa mengubah hubungan materilnya melalui kegiatan produktif untuk dapat bertahan hidup dan memenuhi pelbagai kebutuhannya. Tetapi alat-alat produksi tidak tersebar secara merata di kalangan anggota masyarakat. Ini beraarti bahwa mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi harus menjalin hubungan sosial dengan mereka yang memiliki. Hasilnya berupa suatu diferensiasi anggota-anggota masyarakat dalam kelas-kelas sosial-ekonomi. Totalitas hubungan-hubungan produksi yang bermacam-macam bersama dengan alat-alat (atau cara) produksi yang bersangkutan, membentuk struktur ekonomi masyarakat.
Tekanan yang terus-menerus dikemukakan dalam semua tulisan Marx adalah bahwa struktur ekonomi masyarakat (yaitu, alat-alat produksi dan hubungan-hubungan sosial dalam produksi) merupakan dasar yang sebenarnya. Semua institusi sosial lainnya didirikan atas dasar ini dan menyesuaikan diri kurang lebih dengan tuntutan-tuntutan dan persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam struktur ekonomi itu. Khususnya negara dan sistem hukum misalnya, harus mendukung sistem kelas itu yang muncul dari pemilikan alat produksi yang berbeda-beda. Seperti ditegaskan Marx dengan jelas dalam The Communist Manifesto bahwa “pemerintah negara modern benar-benar merupakan suatu komite yang mengurus kepentingan bersama kaum borjuis seluruhnya.
Kalau Marx berulang-ulang menekankan ketergantungan politik pada struktur ekonomi ini, tipe analisa yang sama juga akan berlaku untuk pendidikan, agama, keluarga, dan semua institusi sosial lainnya. Sama halnya dengan kebudayaan suatu masyarakat, termasuk standar-standar moralitasnya, kepercayaan-kepercayaan, agama, sistem-sistem filsafat, ideologi politik, dan pola-pola seni serta kreativitas sastra, juga mencerminkan pengalaman hidup yang riil dari orang-orang dalam hubungan-hubungan ekonomi mereka. Hubungan antara infrastruktur ekonomi dan superstruktur budaya dan struktur sosial yang dibangun atas dasar itu merupakan akibat langsung yang wajar dari kedudukan materialisme historis ini seperti yang sudah didiskusikan dalam bagian terhadulu. Adaptasi manusia terhadap lingkungan materilnya selalu melalui hubungan-hubungan ekonomi tertentu, dan hubungan-hubungan ini sedemikian meresapnya sehingga semua hubungan-hubungan sosial lainnya dan juga bentuk-bentuk dasar kesadaran, dibentuk oleh hubungan ekonomi itu.
Untuk menegaskan bahwa ekonomi merupakan dasar masyarakat, tidak hendak mengatakan bahwa hanya ekonomi saja yang secara deterministik mempengaruhi segi-segi lain kehidupan masyarakatt. Juga semua proses sosial dalam institusi-institusi lainnya atau semua aspek kebudayaan tidak hanya dapat dijelaskan sebagai akibat keniscayaan ekonomi. Hubungan antara ekonomi dan yang lainnya dalam masyarakat lebih rumit daripada itu. Marx sendiri kelihatannya berubah dalam pandangannya mengenai tingkat kebebasan institusi-institusi lainnya dari pengaruh keniscayaan ekonomi atau kondisi-kondisi materil yang menguasainya itu. Institusi-institusi dapat mempunyai otonomi yang terbatas dengan akibat bahwa institusi-institusi itu dapat mengembangkan dinamika-dinamikanya sendiri secara logis. Malah institusi-institusi itu memberikan pengaruh yang terbatas pada dasar ekonomi itu.
Sebagai contoh, dalam bidang agama, para pendeta dan para ahli teologi atau para penganutnya dapat memperluas dan mengembangkan kepercayaan-kepercayaan mereka menurut ajaran pokok dan cita-cita yang mereka nyatakan, sampai pada titik di mana kaitan antara kesadaran beragama dan kenyataan-kenyataan ekonomi sangat tidak jelas. Hal ini sama dengan masalah yang sudah kita singgung di depan bahwa para ahli filsafat dapat mengembangkan model-model filosofisnya dalam hal di mana mereka yakin bahwa ide-ide filosofis dan bukan kekuatan-kekuatan materil, menentukan perkembangan sejarah masyarakat. Contoh-contoh ini menggambarkan kemungkinaan bahwa beberapa aspek kebudayaan sebagiannya dapat terpisah dari dasar ekonominya dan berkembang dengan cara-cara di mana keciscayaan dan ikatan ekonomi yang ketat tidak dapat langsung dipisahkan.
Namun demikian, dalam analisa akhirnya, keniscayaan ekonomi selalu menyatakan diri kembali. Misalnya kesempatan-kesempatan terbatas yang mungkin dimiliki oleh para pendeta atu para ahli filsafat untuk mengembangkan kepercayaan-kepercayaan atau ideologi-ideologi mereka bergantung pada sumber-sumber ekonomi yang cukup bagi mereka untuk membebskan diri dari keharusan kerja materil. Rupanya makin besar kebebasan dari tekanan-tekanan dan keterbatasan ekonomi, makin besar kemungkinan bahwa institusi-institusi nonekonomi dapat mengembangkan suatu sistem kepercayaan yang padat dan kompleks, sikap-sikap dan ideologi-ideologi yang mungkin mengaburkan dasar ekonomi itu.
Akibat-akibat “Kesadaran Palsu” Dalam Mendukung Struktur Ekonomi
Satu alasan mengapa sulit melihat yang erat antara kondisi-kondisi materil dan ekonomi dan ideologi budaya adalah bahwa ideologi-ideologi budaya itu memberikan ilusi-ilusi untuk mengimbangi ketimpangan-ketimpangan dan kekurangan-kekurangan dalam kondisi hidup materil. Akibatnya adalah bahwa meskipun ideologi budaya itu mencerminkan kondisi-kondisi materil dan hubungan-hubungan ekonomi dalam kehidupan manusia yang riil, cerminan ini sering kali sangat menyimpang. Dalam hal di mana ideologi-ideologi budaya ini diinternalisasikan dalam kesadaran subyektif individu, individu-individu itu menemukan dirinya tidak mampu untuk menyadari kepentingan mereka sesungguhnya. Artinya mereka gagal untuk melihat hubungan yang dekat antara kurangnya pemenuhan kebutuhan manusiawi mereka, ketidakpuasannya, penderitaannya di satu pihak dan struktur sosial dan ekonomi serta kondisi-kondisi materil di mana mereka terlibat di lain pihak. Hasilnya adalah kesadaran yang palsu (false consciousness).
Fungsi ideologi yang mengganti dan menyesatkan itu sangat jelas dalam analisa Marx mengenai agama. Marx mengemukakan bahwa tekanan agama tradisional pada dunia transenden, nonmaterial dan harapan akan hidup sesudah mati membantu mengalihkan perhatian orang dari penderitaan fisik dan kesulitan materil dalam hidup ini. Tambahan pula, cita-cita agama tradisional sebenarnya membalikkan prioritas-prioritas alamiah dengan mengemukakan bahwa penderitaan dan kesulitan mempunyai nilail rohani positif kalau ditanggung dengan sabar, bahkan mungkin memperbesar kesempatan bagi individu untuk memperoleh pahala di alam baka. Kekayaan materil, status duniawi, dan kekuasaan dilihat dalam kesadaran agama sebagai ilusi, fana, dan sangat berbahaya untuk kesejahteraan rohani individu serta pahalanya bagi kehidupan kelak, maka kemiskinan diubah jadi kebajikan, dan kekayaan diubah menjadi kemiskinan rohani. Ini merupakan dasar sindiran Marx yang tajam mengenai agama yang merupakan “candu masyarakat”. Ideologi seperti itu mungkin tidak akan diterima oleh semua kelas sosial dengan kegairahan yang sama, tetapi kelas-kelas masyarakat lapisan bawah yang dengan sungguh-sungguh menerimanya akan semakin mengukuhkan sikap “nrimo” mereka yang pasif dan mereka akan lebih sedia memikul penderitaan sehubungan dengan status kelas rendah mereka daripada memberontak.
Selain mempertahankan harapan akan pahala yang akan datang, yang akan memberikan imbalan atas kemiskinan jasmaniah ini, ideology-ideologi agama secara khas memberikan dukungan diam-diam terhadap pengaturan sosial, politik, dan ekonomi yang ada dalam masyarakat. Kepercayaan akan hak ilahi raja-raja di masa lalau merupakan satu contoh yang sangat jelas mengenai legitimasi agama terhadap struktur politik, seperti praktek yang kadang-kadang dijalankan di abad pertengahan untuk memperoleh dukungaan Gereja untuk ikut membenarkan penguasa politik “duniawi”. Dalam masyarakat Amerika, ide tradisional yang pada umumnya diterima bahwa masyarakat kita mempunyai dukungan ilahi, merupakan satu sumber legitimasi politik yang serupa. Umumnya dukungan agama terhadap pelbagai norma yang mendasari keteraturan sosial (norma-norma pemilikan pribadi, dan seterusnya) membenarkan status-quo dan mendorong individu untuk bertindak sesuai dengan tuntutan untuk mempertahankan keteraturan sosial yang ada.
Tipe analisa yang sama juga digunakan dalam kritik Marx terhadap ideologi-ideologi politik dan struktur negara. Dalam The German Ideology Marx melihat negara sebagai satu kompensasi terhadap ketegangan-ketegangan yang muncul dari pembagian kerja. Sistem politik negara dan ideologi pendukungnya memberi ilusi mengenai suatu komunitas manusia. Hal ini menutup konflik antara kelas-kelas dalam masyarakat yang saling bertentangan dan memberikan kerangka di mana kelas dominan dapat melindungi kepentingan-kepentingannya. Lebih lagi, dalam kekuasaannya untuk menegakkan hukum itu bagi transaksi ekonomi dan macam-macam transaksi sosial lainnya, dalam memonopoli hak untuk menggunakan paksaan terhadap warganya, dan dalam fungsinya menentukan kebijaksanaan nasional atau kebijaksanaan dengan bangsa-bangsa lain, negara melayani kepentingan ekonomi kelas sosial yang cukup kuat untuk mengontrolnya demi tujuan mereka sendiri.
Marx tidak membicarakan institusi-institusi sosial lainnya seluas seperti pembeciraannya tentang ekonomi, sistem politik, dan agama. Namun premis dasarnya yang menyangkut keunggulan sistem ekonomi itu dapat dengan mudah dipergunakan dalam menganalisa institusi-institusi lainnya. Marx dan Engels memberikan beberapa catatan mengenai keluarga, misalnya, dengan mengemukakan pengaruh posisi kelas proletar pada bentuk-bentuk keluarga. Khususnya status anak-anak terpaksa bekerja berjam-jam lamanya dalam pabrik untuk mencukupi pendapatan demi kelangsungan keluarga mereka. Para suami dan ayah dipaksa memperlakukan anggota-anggota keluarga mereka sebagai sumber pendapatan tenaga kerja mereka yang dijual dalam pasar yang bersifat impersonal. Dengan kata lain, sifat hubungan-hubungan yang terdapat dalam ekonomi “merembet” ke hubungan-hubungan keluarga.
Tidak hanya institusi-institusi tertentu dengan ideologi-ideologi pendukungnya, tetapi juga pandangan hidup yang dominan dalam suatu masyarakat akan kehidupan sebagaimana nampak melalui struktur ekonomi, dan akan mendukung posisi-posisi kelas dominan dalam struktur itu. Seperti Marx katakana, “Ide-ide dari kelas yang berkuasa merupakan ide-ide yang berkuasa di setiap masa….”. posisi Marx dalam hal ini adalah posisi seorang relativis sepenuhnya; baginya, pengetahuan terakhir atau yang absolut atau standar-standar moral itu tidak ada. Sebaliknya, semua bentuk kegiatan kreatif dan intelektual manusia ditentuan oleh keadaan materil dan sosial dan mencerminkan suatu tahap sejarah tertentu dalam perkembangan manusia dari lingkungan itu.
Perubahan Dalam Struktur Sosial-Ekonomi Dan Dalam Pandangan Hidup
Bukan pengejewantahan ide-ide yang menjelaskan perkembangan sejarah masyarakat (seperti pandangan Hegel dan Comte) melainkan perkembangan struktur sosial dalam menaggapi kondisi-kondisi materil yang berubah yang menjelaskan munculnya ide-ide baru. Pun perkembangan ide-ide revolusioner tergantung pada pembentukan kekuatan-kekuatan materil yang baru yang melahirkan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial; jadi perjuangan yang nampak antara ideologi-ideologi revolusioner dan ideologi-ideologi konservatif (atau reaksioner) merupakan cerminan dari perjuangan materil antara kelas-kelas sosial yang mewakili kekuatan-kekuatan sosial materil dan kelas-kelas sosial yang dominasinya bersandar pada pelestarian struktur ekonomi yang ada.
Sebagai contoh hubungan antara pandangan hidup ideologi menyeluruh dan struktur ekonomi dalam masyarakat feodal pra-industri, pembagian kerja antara tuan tanah, penggarap dan petani dilihat sebagai bagian dari takdir ilahi yang sudah ditentukan untuk dunia fana ini. Namun pandangan hidup intelektual yang mendukung tipe struktur sosial ini dengan dominasi aristokratis, tidak sejalan dengan kepentingan ekonomi kelas borjuis yang sedang muncul, yang keunggulannya dalam bidang ekonomi tampil karena pertumbuhan industrialisasi dan ekspansi ekonomi. Seperti tata sosial aristokratis tradisional didukung oleh pertimbangan prinsip-prinsip abstrak yang abadi, begitu pula perlawanan ideologis kaum borjuis terhadap tata sosial ini dibenarkan oleh pertimbangan hukum alam yang abadi. Previlese kelas aristokrat yang secara tradisional mereka warisi, ditentang sebagai pelanggaran berat terhadap hukum alam; dan dukungan terhadap kebebasan individu dan persamaan politik dilihat sebagai sesuatu yang berasal dari hukum-hukum alam, yang dapat dimengerti oleh setiap orang yang menggunakan akalnya. Dalam kenyataan, Marx mengemukakan, tuntutan terhadap “kebebasan, persamaan, persaudaraan” (seruan yang sering dikemukakan dalam Revolusi Perancis) merupakan satu tuntutan supaya kelas borjuis yang sedang muncul itu dibebaskan dari kungkungan dan batas-batas trdisional untuk hak-haknya dalam mengejar kepentingan borjuis mereka.
Dengan cara yang sama, teori ekonomi politik Inggris, dalam pembenarannya terhadap sistem pasar laissez-faire yang bersifat impersonal itu, juga melayani kepentingan kelas kapitalis borjuis yang sedang berkembang itu. Berangkat dari suatu pandangan yang sangat individualilstis tentang hakekaat manusia (yang ditolak Marx) para ahli ekonomi politik Inggris itu berpendapatt bahwa sistem pasar ekonomi kapitalis yang bersifat impersonal itu, membebaskan individu dari kungkungan sosial tradisional buat-buatan untuk mengejar kepentingan pribadinya sendiri, dan sekaligus menjamin bahwa seluruh kesejahteraan masyarakat terlayani secara paling baik melalui cara ini. Berlawanan dengan argumentasi bahwa sistem pasar impersonal itu didasarkan pada hukum alam ekonomi politik yang tak terubahkan atau yang konsisten dengan kodrat dasar manusia, Marx memberikan suatu argumen kontra bahwa sistem pasar ekonomi kapitalis yang impersonal itu merupakan kekhasan suatu tahap sejarah tertentu, dan mencerminkan hubungan-hubungan sosial dalam tahap itu. Tetapi seperti ideologi-ideologi terdahulu yang pada akhirnya tergeser, demikian juga dukungan ideologis yang diberikan ekonomi politik terhdap perkembangan kapitalis, akhirnya akan terlampaui, kalau hubungan-hubungan sosial yang sedang berubah itu membuatnya menjadi usang.
Relevansi ramalan ini mendapat peneguhan bahkan dari suatu penelitian sejarah sepintas lalu mengenai ideologi laissez-faire dalam masyarakat kita sendiri. Karena masyarakat kita sudah bertumbuh semakin kompleks, dan karena pedagang-pedagang kecil yang independen diganti oleh perusahaan-perusahaan raksasa, yang menuntut adanya pemerintahan yang lebih daripada sekedar kebijaksanaan yang bersifat “lepas-tangan”, bentuk ekstrem dari kebijaksanaan politik laissez-faire, banyak kehilangan kredibilitasnya. Banyak mahasiswa, ketika berhadapan dengan ide ini untuk pertama kalinya merasa heran bagaimana ideologi serupa itu pernah benar-benar dipakai sebagai satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Dalam zaman kita sendiri, dukungan wakil-wakilk partai republik terhadap sistem bahwa para pengusaha menyumbang kesejahteraan masyarakat begitu mereka mengejar kepentingan diri mereka yang egoistis. Tetapi mereka yang paling konservatif pun tidak melihat jenis ekonomi tak diatur, yang diberikan oleh Adam Smith di abad kedelapan belas atau Herbert Spencer di abad kesembilan belas. Pendirian Marx yang berhubungan dengan pengaruh sistem ekonomi yang meresapi secara luas institusi-institusi lainnya, dan pola-pola kebudayaan dapat langsung dipakai untuk memberikan suatu kritik yang menyeluruh terhadap masyarakat-masyarakat industri modern. Kritik sedemikian itu tidak perlu terbatas pada suatu analisa mengenai negara atau ideologi-ideologi yang dominan. Pelbagai institusi dapat dianalisa untuk menenjukkan ketergantungan pada sumber-sumber materil yang tersedia melalui sistem ekonomi serta tunduknya institusi-institusi itu (sadar atau tidak) pada tuntutan-tuntutan sistem ekonomi. Institusi pendidikan misalnya dapat dilihat sebagai suatu pelayanan terhadap keperluan-keperluan ekonomi dengan memberikan indoktrinasi pada individu tentang norma-norma dan nilai-nilai yang mendukung status-quo dan dengan melatih mereka untuk menmduduki posisi-posisi pekerjaan dalam sistem ekonomi. Pelbagai bentuk industri hiburan dapat dilihat, dalam suatu perspektif kritis, sebagai satu usaha yang mengaalihkan atau memenangkan orang, sehingga mereka tetap merasakan adanya kekurangan dalam hal pemenuhan diri pribadi mereka, serta ketaklukan mereka pada tuntutan-tuntutan sistem-sistem ekonomi itu juga merupakan sutu institusi ekonomi yang sebenarnya.
Lagi mengenai determinisme materialistis atau ekonomi, tidak dijelaskan Marx secara konsisten. Sekalipun ekonomi merupakan dasar seluruh sistem sosio-budaya, institusi-institusi lain dapat memperoleh otonomi dalam batas tertentu, dan malah memperrlihatkan pengaruh tertentu pada struktur ekonomi. Pada akhirnya, struktur ekonomi itu tergantung terhadapnya. Seperti banyak penulis lainnya, Marx kadang-kadang terlampau menekankan gagasannyuaa sendiri, untuk mempertahankan pendapatnya terhadap titik pandangan saingaan. Dengan dasar ini semuanya, analisa sosio-budaya lain-lainnya, menekankan pentingnya suatu realisme yang kuat, yang kadang-kadang kurang diperhatikan dalam teori-teori tentang masyarakat yang bersifat idealistis. Namun Marx pasti mengakui bahwa kebutuhan manusia dan aspirasi-aspirasinya jauh melampaui perihal mempertahankan kelangsungan hidup secara ekonomis belaka, meskipun kenyataan ekonomi dan kondisi materil mungkin sedemikian rupa sehingga macam-macam kebutuhan manusia lainnya mungkin tetap tidak terpenuhi. Hubungan antara kegiatan manusia, khususnya kegiatan ekonomi, dan kesempatan untuk pemenuhan diri sebagai manusia akan dilihat dalam bagian berikut ini dengan lebih lengkap.
Kegiatan Dan Alienasi
Inti seluruh teori Marx adalah proposisi bahwa kelangsungan hidup manusia serta pemenuhan kebutuhannya bergantung pada kegiatan produktif di mana secara aktif orang terlibat dalam mengubah lingkungan alamnya. Namun, kegiatan produktif itu mempunyai akibat yang paradoks dan ironis, karena begitu individu mencurahkan tanaga kreatifnya itu dalam kegiatan produktif, maka produk-produk dari kegiatan ini memiliki sifat sebagai benda obyektif yang terlepas dari manusia yang membuatnya. Karena kegiatan produktif meliputi penggunaan tenaga manusia dan kemampuan kreatifnya, maka produk-produk yang diiptakan itu sebenarnya mewujudkan sebagian dari “hakekat manusia” itu (ungkapan Marxis yang digemari). Jadi manusia mengkonfrontasikan hakekatnya sendiri (yaitu hasil kegiatan dan kemampuan kreatifnya) dalam bentuk yang sudah terasing atau diasingkan, atau sebagai benda dalam dunia luar yang berada di luar jangkauan pengontrolan mereka, dan malah manusia harus menyesuaikan diri dengannya. Sesudah itu, kebebasn individu untuk terus menuangkan kreativitasnya dan mengembangkan kemampuan sebagai manusia, sangat dibatasi.
Dengan kata lain, individu harus menyesuaikan diri dengan dunia benda-benda yang membatasi kebebesannya sebagai manusia walaupaun manusialah yang menciptakannya. Tentu mereka tidak sadar bahwa hambatan-hambatan dari kungkungan-kungkungan yang menyulitkan mereka adalah ciptaan mereka sendiri. Seperti Scrooge dalam karya klasik Dickens Critsmas, mereka terkungkung oleh rantai yang secara tidak sadar mereka sendirilah yang membuatnya. Ini merupakan pernyataan yang paling umum mengenai proses dialektik yang mengarah ke alienasi atau pengasingan diri, dan analisa Marx yang kritis mengenai institusi-institusi sosial dan bentuk-bentuk kesadaran sangat bergantung pada pemahaman-pemahaman alienasi itu.
Misalnya, Marx menulis tentang konsekuensi-konsekuensi yang mengasingkan itu dari sistem produksi yang sudah dimekanisasi dalam pabrik. Mesin-mesin tentu dibuat dari oleh manusia dan dengan demikian mencerminkan kegiatan kreatif manusia. Labih dari itu, mesin-mesin mempunyai pengaruh potensial untuk membebaskan manusia dari kerja fisik. Tetapi akibat actual perkembangan teknologi mesin di awal Revolusi Industri adalah memperbudak para pekerja, membatasi kesempatan mereka untuk kegiatan kreatif. Tunduk pada disiplin mesin produksi, menurut Marx, merendahkan martabat para pekerja, yang menuntut bahwa mereka melayani mesin daripada mesin melayani mereka.
Proses yang sama ini berlaku, tidak hanya untuk benda-benda produk materil dalam lingkungan fisik, tetapi juga untuk kebudayaan nonmaterial yang diciptakan manusia. Misalnya, dalam organisasi formal, individu menciptakan peraturan dan pengaturan sebagai alat untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan bersama mereka; lalu sebagai siswa-siswa organisasi formal seperti yang berulang kali telah dikemukakan oleh Merton, mereka membiarkan diri didominasi sedemikian rupa oleh aturan-aturan dan pengaturan yang mereka buat, sehingga aturan-aturan dan pengaturan-pengaturan itu menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, dan bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Banyak pola institusional lainnya juga memiliki corak itu. Institusi sosial, dalam analisa akhirnya, merupakan produk kegiatan manusia yang kreatif, meskipun institusi-institusi ini sering nampak dalam kesadaran individu sebagai kekuatan-kekuatan obyektif dan asing yang harus mereka patuhi.
Pengaruh Fuerbach
Teori Marx mengenai alienasi dan pengasingan diri sangat dipengaruhi oleh pembalikan Ludwig Fuerbach terhadap filsafat Hegel. Fuerbach lebih konsisten daripada Marx dalam mempertahankan bahwa dunia kesadaran manusia serta ide-ide semata-mata suatu cerminan kekuatan materil, suatu posisi yang seperti dimiliki Marx, yang bertentangan dengan filsafat Hegel. Fuerbach sudah mengembangkan perspektifnya dalam bukunya berjudul Essence of Cristianity, suatu kritik terhadap agama. Singkatnya dia berargumentasi bahwa agama merupakan proyeksi manusia dari sifat dasarnya—kemampuan-kemampuan dan aspirasi-aspirasinya—menjadi suatu makhluk supernatural. Proyeksi ini membiarkan manusia secara prikologis dikosongkan dari sifat-sifat hakikinya itu, dan untuk dapat memperoleh kembali, dia harus mendekati makhluk supernatural dengan menyembah, meminta kembalinya hakekat-hakekat yang akan membuat mereka menjadi manusia secara psikologis dikosongkan dari sifat-sifat hakikinya itu, dan untuk dapat memperolehnya kembali, dia harus mendekati makhluk supernatural dengan menyembah, meminta kebalinya hakekat-hakekat yang akan membuat mereka menjadi manusia secara sempurna—tetapi yang pertama-tama riil adalah hakekat manusianya itu. Jadi, dalam analisa Fuerbach, agama yang akan memperlihatkan keterasingan manusia dari hakekatnya sendiri.
Fuerbach juga memperluas analisanya ini ke filsafat idealistis Hegel. Menurut dia, filsafat Hegel tidak lain daipada suatu bentuk abstrak dan filosofis dari pemikiran teologis. Peranannya yang independen itu berasal munculnya roh akal budi yang universal, yang menginterpretasikan perilaku manusia dan sejarahnya sebagai manifestasi pemunculan diri dari roh akal budi itu yang terlepas dari kegiatan manusia. Feuerbach menyimpang dari pendekatan ini dalam filsafat materialistisnya sendiri, yang memberikan kaum Hegelian muda suatu alternatif ideologi yang menarik, yang lain daripada filsafat Hegel.
Meskipun teori Marx mengenai alienasi dipengaruhi oleh Feuerbach, Marx juga mengkritik Feuerbach. Khususnya dia menyerang penekanan materialistis Feuerbach yang berat sebelah serta pandangannya yang ahistoris abstrak mengenai individu yang pasif, yang terpencil dari konteks sosialnya. Bertentangan dengan Feuerbach, Marx menekankan pentingnya pemahaman terhadap konteks sosial dan sejarah yang khas, di mana bentuk-bentuk khusus kesadaran dan ilusi-ilusi agama atau ideologis muncul. Juga Marx menekankan peranan aktif yang mungkin diamankan individu dalam proses sejarah. Agak berbeda dari penekanan materialistis Feuerbach yang berat sebalah itu, yang melihat seseorang sebagai obyek pasif yang bertindak menurut kekuatan-kekuatan materil, Marx menekankan hubungan dialektik antara seseorang sebagai obyek dan seseorang sebagai subyek yang aktif. Melalui praxis, orang membuat sejarah sendiri, dan sekaligus kegiatan kreatifnya itu ditentukan dan terikat oleh lingkungan materil dan lingkungan sosial tertentu yang sudah mereka bentuk. Kritik Marx yang tepat dan meyakinkan terhadap Feuerbach terdapat dalam tulisan yang terkenal These of Feuerbach; pernyataan kesimpulan: “Para ahli filsafat hanya mengeinterpretassi dunia dalam pelbagai cara; masalahnya, bagaimana mengubahnya.
Komitmen Marx untuk mengubah dunia melalui kegiatan praksis didasarkan pada kepercayaan idealistisnya bahwa alienasi akhirnya dapat diatasi. Pandangan Feuerbach mengenai agama sebagai sumber alienasi hanyalah langkah pertama buat Marx; langkah berikutnya adalah mengidentifikasi kondisi materil dan kondisi sosial yang merupakan sumber alienasi dan ilusi. Sekali kondisi hidup riil yang menciptakan kebutuhan akan ilusi yang mengalienasi itu dijelaskan melalui kritik sosial, langkah berikutnya adalah tindakan revolusioner, yang akan menghapus kebutuhan akan ilusi dengan membiarkan orang untuk bertindak kreatif untuk dirinya sendiri.
Marx setuju dengan Feuerbach bahwa bentuk alienasi yang paling mendalam adalah yang dinyatakan dalam idologi agama dan filsafat. Menerima idiologi-idologi seperti itu mendukung kompensasi manusia bagi kelemahan-kelemahan serta keterampasan haknya yang tidak terpenuhi dalam kehidupannya yang riil sebagai akibat dari kontradiksi internal dalam struktur sosial itu. Tetapi ini bukan merupakan saatu-satunya bidang di mana alienasi itu dapat diamati; alienasi juga terdapat dalam hubungan-hubungan ekonomi dan dalam institusi politik serta ideologi-ideologi.
Alienasi Kaum Buruh Dalam Masyarakat Kapitalis
Tulisan Marx tahun 1844 yang berjudul Economic and Philosophical Manuscripts merupakan satu kritik terhadap teori-teori ekonomi politik yang sudah mapan di Inggris dari Smith, Richardo dan lain-lain. Ekonomi politik Inggris didasarkan pada satu pandangan yang sangat individualistis mengenai kodrat manusia. Eksistensi masyarakat dijelaskan sebagai akibat dari persetujuan kontraktual yang dibuat oleh individu sebagai hasil dari suatu penilaian rasional mengenai cara yang paling baik bagaimana mengejar kepentingan individu mereka masing-masing. Doktrin pokok lainnya adalah bahwa kesejahteraan seluruh masyarakat akan terjamin dengan membiarkan individu untuk sebebas mungkin mengejar kepentingan dirinya. Pendekatan laissez-faire ini dikembangkan dan dikenl sebagai suatu kemajuan yang penting dalam kebebasan manusia.
Dengan latar belakang filsafat dialektik Hegel, Marx menarik kesimpulan dari studinya mengenai sistem kapitalis laissez-faire, yang jauh lebih simpatik daripada kesimpulan-kesimpulan pemikir Inggris itu. Khususnya dia menyayangkan pengaruh-pengaruh individualisme yang semakin meningkat serta sistem pasar bebasnya dalam memecahkan ikatan-iktatan sosial, yang di masa lampau sudah membantu memanusiakan hubungan-hubungan ekonomi. Dia melihat pengaruh-pengaruh ini sebagai sesuatu yang membuat manusia sebagai barang komoditi saja dalam pasar, yang tenaganya diperjualbelikan seperti komoditi lainnya tanpa melihat kebutuhan manusiawi mereka yang terlibat dalam proses ini. Hasilnya adalah alienasi manusia dari sesamanya dan dari kodrat sosialnya sendiri. Marx menekankan masalah ini dalam tulisannya yang terkenal Communist Manifesto. “Kelompok borjuis di mana pun mereka berada pada lapisan atas, sudah mengakhiri semua hubungan feodal, menyobek ikatan-ikatan feodal yang beraneka ragam itu yang mengikat manusia dengan “atasannya secara alamiah”, tanpa menyisakan hubungan lain apa pun antara manusia dengan sesamanya kecuali atas dasar kepentingan diri belaka dan pembayaran tunai tanpa perasaan”.
Alienasi juga merupakan akibat dari hilangnya kontrol individu atas kegiatan kreatifnya sendiri dan produksi yang dihasilkannya. Pekerjaan dialami sebagai suatu keharusan untuk sekedarbertahan hidup dan tidak sebagai alat bagi manusia untuk mengembangkan atau menyatakan kemampuannya yang kreatif. Individu merasa dirinya tidak mampu untuk mengembangkan diri, dalam pengertian yang luas, melalui kegiatan produktifnya.
Sama halnya, hilangnya kontrol atas produk-produk kegiatan mereka berarti bahwa mereka tidak dpaat menggunakan produk yang mereka hasilkan itu untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, meskipun produk-produk mereka itu sebenarnya merupakan perwujudan tenaga hidup mereka sendiri dalam bentuk yang obyektif. Sebaliknya, para pekerja menghasilkan komoditi untuk ditukar dalam sistem pasar yang bersifat impersonal. Hasilnya, adalah bahwa mereka mengkonfrontasikan produk kerja dan tenaga mereka sendiri dalam suatu bentuk yang asing, atau sebagai benda-benda dalam dunia pasar eksternal yang tidak dapat mereka kontrol lagi. Singkatnya, pekerja-pekerja dalam sistem kapitalis dipaksa melaksanakan pekerjaan yang tidak memungkinkan perkembangan pribadi mereka sebagai manusia, dan yang merendahkan martabat mereka, di mana mereka tidak dapat menarik keuntungan, kecuali untuk memenuhi kebutuhan fisik mereka saja dalam arti yang sempit.
Kritik filosofis mengenai ekonomi politik dimaksudkan untuk melawan latar belakang analisa proses ekonomi kapitalis. Bertentangan dengan pandangan ahli ekonomi politik yang optimis, Marx menunjukkan bahwa penerapan wajar hukum penawaran dan permintaan dalam ekonomi yang bersifat impersonal itu mengurangi upah kerja sampai ke tingkat di mana para pekerja hanya dapat sekedar mempertahankan hidup dengan bekerja dalam jumlah jam sebanyak mungkin. Karena para kapitalis jelas mempunyai kepentingan ekonomi dalam mempertahankan biaya produksi komoditi serendah mungkin, upah yang mereka berikan baru agak tinggi sekedar menarik kaum buruh untuk menjual tenaga kerja mereka. Namun kaum buruh hampir tidak mempunyai pilihan lain karena mereka tidak mempunyai alat produksi; jadi satu-satunya pilihan mereka adalah menawarkan tenaga mereka dengan upah yang ditentukan oleh majikan kapitalis itu supaya dapat bertahan hidup.
Karena penawaran dari tenga kerja manusia melebihi permintaan kapitalis untuk jasa-jasa mereka, maka hukum permintaan dan penawaran dalam ekonomi menjamin bahwa upah buruh akan tetap serendah mungkin. Hubungan antara majikan kapitalis dan buruh sangat bersifat ekonomis, sama sekali terlepas dari pengaruh ikatan sosial nonekonomi yang bersifat manusiawi dan lunak. Akibatnya, pekerja menjadi suatu komoditi dalam pasaran tenaga kerja yang tugasnya ditentukan oleh keinginan majikan kapitalis untuk memperoleh keuntungan sebesar-sebesarnya dan oleh tuntutan-tuntutan mesin produksi. Buruh melayani mesin daripada sebaliknya; dalam pengertian luas, buruh melayani majikan kapitalis.
Secara paradoks kelihatannya, semakin produktif kaum buruh dalam memproduksikan komoditi, semakin mereka merasa diri memjadi miskin dan semakin mereka tidak mampu mengontrol kegiatan hidup mereka sendiri. Seperti Marx katakana: “Buruh menempatkan hidupnya dalam obyek, dan kemudian hidupnya tidak lagi menjadi miliknya tetapi menjadi milik obyek itu. Lalu semakin besar kegiatannya, semakin kurang yang dimilikinya. Apa yang terwujud dalam produk kegiatannya tidak lagi menjadi miliknya. Lalu semakin besar produk itu, semakin besar pula dia dimiskinkan. Alienasi buruh dalam produknya tidak hanya berarti bahwa tenaganya menjadi suatu obyek, yang mengandaikan suatu eksistensi eksternal, melainkan bahwa obyek itu berada secara independen, di luar dirinya, dan asing baginya, dan menentang dia sebagai suatu kekuatan yang otonom. Kehidupan yang sudah dia berikan pada obyek itu berbalik melawan dia sebagai satu kekuatan asing dan bermusuhan.
Alienasi melekat pada semua sistem pembagian kerja dan pemilikan pribadi, tetapi bentuknya yang paling ekstrem ada dalam kapitalisme, di mana mekanisme pasar yang impersonal itu, dengan menurunkan kodrat manusia menjadi komoditi, dilihat sebagai satu pernyataan hukum alam dan kebebasan manusia. Bentuk ekstrem alienasi itu merupakan dari perampasan produk buruh oleh majikan kapitalisnya. Marx menjelaskan masalah ini sebagai berikut. “Kalau produk buruh itu menjadi asing bagi saya dan mengkonfrontasikan saya sebagai suatu kekuatan asing, siapa yang memilikinya? Kalau kegiatan saya sendiri bukan mulik saya tetapi sebagai suatu kegiatan yang asing dan memaksa, lalu siapa yang memilikinya? Bukan diri saya, tetapi yang lain di luar diri saya. Dan siapa yang lain itu?” jawaban yang jelas adalah bahwa yang lain itu adalah majikan kapitalis.
Lebih-lebih lagi, tidak ada pembelaan yang valid terhadap sistem serupa itu dengan argumen bahwa karena kapitalis memiliki alat pdoduksi, mereka mempunyai hak untuk mengontrol produk-produk yang dihasilkan oleh kaum buruh yang menggunakan alat-alat itu. Alat produksi itu dari dirinya sendiri merupakan obyektifikasi dan perwujudan buruh sebelumnya. Mesin-mesin dan teknologinya lainnya tidak ada secara alamiah; mereka dihasilkan oleh manusia. Artinya, kontrol kapitalis atas alat produksi itu sebenarnya merupakan kontrol atas tenaga kerja buruh yang diobyektivikasikan, yang termasuk dalam produksi barang-barang modal. Peraturan yang membela hak-hak kapitalis mencerminkan usaha-usaha kapitalis dalam memperkuat dan mempertahankan “hak-hak”-nya untuk mengeksploitasi tenaga kerja kelas buruh.
Jalan keluar dari masalah eksploitasi dan kesengsaraan kelas buruh tidak hanya sekedar dengan menaikkan upahnya. Naiknya upah mungkin meringankan beban materil yang dihadapi kaum buruh, tetapi tidak akan mengatasi konsekuensi-konsekuensi pembagian kerja dan pemilikan pribadi yang besifat mengasingkan. Buruh akan masih tetap sebagai komoditi sifatnya, tanpa kesempatan untuk mengembangkan hakekatnya sebagai manusia dalam hubungannya dengan sesamanya (apa yang Marx tunjukkan sebagai “rumpun manusia”—species life), atau kemampuan manusianya, dan produk-produk tenaganya akan masih dikontrol oleh orang lain dan akan mengkonfrontasikan pekerja-pekerja itu sebagai suatu benda yang asing. Pengasingan dari produk-produk kegiatan kreatif individu merupakan suatu persoalan yang jauh lebih mendalam daripada persoalan upah yang tidak layak; hal ini menuntut tidak hanya sekedar meningkatkan upah tetapi juga suatu perubahan masyarakat radikal untuk pemecahannya.
Alienasi Politik
Manifestasi yang lain dari alienasi dinyatakan dalam teori Marx mengenai netara. Dalam suatu artikel yang ditulis di awal karirnya berjudul “On The Jewish Question” dan dalam krittiknya terhadapnya filsafat Hegel mengenai negara, Marx menganalisa pembedaan antara negara dan masyarakat sipil. Pembedaan ini bertalian dengan pembedaan antara manusia sebagai individu dengan kebutuhan biologis dan kepentingan egoisnya, dan manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki suatu “rumpun hidup”, yang sama. Negara mewakili “rumpun hidup” manusia dalam bentuk obyektifnya, atau menggambarkan sisi komunal dari kodrat manusia. Tetapi karena manusia memproyeksikan sisi kodratnya yang rangkap ke dalam institusi negara yang bersifat eksternal, kehidupannya yang riil dikuasai oleh sisi kodrat manusianya yang bersifat egoistis. Pertentangan itu benar-benar menjadi sedemikian besarnya sehingga dalam revolusi politik borjuis, negara dilihat sebagai sesuatu yang memberikan individu hak-hak tertentu sebagai warga negara—seolah-olah negara itu berdiri sendiri lepas dari anggota masyarakat warga yang membentuknya, dan seolah-olah individu sebagai warga negara berbeda dari individu-individu pria dan wanita yang riil. Analisa tentang negara ini sejajar dengan analisa Marx mengenai angka; dalam kedua kasus itu suatu dimensi tentang kodrat manusia diproyeksikan sebagai suatu benda eksternal yang meskipun diciptakan manusia, kembalil mengkonfrontasikan manusia sebagai satu kekuatan asing di mana mereka harus tunduk.
Analisa Marx tentang negara itu berubah sedikit ketika dia mengembangkan gagasannya. Misalnya dalam The German Ideologi Marx melihat negara sebagai suatu kompensasi dari ketegangan dalam masyarakat yang muncul karena pembagian kerja. Konflik dialektik antara kehidupan pribadi individu dan kehidupan umum diselubungi oleh ilusi bahwa negara merupakan suatu komunitas manusia yang sesungguhnya yang mengatasi konflik yang riil antara kelas-kelas masyarakat yang saling bertentangan. Tetapi dalam The Communist Manifesto penekanan Marx agak berubah, dalam melihat bahwa negara terutama melindungi kepentingan kelas yang dominan dalam masyarakat. Kedua pandangan ini tidak harus bertentangan, tetapi perubahan penekanan dari negara sebagai sumber ilusi yang berhubungan dengan kehidupan manusia komunal, ke negara sebagai alat yang dipergunakan oleh kelas yang dominan sudah sangat jelas.
Alienasi kelihatannya benar-benar tidak dapat dielakkan dalam pandangan mengenai kodrat manusia yang paradoks. Di satu pihak manusia menuangkan potensi manusiawinya yang kreatif dalam kegiatannya; di lain pihak, produk-produk kegiatan kreatifnya itu menjadi benda yang berada di luar kontrol manusia yang menciptakannya yang menghambat kreativitas mereka selanjutnya. Paradoks manusia yang fundamental ini menjadi lebih jelek lagi di masyarakat dalam pembagian kerja dan pemilikan pribadi. Meskipun kebanyakan masyarakat dalam sejarah memperlihatkan suasana alienasi ini (kecuali tahap komunisme suku bangsa primitif), alienasi jauh lebih berkembang dalam masyarakat kapitalis borjuis sedemikian sehingga tingkat alienasi jauh lebih tinggi daripada dalam tahap-tahap masyarakat sebelumnya. Benar bahwa mengatasi alienasi itu sudah melekat dalam struktur masyarakat kapitalis, yang akan menuntut tidak lain daripada suatu revolusi total yang akan menghancurkan semua kontradiksi internal dalam masyarakat dengan meniadakan pembagian kerja, pemilikan pribadi, negara dalam bentuk tradisionalnya, serta semua eksploitasi dan penindasan. Marx yakin hal ini akan mengakhiri alilenasi, yang memungkinkan orang untuk megungkapkan kodrat manusianya secara utuh dalam kegiatannya untuk mereka sendiri.
KELAS SOSIAL, KESADARAN KELAS, DAN PERUBAHAN SOSIAL
Salah sattu kontradiksi yang paling mendalam dan luas yang melekat dalam setiap masyarakat di mana ada pembagian kerja dan pemilikan pribadi adalah pertentangan antara kepentingan-kepentingan materil dalam kelas-kelas sosial yang berbeda. Peranan penting yang dimainkan konsep kelas sudah ada secara implisit dalam diskusi kita mengenai hubungan-hubungan ekonomi, struktur politik, dan alienasi. Dalam bagian ini kita beralih ke suatu analisa yang lebih eksplisit mengenai kelas-kelas sosial dan pentingnya konflik kelas dalam menimbulkan perubahan sosial.
Marx bukan orang pertama yang menemukan kelas sosial dalam masyarakat. Meskipun dia sendiri sering menggunakan konsep itu, namun dia tidak memberikan satu analisa yang sistematis dan komprehensif tentang itu. Meskipun konsep kelas begitu meluasnya ke hampir seluruh tulisan-tulisan pokoknya, perlu mengatakan bahwa dia melihatnya sebagai kategori yang paling dasar dalam struktur sosial. Pembagian yang paling penting dalam masyarakat adalah pembagian antara kelas-kelas yang berbeda; faktor yang paling penting mempengaruhi gaya hidup dan kesadaran individu adalah posisi kelas; ketegangan konflik yang paling besar dalam masyarakat tersembunyi atau terbuka, adalah yang terjadi antarkelas yang berbeda, dan salah satu sumber perubahan sosial yang paling ampuh adalah yang muncul dari kemenangan satu kelas lawan kelas lainnya. Di awal The Communist Manifesto, Marx mengatakan: “Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas, orang bebas dan budak, bangsawan dan rakyat biasa, tuan dan hamba, pemimpin perusahaan dan orang lontang-lantung, dalam satu kata, penindas dan yang ditindas, selalu bertentangan satu salam lain, yang berlangsung tak putus-putusnya dalam satu pertarungan yang kadang-kadang tersembunyi, kadang-kadang terbuka, suatu pertarungan yang setiap kali berakhir, baik dalam satu rekonstruksi masyarakat pada umumnya secara revolusioner, maupun dalam keruntuhan umumnya dari kelas-kelas yang bercekcok itu”.
Hubungan Ekonomi Dan Struktur Kelas
Bagaimana kelas-kelas sosial itu muncul? Apa yang menentukan hubungannya. Jawaban atas pertanyaan ini sangat erat kaitannya dengan konsep Marx mengenai materialisme historis, seperti yang sudah kita diskusikan. Perlu diingat kembali bahwa kemampuan manusia untuk memenuhi pelbagai kebutuhannya tergantung pada terlibatnya mereka dalam hubungan sosial dengan norma lain untuk mengubah lingkungan materil melalui kegiatan produktifnya. Hubungan-hubungan sosial yang elementer ini membentuk infrastruktur ekonomi masyarakat. Pada mulanya hubungan-hubungan ini dipengaruhi oeh perbedaan-perbedaan alamiah antara manusia sesuai dengan kekuatan, ukuran, tenaga, kemampuan-kemampuan, dan semacamnya. Tetapi pada awal munculnya suatu struktur ekonomi masyarakat pembagian kerja sudah berkembang, dan hal ini mengharuskan adanya suatu sistem pertukaran. Proses-proses sosial ini, yang disertai dengan perbedaan-perbedaan alamiah antara satu orang dengan orang lain, segera menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam pemilikan atau kontrol terhadap sumber-sumber alam serta alat-alat produksi. Pemilikan atau kontrol yang berbeda atas alat produksi, yang Marx tekankan jauh lebih keras daipada perbedaan antara orang secara biologis alamiah, merupakan dasar pokok untuk pembentukan kelas-kelas sosial yang berbeda.
Karena langkanya sumber alam dan kepentingan alamiah setiap individu dalam meningkatkan kesejahteraan materil pribadinya, hubungan antar kelas harus bersifat antagonistis. Antagonisme yang fundamental mungkin diselubungi oleh perkembangan ideologi-ideologi yang memberikan ilusi tentang suatu komunitas yang kepentingan-kepentingannya bersifat harmonis, dan oleh pelbagai ikatan sosial yang nonekonomis, namun antagonisme itu terus berlangsung, meskipun tidak harus nampak jelas di mata anggota masyarakat.
Pemilikan atau kontrol atas alat produksi merupakan dasar utama bagi kelas-kelas sosial dalam semua tipe masyarakat, dari masyarakat yang dibedakan menurut kelas yang paling awal yang muncul dari komunisme suku bangsa primitif (di mana nampaknya pembagian kerja dan pemilikan pribadi itu hanya berkembang dalam bentuk yang minimal, atau tidak ada sama sekali) sampai ke kapitalisme modern. Namun ada perbedaan-perbedaan penting dalam struktur-struktur kelas antara tipe-tipe masyarakat yang berbeda atau tahap-tahap yang berbeda dalam sejarah, yang terutama disebabkam oleh perbedaan variasi dalam sumber-sumber dan alat produksi.
Dorongan yang paling penting untuk perubahan-perubahan adalah ekspansi alat produksi yang dihasilkan oleh perkembangaa teknologi. Pengaruh perkembangan alat-alat dan teknik-teknik produksi yang baru ini adalah bahwa kekuatan-kekuatan produktif akhirnya menjadi tidak konsisten dengan hubungan-hubungan kelas yang ada. Perkembangan teknologi mungkin mengakibatkan muculnya kelompok kerja baru yang dapat merombak dasar ekonomi untuk suatu dominasi kelompok, atau dengan salah satu cara dapat mengubah sifat lingkunga sosial dan materil di mana individu itu terlibat. Misalnya, pertumbuhan produksi dengan mesin berskala besar di awal Revolusi Industri menyediakan satu alternatif penting bagi tanah sebagai sumber dan alat produksi dan mendorong kelas kapitalis borjuis ke posisi ekonomi yang dominan yang menghancurkan kelas aristokrat. Pada waktu yang sama, proletariat muncul sebagai bagian dari proses yang sama, dan menurut teori Marx, pasti akhirnya memegang peranan yang penting dalam mengubah masyarakat kapitalis ke tahap sejarah berikutnya (Marx yakin tahap itulah yang terakhir).
Meskipun pemilikan atau penguasaan atas alat produksi selalu merupakan sumber mutlak untuk pembagian kelas, karakteristik khusus dari kelas-kelas yang berbeda dan sifat hubungan sosial di antara kelas-kelas itu akan berbeda-beda dalam masyarakat yang berbeda-beda atau dalam tahap sejarah yang berbeda-beda. Misalnya, hubungan sosial antara bangsawan yang memiliki tanah dan budak dalam masa feodal berbeda secara substansial dari hubungan sosial antara kelas majikan kapitalis dan kelas buruh proletariat. Satu contoh misalnya, ikatan sosial nonekonomis lebih banyak dikembangkan dalam tipe yang pertama. Sama juga halnya, hubungan-hubungan kelas dalam masyarakat feodal berubah secara berarti dari tahap lebih awal yang masih melibatkan perbudakan.
Bersama dengan perbedaan-perbedaan dalam hubungan kelas pelbagai tahap sejarah, ada pula perbedaan-perbedaan internal gaya hidup dan bentuk kesadaran dalam kelas-kelas utama. Meskipun bangsawan yang memiliki tanah dan kapitalis borjuis masing-masing berkuasa dalam tahap-tahap sejarahnya sendiri, ada perbedaan pokok antara kelas-kelas ini. Memang kapitalis borjuis harus terlilbat dalam perjuangan revolusioner melawan kelas aristoktrat untuk memperkuat dominasinya. Juga sama halnya kelas proletar kota secara subtansial berbeda dari petani desa meskipun keduanya merupakan kelas yang tunduk.
Pembedaan Kelas Primer Dan Kelas Sekunder
Sebegitu jauh diskusi kita sudah mengandaikan model masyarakat dua kelas. Meskipun kutipan dari The Communist Manifesto pada halaman terdahulu dengan jelas menegaskan model ini, Marx tidak selalu konsisten dalam hal ini. Dalam satu bagian dari Das Capital jilid ketiga, Marx mulai dengan satu penjelasan yang sistematis menegnai konsep kelas itu, di mana dia mengidentifikasikan tiga kelas utama dalam masyarakat kapitalis: buruh upahan, kapitalis, dan pemilik tanah. Kelas-kelas ini dibedakan terutama karena perbedaan-perbedaan dalam sumber-sumber pendapatan pokok, yakni upah, keuntungan, dan sewa tanah untuk masing-masingnya. Pembagian yang tajam antara kelas-kelas primer mungkin dikaburkan oleh kelompok-kelompok sekunder lainnya atau kelompok menengah yang bermacam-macam. Di Inggris misalnya, yang merupakan masyarakat kapitalis yang paling maju, Marx mengakui bahwa sistem kelas-tiga bagian ini tidak nampak dalam bentuk aslinya.
Lebih-lebih lagi, karena sistem kapitalis itu berkembang, Marx mengharapkan bahwa ketiga sistem kelas itu secara bertahap akan diganti oleh suatu sistem dua kelas begitu lapisan menengah hilang, dan tentu saja karena cara kerja kapitalis itu diperluas dari perusahaan industri ke perusahaan pertanian. Ide bahwa masyarakat-masyarakat kapitalis di masa Marx hidup ada dalam proses gerak menuju sistem dua kelas saja, juga dikemukakannya dalam The Communist Manifesto: “Masyarakat sebagai satu keseluruhan menjadi semakin terbagi dalam dua kelompok besar yang saling bermusuhan ke dalam dua kelas yang saling berhadapan secara langsung: borjuis dan proletariat”.
Kalau model tiga kelas atau mungkin model dua kelas (tergantung pada tahap sejarah tertentu) dapat menggambarkan pembagian kelas yang paling dasar dalam masyarakat kapitalis, kelas-kelas lain pun dapat pula diidentifikasi. Kelas borjuis misalnya, dapat dibagi lagi ke dalam borjuis yang dominan dan borjuis kecil. Borjuis yang dominan dapat terdiri dari kapitalis-kapitalis besar dengan perusahaan raksasa yang mempekerjakan banyak buruh; borjuis kecil dapat terdiri dari pengusaha-pengusaha toko, pengrajin kecil, dan semacamnya, yang kegiatan operasinya jauh lebih kecil. Di antara kapitalis-kapitalis yang dominan, juga dapat dibedakan antara kapitalis uang dan kapitalis industri. Marx meramalkan bahwa perkembangan masyarakat kapitalis ke sistem dua kelas akhirnya akan mengakibatkan hilangnya kelas borjuis kecil dan mengakibatkan anggota-anggotanya menjadi proletariat.
Marx juga mengidentifikasi “kelas menengah ke bawah, pengrajin kecil, pengusaha toko, seniman, petani” yang terlibat dalam suatu pertarungan melawan kaum borjuis. Namun dari titik pandangan yang lain, petani harus dilihat sebagai satu kategori yang berbeda dari lain-lainnya. Mereka tidak jelas masuk dalam sistem tiga kelas itu, meskipun mereka sangat dekat persamaannya dengan kaum proletariat dalam jajaran tiga kelas itu. Namun, ideologinya bersifat reaksioner, dan tingkat organisasinya sebagai satu kelas tidak ada.
Juga di bawah tingkat upah buruh proletariat dalam suatu masyarakat kapitalis masih ada kategori dropouts dan ne’er-do-well’s yang Marx tunjuk sebagai lumpenproletariat (proletariat yang tidak laku); kategori ini “mencakup pencuri, penjahat dari segala jenis, yang hidup dari remah-remah masyarakat, pedagang tak menentu, gelandangan, tunawisma”. Kaum cendekiawan juga membentuk satu kelas menengah yang tidak persis masuk dalam salah satu model dua kelas atau model tiga kelas. Namun pada umumnya mereka mendukung kelas borjuis dengan mengembangkan ideologi-ideologi yang memperkuat struktur sosial dan ekonomi itu. Dalam The Communist Manifesto Marx menekankan bahwa “ahli fisika, pengacara, imam, pujangga, ilmuwan” sudah berbalik menjadi “buruh upahan yang dibayar” dari kelompok borjuis. (Marx tidak akan ragu-ragu menilai dirinya suatu kekecualian, yang dibuktikan dengan kesulitan ekonomi pribadinya.) sebagai satu petunjuk akhir bagaimana Marx menyimpang dari sistem dua atau tiga kelas saja, analisanya mengenai perjuangan kelas di Prancis menunjukkan tujuh kelas yang berbeda-beda: “borjuis pemodal, borjuis industri, borjuis pedagang, borjuis kecil, petani, kaum proletariat, proletar yang tidak laku”.
Penolakan Marx terhadap model yang hanya terikat pada dua atau tiga kelas saja, konsisten dengan pandangannya mengenai struktur sosial yang terus-menerus mengalami perubahan dan variasi dalam periode sejarah yang berbeda-beda. Konstelasi kelas khusus yang dapat diidentifikasi dalam masyarakat atau dalam periode sejarah yang berbeda-beda tidak dapat dianalisa secara memadai dengan menggunakan model yang statis yang mengabaikan variasi-variasi ini. Kekuatan-kekuatan produktif dengan persebaran yang tidak sama di antara kelas dominan dan kelas bawah akan bermacam-macam bentuknya, seperti halnya kelompok kelas sekunder atau menengah. Walaupun begitu, kendati perubahan-perubahan sejarah ini, dasar yang paling fundamental untuk pembagian kelas adalah kemudahan untuk memperoleh alat produksi, dan dalam titik sejarah yang paling menentukan, kriterium yang fundamental ini akan menyatakan dirinya semakin lebih jelas.
Kepentingan Kelas Obyektif Dan Kesadaran Kelas Subyektif
Sumber pokok yang mendasari pembedaan-pembedaan kelas yang utama—kesempatan yang berbeda untuk memiliki alat-alat produksi—mungkin tidak nampak jelas di mata anggota-anggota masyarakat, khususnya dalam perode yang relatif stabil. Ini disebabkan oleh munculnya pelbagai kelas sekunder menengah, dan juga karena perkembangan ideologi yang memberi ilusi yang benar-benar menutupi kepentingan kelas dari individu yang sebenarnya. Hasilnya individu mungkin tidak sadar akan kepentingan kelasnya sendiri bersama orang-orang lain yang ada dalam satu posisi yang serupa.
Lalu pertanyaan muncul, apakah kelompok orang yang semata-mata menduduki posisi yang serupa dalam sistem produksi itu tetapi tidak saling berkomunikasi atau tidak sadar akan kepentingan mereka bersama harus dilihat sebagai satu kelas? Dalam The Communist Manifesto Marx mengemukakan bahwa organisasi kaum proletar menjadi satu kelas sedang terganggu oleh kompetisi mereka satu sama lain. Ini mengandung implikasi bahwa posisi proletar yang sama itu sendiri tidak cukup untuk menggolongkan mereka sebagai satu kelas. Sama juga halnya dengan kapitalis itu sendiri tidak selalu bertindak dalam satu cara yang seragam; sebenarnya bentuk kegiatan mereka yang biasa adalah saling bersaing. Dalam hal di mana hubungan mereka bersifat kompetitif, mereka tidak sepenuhnya merupakan satu kelas. Juga sudah kita lihat di depan, kelas seseorang, secara obyektif ditentukan oleh kedudukannya dalam hubungan sosial yang terdapat dalam produksi dan kesempatan untuk memperoleh pelbagai alat produksi. Marx mengakui aspek obyektif dan subyektif itu termasuk dalam konsep kelas, dan arti istilah kelas yang paling lengkap harus mencakup kedua aspek itu.
Marx membandingkan kedua dimensi itu secara kontras, dan menjelaskan secara khusus pentingnya dimensi subyektif dalam analisanya mengenai petani Prancis di abad kesembilan belas: “sejauh jutaan keluarga hidup dalam kondisi-kondisi ekonomi yang memisahkan gaya hidup kepentingan, dan kebudayaan mereka dari orang yang termasuk dalam kelas lain, dan menempatkan mereka dalam oposisi yang bermusuhan dengan kelas yang terakhir itu, mereka membentuk satu kelas. Sejauh hanya saling keterhubungan setempat antara petani-petani kecil itu, dan identitas kepentingan mereka tidak menciptakan komunitas, tidak ada ikatan nasional dan tidak ada organisasi politik di kalangan mereka, mereka tidak membentuk satu kelas”.
Yang berhubungan dengan antara dimensi kelas subyektif dan obyektif adalah pembedaan antara kepentingan kelas. Kesadaran kelas merupakan satu kesadaran subyektif akan kepentingan kelas obyektif yang mereka miliki bersama orang-orang lain dalam posisi yang serupa dalam sistem produksi. Konsep “kepentingan” mengacu pada sumber-sumber materil yang aktual yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan individu. Jadi misalnya, kepentingan kelas kapitalis terletak pada keuntungan yang semakin meningkat; kepentingan kelas proletar, menurut definisi yang sempit, meliputi kenaikan upah, tetapi menurut definisi yang luas, akan meliputi penguasaan terhadap proses produksi yang lebih luas.
Kurangnya kesadaran penuh akan kepentingan kelas sangat berhubungan dengan penerimaan ideologi yang dikembangkan untuk mendukung kelas dominan dan struktur sosial yang ada. Pengaruh ideologi ini adalah munculnya “kesadaran palsu”. Kesadaran palsu dapat berupa kepercayaan bahwa kesejahteraan materil orang pada masa kini dan di masa yang akan datang terletak dalam dukungan terhadap status-quo politik di mana kepentingan materil seseorang sesuai dengan kepentingan kelas penguasa atau bahwa kelas penguasa benar-benar memperhatikan kesejahteraan semua kelompok masyarakat. Kesadaran palsu menciptakan ilusi yang mengaburkan kepentingan yang sebenarnya dari sekelompok masyarakat dan mendukung kepentingan kelas dominan.
Satu contoh akan menmjelaskan pembedaan antara kesedaran kelas yang benar dan kesadaran kelas yang palsu. Pekerja pabrik pada jenjang hirarki organisasi yang paling bawah yang percaya bahwa kalau mereka bekerja keras mereka akhirnya akan memperoleh posisi yang tinggi dalam perusahaan itu dan yang lalu melihat keberhasilan pribadi mereka sendiri mempunyai hubungan dengan keberhasilan perusahaan itu, mungkin akan memperlihatkan kesadaran yang palsu, terutama kalau tingkat kenaikan jenjang yang sebenarnya sangat rendah. Berlawanan dengan ideologi “orang perusahaan” ini, buruh pabrik yang sadar bahwa kesempatan mereka untuk naik jenjang adalah sangat kecil dan yang lalu berusaha membentuk organisasi buruh sejawat dalam satu serikat buruh untuk mendesak pengelolaan upah yang lebih tinggi, kondisi kerja yang lebih baik, otonomi yang lebih besar, dan seterusnya, mungkin akan memperlihatkan kesadaran kelas yang benar.
Munculnya Kesadaran Kelas dan Perjuangan Kelas
Apa yang menyebabkan kesadaran kelas yang palsu digantikan oleh kesadaran kelas yang benar? Jawaban Marx atas pertanyaan ini dipusatkan pada perkembangan dalam kelas proletar masyarakat kapitalis. Satu faktor penting adalah semakin terpusatnya kaum buruh proletar dalam daerah-daerah industri di kota. Karena mereka bekerja bersama-sama dalam kondisi yang kurang manusiawi dalam pabrik itu dan hidup berdampingan satu sama lain sebagai tetangga di kota, kaum proletar menjadi sadar akan penderitaan bersama dan kemeralaratan ekonominya. Singkatnya, terpusatnya mereka pada satu tempat memungkinkan terbentuknya jaringan komunikasi dan menghasilkan kesadaran bersama. Sesungguhnya ini merupakan salah satu dari pembedaan pokok antara kelas proletar kota dan kelas petani desa, yang anggota-anggotanya hidup terpencil satu sama lain dan jarang berkomunikasi menurut satu pola yang tetap.
Juga Marx membayangkan bahwa kondisi kelas proletar yang tertekan itu secara bertahap akan menjadi semakin parah begitu masyarakat kapitalis itu mendekati masa ajalnya. Tidak seluruhnya jelas apakah ramalan mengenai bertambah melaratnya kelas buruh itu harus dilihat dalam artian mutlak atau relatif. Kalau diartikan secara mutlak, itu berarti bahwa individu-individu kelas itu merasa semakin sulit untuk hidup dalam pengertian fisik belaka. Kalau diartikan secara relatif, itu berarti bahwa jurang antara pemilik alat produksi dan buruh terus melebar, meskipn sumber-sumber materil aktual yang ada pada individu kelas buruh tertentu mungkin sebenarnya bertambah.
Marx tentu sadar akan pentingnya deprivasi relatif; sekali dia menulis bahwa sebuah rumah kecil di antara rumah-rumah kecil lainnya mungkin cukup untuk tempat tinggal, tetapi kalau sebuah istana didirikan di sampingnya, rumah kecil itu lalu menjadi gubuk. Bagaimanapun juga, apakah deprivasi proletar yang bertambah itu bersifat absolut atau relatif, proses deprivasi ini makin mempersulit kelas pekerja untuk membenarkan ilusi yang muncul dari kesadaran palsu. Sebaliknya kelas pekerja menjadi semakin sadar akan antagonisme yang fundamental antara kepentingannya dan kepentingan kapitalis.
Sesekali jaringan komunikasi itu dibentuk dan kepentingan bersama menjadi jelas, maka dibentuklah organisasi kelas proletar melawan musuh bersama. Organisasi ini dapat berupa berdirinya serikat-serikat buruh atau serikat-serikat kerja lainnya untuk mendesak upah yang lebih tinggi, perbaikan kondisi kerja, dan sebagainya. Namun akhirnya organisasi kelas buruh itu akan menjadi cukup kuat bagi mereka untuk menghancurkan seluruh struktur sosial kapitalis dan menggantikan dengan struktur sosial yang akan menghargai kebutuhan dan kepentingan umat manusia seluruhnya.
Bersama dengan proses organisasi politik ini dikembangkanlah satu ideologi yang mengungkapkan kepentingan kelas buruh yang sesungguhnya dan memberikan satu penjelasan mengenai peranan sejarahnya dalam mengubah struktur sosial. Perkembangan segi perjuangan ideologis ditingkatkan oleh proletarisasi borjuis-borjuis kecil yang latar belakang sosialnya membantu mereka untuk peranan barunya ini. Tetapi ingatlah, bahwa perjuangan ideologis antara titik pandangan revolusioner dan konservatif hanya merupakan satu ceerminan dari perjuangan riil yang sedang berlangsung.
Proses yang terdahulu menggambarkan kelas proletar dalam masyarakat kapitalis, tetapi proses perjuangan kelas yang umumnya sama itu juga terjadi pada perjuangan revolusioner kaum borjuis melawan sistem sosial tradisional yang didominasi kelompok aristokrat. Dalam melawan sistem feodal kuno, kelas borjuis itu memperlihatkan proses umum yang sama yang berhubungan dengan peningkatan komunikasi, bertambahnya kesadaran kelas, organisasi politik, dan perkembangan suatu ideologi pendukung. Namun perbedaan yang penting adalah bahwa kelas borjuis mewakili kepentingannya yang khusus, sedangkan kelas proletar, dalam pandangan utopis Marx, bertujuan untuk mewakili umat manusia seluruhnya.
Perjuangan Kelas dan Analisa Dialektik tentang Perubahan Sosial
Jelas, tidak semua pemberontakan dari kelas tertindas mengarah satu revolusi yang berhasil atau reorganisasi masyarakat secara total. Apa yang menentukan berhasil-tidaknya suatu kelas dalam mengubah masyarakat sesuai dengan kepentingannya yang dinyatakan secara tegas? Jawaban Marx atas pertanyaan ini terletak pada perspektifnya mengenai perubahan sejarah secara menyeluruh. Perlu diingat bahwa perubahan-perubahan dalam alat produksi (seperti teknologi baru) mengakibatkan ketidakseimbangan antara kekuatan-kekuatan materil ini dan hubungan sosial dalam produksi (termasuk hubungan pemilikan). Hubungan sosial yang ada dalam produksi akhirnya menjadi hambatan bagi perkembangan kekuatan-kekuatan produktif dalam masyarakat untuk selanjutnaya. Kelas yang kepentingannya memperoleh kemajuan karena perkembangan-perkembangan tertentu, yang terjadi dalam kekuatan-kekuatan produksi, dapat memainkan peranan yang menentukan dalam menghasilkan perubahan masyarakat secara revolusioner. Karena itu, kelompok borjuis berhasil dalam perjuangannya melawan sistem aristokrat feodal, dan karena itulah maka kelas proletar akhirnya akan berontak melawan kaum borjuis. Namun dalam kedua hal itu, kelas revolusioner berasal dari dalam kandungan strruktur itu, yang akhirnya diubah.
Ironi dialektik ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa di masa awal perubahan borjuis, proletariat yang sedang muncul membantu kelompok borjuis dalam perjuangannya melawan aristokrasi. Dengan menggerakkan kaum proletar dengan cara ini sebagai kekuatan politik, kaum borjuis tanpa disadari mempersiapkan kubur untuk kehancurannya sendiri. Bagaimanapun juga, keberhasilan suatu kelas yang tertindas dalam menggerakkan aksi politik revolusioner untuk meningkatkan kepentingannya, bergantung pada perkembangan kekuatan-kekuatan produksi materil yang sesuai. Tingkat perkembangan kekuatan-kekuatan materil ini menentukan apakah kelas revolusioner akan menjadi katalisator untuk menghasilkan tahap sejarah berikutnya dalam perkembangan masyarakat, atau apakah akan hanya merupakan satu pemberontakan yang gagal saja. Singkatnya, satu kelas revolusioner berhasil kalau dia mampu menghubungkan kepentingan kelasnya sendiri dengan tuntutan sosial masyarakat sebagai keseluruhan dalam memasuki tahap sejarah berikutnya.
Cara analisa dialektik merupakan inti model bagaimana konflik kelas mengakibatkan perubahan sosial. Umumnya analisa dialektik meliputi suatu pandangan tentang masyarakat yang terdiri dari kekuatan-kekuatan yang berlawanan yang sewaktu-waktu menjadi seimbang. Analisa dialektik peka terhadap kontradiksi internal dalam masyarakat; memecahkan kontradiksi dengan analisa dialektik itu mempercepat munculnya tahap baru dalam sejarah. Dalam pandangan Marx, kontradiksi yang paling penting adalah antara kekuatan-kekuatan produksi materil dan hubungan-hubungan produksi, dan antara kepentingan-kepentingan kelas yang berbeda. Karena kontradiksi-kontradiksi inilah, setiap tahap sejarah dalam perkembangan masyarakat dapat dilihat sebagai tahap yang mempersiapkan jalan untuk kehancuran akhirnya sendiri, dengan masing-masing tahap baru yang menolak tahap sebeelumnya di mana secara paradoksal memasuki awalnya.
Perkembangan tahap sejarah tertentu bergantung pada munculnya kekuatan-kekuatan yang akhirnya tidak dapat tertampung dalam struktur di mana mereka muncul. Karena kekuatan-kekuatan sosial ini berkembang, mereka akhirnya meledak keluar dari struktur di mana mereka muncul pada mulanya; dalam proses itu, kekukatan-kekuatan sosial itu mengubah struktur itu menjadi struktur baru secara radikal yang terlihat dalam tahap sejarah berikutnya. Kelas-kelas sosial yang memperlihatkan kekuatan-kekuatan baru yang muncul, ditentukan secara historis untuk berhasil dalam mengubah struktur yang ada begitu mereka menyatakan dengan tegas kepentingan kelas mereka.
Namun terak sejarah yang bersifat dialektik itu tidak terlepas dari kemauan atau usaha manusia. Max tidak mengemukakan suatu pandangan sejarah di mana individu hanya bersikap pasif belaka. Manusialah yang menciptakan sejarahnya sendiri, meskipun kegiatan kreatifnya ditentukan dan terikat oleh lingkungan materil dan sosial yang ada. Meskipun orang membuat sejarahnya sendiri, ia tidak dapat membuat sesuka hatinya. Marx berulang kali mempertahankan pendiriannya terhadap masalah ini dalam pertentangannya melawan sosialis utopis yang mengasumsikan bahwa mereka secara praktis dapat merancangkan tipe masyarakat apa saja yang dipilihnya, tanpa memperthatikan kondisi materil dan kondisi sosial.
Karl Marx sendiri secara pasti memprlihatkan keengganannya untuk percaya pada kekukatan dialektis impersonal dalam sejarah yang melahirkan jenis perubahan sosial seperti yang dibayangkannya. Marx adalah seorang yang aktif, dan meskipun tulisan analitisnya mengemukakan proses-proses sejarah umumnya berkembang menurut dinamikanya sendiri secara impersonal, tulisan-tulisan politiknya seperti The Communist Manifesto benar-benar merupakan satu ajakan untuk mengangkat senjata. Khususnya dia mendesak kelas buruh untuk mempergunakan momen yang tepat dalam sejarah yang ditimbulkan oleh munculnya krisis ekonomi, untuk mengubah masyarakat melalui kegiatan revolusioner mereka sendiri.
Munculnya krisis ekonomi dalam sistem kapitalis dipergunakan Marx untuk menjelaskan bahwa kontradiksi-kontradiksi internal dalam kapitalisme akan mencapai puncak gawatnya dan bahwa sudah tiba waktunya yang tepat bagi kaum proletar untuk melancarkan suatu revolusi yang berhasil. Sebaliknya selama masa-masa jaya, Marx merasa bahwa sistem kapitalis benar-benar memiliki potensi untuk terus berkembang dan karena itu tidak dapat dihancurkan segera. Dalam keadaan tidak adanya kemungkinan-kemungkinan yang realistis untuk suatu revolusi yang berhasil, kegiatan politik dapat mengambil bentuk untuk mengorganisasi kelas pekerja.
Kritik terhadap Masyarakat Kapitalis
Meskipun pendekatan teoritis Marx keseluruhannya dapat diterapkan pada tahap sejarah apa pun, perhatian utamanya adalah pada tahap masyarakat kapitalis—perkembangannya sejak semula di akhir masa feodal, ketegangan-ketegangan dan kontradiksi-kontradiksi internalnya, dan akhirnya bubar dan berubah menjadi masyarakat komunis yang akan datang melalui kegiatan revolusioner kelas proletar. Banyak ide pokok yang dibutuhkan untuk satu analisa Marxis tentang masyarakat kapitalis sudah didiskusikan. Bagian ini hanya meringkas beberapa ide pokoknya dan menunjukkan konsep-konsep tambahan serta ide-ide yang dikembangka terutama dalam Das Capital yang dibutuhkan untuk suatu kritik Marxis yang menyeluruh.
Maksud Marx yang dituangnya dalam Das Capital adalah untuk mengungkapkan dinamika-dinamika yang mendasar dalam sistem kapitalis sebagai sistem yang bekerja secara aktual, yang berlawanan dengan versi yang diberikan oleh para ahli ekonomi politik yang bersifat naïf. Dia menerima dinamika-dinamika sistem itu yang berpusat sekitar produksi komoditi dan akumulasi modal. Produksi komoditi untuk pasar dan produksi barang-barang modal untuk dipergunakan sebagai alat produksi selanjutnya, keduanya itu mencakup tenaga kerja manusia.
Seperti banyak ahli ekonomi politik di zamannya, Marx menerima teori nilai tenaga kerja. Menurut teori ini, nilai pasar dari suatu komoditi ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang menghasilkan produksi itu. Nilai ini merupakan faktor utama dalam menentukan harga komoditi itu. Jadi kalau tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi satu lampu meja, misalnya, sama dengan tenaga kerja yang diperlukan untuk memproduksi sepasang sepatu, maka dua komoditi ini harus dijual dengan harga sama. Dalam kedua kasus itu, tenaga kerja total yang terlibat mencakup tanaga kerja yang dipergunakan dalam mengerjakan benda-benda itu tadi secara langsung, tanaga kerja yang ikut dalam pengerjaan setiap barang-barang modal (misalnya mesin) yang dipergunakan dalam produksi itu, dan juga tenaga kerja ahli atau insinyur yang mengembangkan teknik-teknik untuk memproses kulit binatang menjadi kulit halus dan yang menggunakan kekuatan llistrik untuk menghasilkan penerangan. Mungkin ada faktor-faktor lainnya yang mencegah komoditi itu untuk dijual dengan nilai yang sebenarnya, tapi kecenderungan alamiahnya adalah bahwa untuk nilai tukarnya dalam pasar ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang diwakilkannya.
1. Produksi Nilai “Surplus” dan Eksploitasi Tenaga Kerja
Dalam pandangannya yang idealistis mengenai sistem pasar, para ahli ekonomi politik seperti Smith dan Richardo sudah mengemukakan bahwa transaksi ekonomi yang terjadi di pasar, menguntungkan semua pihak; kalau tidak, individu tidak mau terlibat di dalamnya. Jadi misalnya, kalau seorang petani mempunyai surplus dendeng dan yang lainnya surplus telur, maka jelas keduanya mengambil keuntungan dari tukar-menukar kedua surplus tersebut. Keuntungan itu berasal dari kenyataan bahwa sesudah tukar-menukar terjadi, kedua pihak memperoleh sesuatu untuk dimakan yang tadinya tidak mereka miliki.
Tetapi pertukaran seperti itu berbeda dari jenis pertukaran yang terjadi dalam system pasar yang bersifat impersonal, di mana komoditi ditukar dengan uang, atau uang ditukar dengan komoditi. Perbedaan pertukaran ini terletak dalam distingsi Marx antara “nilai pakai” dan “nilai tukar”. Keuntungan timbal balik yang diterima oleh pasangan penukar dari suatu transaksi paling jelas dalam hubungannya dengan pertukaran nilai pakai. Lagi pula, syarat-syarat pertukaran seperti itu cenderung dirancang atas dasar tujuan tertentu yang ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan dan sumber-sumber tertentu dari pasangan penukar itu. Sebaliknya, nilai-nilai tukar ditentukan tidak atas dasar tujuan tertentu seperti ini, melainkan atas dasar jumlah tenaga kerja yang terkandung di dalamnya. Perbedaan antara nilai pakai dan nilai tukar dapat segera dimengerti oleh seseorang yang mengendarai sebuah mobil tua yang harganya hanya sebagian kecil dari harga mobil baru di pasar (nilai tukar), tetapi yang melayani pemiliknya sebagai satu alat transportasi terpercaya (nilai pakai) yang tidak dapat diganti tanpa uang pembelian dalam jumlah besar melebihi nilai pasar yang selayaknya untuk mobil tua itu.
Pembedaan antara nilai tukar dan nilai pakai dapat dilihat sebagai sesuatu yang rawan, khususnya dalam transaksi yang meliputi jual beli tenaga kerja. Buruh dapat dipandang sebagai sumber kedua nilai tukar dan nilai pakai. Sebagai sumber nilai pakai, buruh merupakan sumber kegiatan yang dipakai untuk produksi suatu barang tertentu untuk digunakan. Sebagai sumber nilai tukar, buruh dilihat sebagai masukan umum untuk proses produksi komoditi-komoditi yang dihasilkan tidak untuk kegunaan pribadi buruh itu sendiri ataupaun untuk kegunaan majikan, melainkan untuk dijual dalam sistem pasar yang bersifat impersonal, untuk ditukarkan dengan uang. Meskipun uang merupakan alat tukar yang umum digunakan untuk mempermudah pertukaran komoditi pasar, nilai keuangannya itu sebenarnya mencerminkan jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksikan komoditi itu.
Seperti sudah dilihat sebelumnya, buruh itu sendiri dilihat dalam system kapitalis sebagai komoditi untuk dijual-belikan dalam pasar impersonal, seperti setiap kkomoditi lainnya. Namun, buruh mampu untuk memproduksikan nilai tukar lebih banyak daripada yang diminta untuk mempertahankan nilai tukarnya itu. Artinya, seorang pekerja mampu memproduksi jumlah komoditi dengan nilai tukar yang jauh lebih besar daripada nilai tukar makanan, pakaian, perumahan, dan lain-lain yang perlu untuk mempertahankan hidup dan untuk memperoleh tenaga kerja yang lebih banyak lagi. Tambahan atau kelebihan dari persyarakatan kelangsungan hidup buruh dan pemulihan tenaganya kembali, merupakan “nilai surplus” (atau nilai lebih); dan pemahanan mengenai agaimana hal itu terjadi, sangat penting untuk mengangkap teori Marx mengenai ekspoitasi kapitalis.
Sebagai contoh, katakanlah bahwa seorang pekerja dapat memproduksikan dalam enam jam setiap hari komoditi yang cukup untuk memperoleh yang yang perlu guna mempertahankan hidupnya sendiri beserta keluarganya; tetapi lamanya hari kerja ditetapkan, katakanlah dua belas jam sehari. Nilai komoditi-komoditi yang dihasilkan selama enam jam yang kedua itu menjadi nilai surplus. Nilai ini disadari apabila majikan kapitalis itu menjual komoditi itu di pasar. Uang yang diperoleh dapat dipergunakan oleh si majikan itu untuk membeli lebih banyak bahan mentah, misalnya, untuk memperluas kemampuan produksi dari perusahaannya, ataupun untuk konsumsi pribadinya. Jadi nilai surplus itu dirampas oleh si majikan kapitalis itu. Sebagai hasilnya, pekerja terasing dari hasi produksinya sendiri. Mereka mengkonfrontasikan produk tenaganya itu sendiri sebagai komoditi obyektif dan terasing di dalam pasar yang bersifat impersonal itu yang tunduk pada hokum-hukum yang berlaku umum dalam pertukaran di luar jangkauan pemahaman mereka, apalagi menguasainya.
Tahap sejarah kapitalis dibedakan dari tahap-tahap sebelumya antara lain karena perkembangan yang pesat dari kekuatan-kekuatan produksinya. Produksi mesin secara besar-besaran menggantikan system peroduksi kerja tangan, dan hal ini menyebabkan bertambahnya spesialisasi dalam pembagian kerja serta perubahan-perubahan kualitatif dalam sifat kerja produktif itu. Pekerja menjadi benar-benar perangkat mesin, tunduk pada disiplin produksi mesin yang bersifat kaku daripada menyempurnakan atau memuaskan dirinya dengan bekerja.
Juga investasi modal besar yang diperlukan untuk produksi mesin berarti bahwa sebagian besar modal harus dikumpulkan untuk membiayai suatu perusahaan produktif. Perampasan nilai surplus itu tentu merupakan modal, tetapi jelas makin sedikit orang akan ada dalam posisi memiliki atau mengontrol alat produksi yang penting-penting. Pengrajin kecil merasa dirinya tidak mampu untuk berhasil dalam persaingan, dengan alat-alatnya yang serba kecil, melawan cara produksi mesin kapitalis. Sebagai hasilnya juga mereka mundur ke posisi harus menjual tenaga kerja mereka kepada kaum kapitalis itu. Secara bertahap, cara produksi kapitalis menggantikan semua cara produksi lainnya.
Alasan utama bahwa kapitalis bergairah untuk menanamkan modalnya dalam mesin yang memperbesar kemampuan produksinya adalah keinginan untuk memperoleh keuntungan lebih daripada para saingannya. Kemampuan produksi yang bertambah yang diberikan oleh mesin itu berarti bahwa lebih banyak komoditi itu dihasilkan untuk dijual di pasar, dan berkurangnya permintaan akan tenaga kerja yang disebabkan oleh mesin yang hemat buruh itu berarti bahwa ongkos buruh perkomoditi berkurang. Tetapi mesin tidak dapat menghasilkan nilai; hanya tenaga kerja manusialah yang menghasilkan nilai. Tentu tenaga kerja manusia termasuk dalam produksi mesin itu, yang digunakan dalam kegiatan produksi selanjutnya, dan kapitalis harus membayar tenaga kerja ini dalam harga yang sudah diinvestasikan dalam mesin itu. Nilai kerja yang terwujud itu lalu secara perlahan-lahan hilang dalam komoditi yang dihasilkan oleh mesin itu; akhirnya, mesin akan harus diganti (atau dengan kata lain, nilainya akan habis). Walaupun begitu, dalam jangka pendek seorang kapitalis dapat memperbesar keuntungan dengan memperluas produksi melalui penggunaan mesin-mesin baru yang hemat buruh.
2. Ekspansi Kapitalis dan Krisis Ekonomi
Penggunaan mesin baru yang hemat buruh merusakkan keseimbangkan antara kemampuan produktif dan permintaan, dan karena itu mempercepat krisis ekonomi pada masa tertentu dalam sistem kapitalis itu. Khususnya, karena mesin hemat buruh dipakai, sebagaian besar kelompok buruh harus keluar dari pekerjaannya, walaupun sementara itu kapasitas produksi diperbesar. Namun pekerja yang menganggur tidak mampu untuk membeli komoditi yang dihasilkan dalam jumlah yang semakin besar, dan tanpa pasaran untuk produk-produknya keuntungan kapitalis akan terancam. Tanggapan kapitalis terhadap Ancaman ini adalah memperpanjang jam kerja supaya menarik lebih banyak nilai surplus dari para buruh. Tetapi sepinya pasar-pasar dibandingkan dengan kapasitas produksi berarti lebilh banyak pekerja yang akan harus diberhentikan, dan ini menambah pengaruh tekanan di pasaran. Juga, dengan tawaran akan tenaga kerja yang melampaui permintaan akan tenaga buruh, upah dikurangi sampai ke tingkat yang lebih rendah; karena itu bertambahnya kemelaratan kelas pekerja dan merosotnya pasaran komoditi menjadi berkepanjangan.
Singkatnya, dalam perjuangan kompetitifnya untuk memperoleh keuntungan, kaum kapitalis menggunakan mesin-mesin baru yang hemat buruh yang memperbesar kapasitas produksi; hal ini merusakkan keseimbangan antara kapasitas produksi dan permintaan, dan hasilnya berupa satu spiral menurun, dengan permintaan pasar berkurang (dihubungkan dengan kapasitas produksi) yang mengakibatkan berkurangnya keuntungan, berkurangnya investasi, berkurangnya kesempatan kerja, yang mengakibatkan berkurang terusnya permintaan di pasaran, dan seterusnya. Parahnya keadaan kapitalisme di masa krisis ekonomi periodic ini terletak dalam kecenderungannya untuk memperbesar kapasitas produksi secara berlebih-lebihan; kecenderungan ini merupakan akibat dari kompetisi di kalangan kapitalis untuk memperbesr keuntungan.
Karena spiral ini terus berkembang menurun, akhirnya terciptalah kondisi yang perlu untuk kehancurannya sendiri. Antara lain misalnya, sesudah terjadi periode kemandegan berupa tidak dimafaatkannya alat produksi, maka kelebihan komoditi pelan-opelan berkurang. Juga perpanjangan jam kerja dan berkurangnya upah buruh, meningkatkan sejumlah nilai yang dihasilkan oleh buruh yang dapat dirampas oleh kapitalis sebagai nilai surplus dan digunakan untuk mempertahankan perusahaannya selama krisis itu. Tetapi tidak semua kapitalis dapat mempertahankan perusahaannya selama krisis ekonomi itu. Perusahaan-perusahaan kapitalis yang tidak berhasil itu akan dibeli oleh kapitalis yang lebih besar.
Akibatnya adalah kecenderungan untuk memusatkan dan menyatukan modal di kalangan kapitalis yang makin lama makin sedikit itu. Perusahaan mereka berkembang menjadi sangat besar, dan perusahaan-perusahaan lainnya menjadi menjadi tidak berarti kagi. Ramalan ini lahir dari kenyataan bahwa dalam masyarakat kita sistem ekonomi itu didominasi oleh beberapa ratus perusahaan besar multinasional yang pertumbuhannya memperkecil peranan wiraswasta kapitalis kecil.
Kontradiksi dasar dalam struktur masyarakat kapitalis, menurut Marx, sudah mencapai puncaknya dalam krisis ekonomi; dengan krisis itu sistem kapitalis pasti akan menderita. Kaum kapitalis bersaing satu sama lain untuk memperoleh keuntungan; kelebihan produksi yang dihasilkannya merusakkan dasar untuk memperoleh keuntungan, dan dalam memecahkan konflik ini kapitalis-kapitalis kecil dibinasakan. Kaum buruh bersaingan satu sama lain demi pekerjaan; hasilnya adalah bahwa upah ditekan, kesengsaraan kolektif kelas pekerja meningkat, dan solidaritas kelasnya yang potensial menjadi kabur. Pada tingkat yang lebih abstrak, ada pertentangan antara buruh dan produk kerjanya yang mengkonfrontasikan mereka sebagai benda-benda asing dalam pasar yang bersifat impersonal dan bahwa mereka mungkin juga tidak mampu membeli sesuatu selama krisis itu. Ada juga pertentangan antara nilai pakai dan nilai tukar, di mana kegiatan manusia didominasi oleh tuntutan untuk menghasilkan nilai tukar. Kontradiksi-kontradiksi itu menambah konflik kepentingan yang jelas antara majikan kapitalis dan buruh penerima upah. Pemecahan yang terakhir dari semua kontradiksi ini akan menuntut perubahan struktur masyarakat kapitalis, beserta pembagian kerja, akumulasi modal milik pribadi, dan hilangnya antagonisme kelas yang dihasilkannya.
Marx tidak menyajikan suatu perencanaan yang terperinci mengenai masyarakat post-kapitalis itu; tetapi dia membayuangkan suatu masyarakat di mana keuntungan dalam kapasitas produksi yang dihasilkan oleh kapitalisme akan dimiliki secara kolektif, daripada secara pribadi; hal itu akan membebaskan individu dari keharusan menggunakan semua waktunya untuk bekerja hanya untuk mempertahankan hidup, dan memungkinkan mereka untuk lebih mengembangkan kemampuan-kemampuan mereka sebagai manusia. Munculnya krisis ekonomi mendorong masyarakat kapitalis itu untuk harus berubah, dengan mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi yang mendasar, yang membuat ilusi-ilusi ideologis yang mengaburkan kontradiksi-kontradiksi ini menjadi lebih sulit untuk dipertahankan. Dalam situasi demikian itu kemungkinan-kemungkinan ini diimbangi oleh kompetisi antara keum buruh karena pekerjaan yang langka dan upah yang meningkat. Mengatasi persaingan ini dan mengembangkan kesadaran kelas menuntut bahwa kaum buruh harus senantiasa mendapat penerangan mengenai proses sejarah di mana mereka terlibat. Sebagai seorang aktivis Marx memandangnya sebagai salah satu dari peranan utamanya.
VII. KRITIK TERHADAP MARX
Kritik Marx terhadap masyarakat kapitalis dan ramalannya mengenai perkembangan masa depannya menjadi sasaran banyak kritik. Salah satu kritik yang tidak asing lagi adalah reaksi terhadap Marxisme sebagai satu ideologi politik, bukan sebagai teori sosiologi atau teori ekonomi yang obyektif. Namun penggunaan perspektif Marxis sebagai ideologi politik dalam negara-negara komunis di abad kedua puluh merupakan penyimpangan dan terlampau menyederhanakan teori Marx. Karena itu, kecaman-kecaman yang dilontarkan ke ideologi Marxis seperti yang dicanangkan oleh pemimpin-pemimpin politik masa kini untuk mendukung kebijaksaan ekonomi, politik, dan kebijaksanaan internasional dapat merupakan kecaman yang tepat terhadap teori Marxis dilihat dalam keseluruhannya dan dapat juga tidak. Marx sendiri pernah menyangkal penggunaan ideologi yang menggunakan teorinya, dengan menegaskan bahwa dia bukan seorang Marxis. Di sini kita akan melihat sepintas lalu beberapa kecaman yang dilontarkan terhadap Marx serta argumen-argumen sanggahan.
Kecaman utama adalah bahwa Marx tidak cukup melihat ke depan akan besarnya kenaikan dalam kapasitas produksi yang terus dihasilkan oleh perkembangan industri. Kenaikan ini berarti bahwa sejumlah jam kerja tertentu menghasilkan jauh lebih banyak nilai dalam suatu sistem industri yang sangat berkembang, daripada yang dihasilkan dalam sistem industri yang perkembangannya sangat minim. Akibatnya, ada kemungkinan untuk meningkatkan upah buruh jauh di atas tingkat yang mungkin dirasakan Marx. Singkatnya, ramalan mengenai kondisi ekonomi kelas proletar yang semakin tertekan itu nampaknya tidak terjadi, sekapilun menurut pandangannya tingkat penindasan itu harus dilihat secara relatif dan bukan secara mutlak.
Dalam masyarakat Amerika, produktivitas buruh yang semakin meningkat itu, dan kenaikan upahnya berarti bahwa anggota-anggotanya kelas proletar tidak harus terpaksa atau dipaksa untuk menghancurkan struktur sistem kapitalis yang mendasar dengan maksud untuk menuntut kepentingan kelasnya. Organisasi sosial dan politik kaum buruh dalam serikat-serikat buruh dan partai-partai politik jelas mencerminkan adanya pilihan lain daripada perjuangan revolusi untuk menuntut kepentingan kelas. Singkatnya, serikat-serikat buruh sudah mampu untuk memperjuangkan kenaikan upah serta kondisi kerja yang lebih baik dalam konteks struktur kapitalis, dan secara relatif mereka berhasil, sekurang-kurangnya untuk masyarakat Amerika. Sebagai hasilnya, serikat-serikat kerja cenderung untuk kurang radikal daripada yang dibayangkan Marx. Sangat meragukan bahwa Marx dapat membayangkan tingkat patriotisme nasional yang tinggi dari pemimpin-pemimpin dan anggota-anggota serikat buruh di Amerika dalam mendukung suatu sistem politik yang berhubungan dengan tahap perkembangan kapitalis.
Juga ada tuduhan bahwa Marx gagal melihat pertumbuhan suatu kelas menengah yang besar yang secara politik dominan. Perkembangan seperti itu mematahkan argumennya bahwa karena kapitalisme berkembang, maka struktur sosialnya semakin lama semakin terbagi ke dalam dua kelas yang saling bermusuhan: pemilik alat produksi kapitalis dan buruh proletar. Sebenarnya Marx menyinggung pertumbuhan kelas menengah yang berada di antara kapitalis dan buruh, tetapi dia tidak mengembangkan idenya ini secara sistematis. Tekanannya yang menyeluruh adalah pada kecenderungan untuk hubungan-hubungan kelas yang disederhanakannya dalam suatu sistem dua kelas begitu sistem kapitalis itu berkembang.
Pertumbuhan kelas menengah sebagiannya dihubungkan dengan naiknya upah buruh seperti disinggung di depan. Juga berhubungan dengan perubahan-perubahan dalam sifat pekerjaan yang disebabkan oleh perkembangan teknologi yang terus-menerus. Karena otomatisasi ditambahkan pada mekanisasi dan karena teknologi sudah menjadi semakin kompleks dalam banyak hal lainnya, banyak bentuk pekerjaan industri sudah kurang menindas lagi.
Penilaiannya Marx kemudian mengenai buruh yang semakin rendah martabatnya, pada dasarnya mencerminkan penilaian subyektifnya sendiri mengenai hal itu dan bukan penilaian yang diberikan oleh pekerja-pekerja itu sendiri. Dalam penilaian ini Marx benar-benar mengungkapkan sikap borjuisnya yang agak konservatif. Dia mengasumsikan bahwa pekerjaan industri, atau pekerjaan yang dibutuhkan sekedar untuk mempertahankan hidup secara fisik, tidak dapat memberi kepuasan atau mengembangkan diri. Penilaian ini berlaku sebagai satu penilaian subyektif yang mencerminkan keinginan Marx sendiri, namun kita harus sadar bahwa itu adalah penilaiannya, bukan penilaian kaum buruh itu sendiri. Pekerjaan yang mungkin dianggap merendahkan martabat bagi seseorang, bagi yang lain mungkin memuaskan. Bagaimanapun juga pelbagai perubahan dalam situasi kelas buruh mempunyai arti bahwa pekerja-pekerja itu, bukan karena terpaksa masuk dalam situasi yang semakin tidak menentu karena kapitalisme berkembang, melainkan benar-benar mampu untuk memperoleh status kelas menengah menurut pola konsumsi dan gaya hidupnya.
Juga pemilikan alat produksi yang menyebar luas melalui investasi berupa saham-saham, tidak diharapkan Marx dan merupakan satu alternatif dari ramalannya mengenai pemusatan modal yang semakin kecil jumlahnya. Kaum Marxis tentunya dapat langsung menentang bahwa pemilikan yang sangat tersebar itu tidak sama dengan penguasaan kolektif dan bahwa pembagian saham yang menguasai sebagian besar perusahaan-perusahaan terus saja mempunyai bentuk yang terpusat dan terkumpul.
Secara lebih umum, kritik-kritik terhadap interpretasi Marxis mengenai masyarakat kapitalis mengumakakan bahwa Marx meremehkan fleksibilitas dan kemampuan menyesuaikan diri dari masyarakat kapitalis itu dalam menyelesaikan krisis, serta kemampuannya untuk bertumbuh dan berkembang seterusnya dalam jangka panjang. Sebenarnya Marx berubah dalam penilainnya mengenai potensi-potensi yang terdapat dalam kapitalisme yang tetap berkembang sebelum keruntuhan terakhirnya. Dalam Outline of a Critiue of Political Economy yang ditulis tahun 1859, nampaknya dia mengasumsikan bahwa sistem kapitalis itu akan bertahan utnuk beberapa waktu sebelum habisnya kemungkinan-kemungkinan untuk perkembangannya, khususnya dalam melihat kapasitas produksi yang semakin bertambah yang didorongnya. Di lan pihak, selama masa krisis ekonomi, Marx mengasumsikan bahwa tahap itu hampir membentuk perubahan ke satu masyarakat post-kapitalis.
Bagaimanapun juga, seluruh penilaian Marx mengenai masyarakat kapitalis dan perkembangannya di masa datang tidak membayangkan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah untuk membagi kekayaan lebih merata, atau untuk mengimbangi akibat-akibat krisis ekonomi yang secara sosial bersifat merugikan. Dalam hubungan ini, Communist Manifesto Marx menuntut “pajak pendapatan progresif atau pajak menurut besarnya pendapatan”, yang antara lain merupakan sebagian dari program revolusionernya. Sistem kapitalis yang sangat berkembang sudah menerapkan kebijaksanaan ini tanpa perlu suatu revolusi, terutama karena mereka menerima perlunya pemerintah memainkan peranan yang aktif dalam mendistribusi pendapatan. Marx tidak mengantisipasi perkembangan ini.
Seorang Marxis sejati akan dapat memberikan argumen untuk melawan setiap kritik ini. Misalnya, upah kelas buruh yang semakin meningkat, pertumbuhan kelas menengah, tersebarnya pemilikan saham yang meluas, dan penggunaan kebijaksaan fiskal yang berimbang oleh pemerintah dan tanggung jawab terhadap kesejahteraan dasar, dapat dilihat sebagai strategi dengan mana kelas kapitalis dominan berusaha untuk menjamin kelangsungan ilusi di mana individu mengidentifikasi kepentingannya dengan mempertahankan sistem kapitalis. Strategi-strategi ini memperlemah potensi untuk berontak dan berevolusi serta membantu mempertahankan status-quo. Tambahan pula, kebijaksanaan-kebijaksanaan seperti ini perlu untuk melindungi dan memperluas pasaran komoditi di mana kaum kapitalis dapat mempertahankan dan meningkatkan keuntungan.
Selanjutnya konservatisme politik dari serikat-serikat buruh dapat dengan mudah dijelaskan sebagai akibat dari kepemimpinan yang dipilih oleh kelas kapitalis; karena hal ini mereka juga mengembangkan kepentingan dalam mempertahankan sistem sosial dan politik di mana mereka sudah mampu untuk memperoleh kekuasaan dan prestise yang berhubungan dengan posisinya. Akhirnya seorang Marxis mungkin mengemukakan bahwa kesejahteraan materil kelas buruh yang tidak terduga-duga itu serta kemakmuran menyeluruh yang terus-menerus dimiliki secara meluas di kalangan kelompok terbesar masyarakat kapitalis yang sudah matang itu, dimungkinkan oleh eksploitasi sumber-sumber materil dan tenaga kerja dari masyarakat yang kurang maju. Jadi konflik berpindah dari kelas kapitalis lawan kelas proletariat dalam masyarakat kapitalis, ke masyarakat kapitalis lawan masyarakat terbelakang.
Apakah Marx dan pengikut-pengikutnya atau pengkritik-pengkritik Marx memberikan interpretasi yang paling sahih mengenai dinamika-dinamika dasar dalam masyarakat kapitalis mungkin tidak dapat ditentukan atas dasar obyektif semata-mata. Sebaliknya, interpretasi mana yang paling terpercaya atau paling meyakinkan barangkali akan ditentukan sebagian besar atas dasar asumsi fundamental serta sikap-sikap yang mendasar dengan mana seseorang mendekati interpretasi yang lain. Diskusi kita tentang Marx memperlihatkan bahwa perpektif teoritisnya memberikan satu tipe yang merangsang pemahaman akan kenyataan sosial. Pemahaman ini tidak harus lebih “benar” daripada yang diberikan oleh perspektif teoritis lainnya. Kita sekarang mengulangi pokok-pokok penting dari perspektif teoritis Marx dan menghubungkannya dengan perkembangan teori-teori modern.
Ringkasan
Teori Marx sudah dipaparkan sebagai contoh utama suatu teori yang terutama berhubungan dengan tingkat struktur sosial tentang kenyataan sosial, dan yang menekankan saling ketergantungan yang tinggi antara struktur sosial dan kondisi materil di mana individu harus menyesuaikan dirinya supaya tetap hidup dan memenuhi pelbagai kebutuhannya. Tekanannya pada perlunya menyesuaikan diri dengan lingkungan materil dan pada langkanya sumber-sumber yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia, merupakan satu catatan yang penting mengenai realisme praktis dalam analisa teoritisnya.
Hubungan antara individu dan lingkungan materilnya dijembatani melalui struktur ekonomi masyarakat. Marx mungkin terlampau menekankan masalah pengaruh ekonomi yang menentukan sisterm sosio-budaya lainnya, tetapi pentingnya ekonomi itu sebagai dasar utama struktur sosial umumnya diakui saat ini, walaupun hubungan antara ekonomi dan dan institusi-institusi lainnya mungkin lebih bermacam-bermacam dan lebih rumit daripada yang diperhatikannya.
Struktur internal sisterm ekonomi itu terdidi dari kelas-kelas yang muncul dari perbedaan dalam kesempatan memiliki alat produksi serta ketidaksesuaian yang dihasilkannya dalam kepentingan ekonomi. Hubungan sosial antara kelas-kelas yang bertentangan itu ditandai oleh konflik sosial dan politik pada waktu-waktu tertentu yang mengakibatkan tekanan internal untuk perubahan. Penekenan pada kelas sosial sebagai kategori dasar struktur sosial, pada tidak meratanya sumber-sumber ekonomi pada kepentingan-kepentingan yang tidak berkesesuaian, pada konflik sebagai proses sosial yang paling menyeluruh, serta pada perubahan sosial yang lahir dari tekanan-tekanan kekuatan-kekuatan internal, merupakan elemen-elemen kunci dalam perspektif-perspektif masa kini, yang dilihat umumnya sebagai teori konflik. Alternatif-alternatif perspektif ini akan disajikan pada bab XI.
Tekanan Marx pada bagaimana ideologi dan aspek lainnya dalam kebudayaan memperkuat struktur sosial dan struktur ekonomi, dengan memberikan legitimasi pada kelompok-kelompok yang dominan, merupakan satu proposisi penting yang ditekankan dalam bidang sosiologi pengetahuan pada masa kini. Mannheim, misalnya seorang dari tokoh-tokoh penting dalam perkembangan sosiologi pengetahuan menekankan pendiriannya bahwa ideologi-ideologi dikembangkan dan digunakan untuk melindungi atau meningkatkan kepentingan pelbagai kelompok dalam masyarakat.
Juga pandangan Marx mengenai hubungan antara kegiatan manusia dan produk kegiatannya ini merupakan satu elemen penting dalam pendekatan masa kini, yang dikembangkan oleh Berger dan Luckmann, yang dikenal dengan perspektif “konstruksi sosial tentang kenyataan”. Marx, Berger, dan Luckmann mengemukakan bahwa walaupun individu menyatakan kodrat manusianya dalam kegiatan kreatifnya, hasil dari kegiatannya ini memiliki sifat kenyataan obyektif; individu harus menyesuaikan dirinya. Bagi Marx kenyataan obyektif ini diciptakan oleh mausia, lalu mengkonfrontasikan manusia yang menciptakannya itu, sebagai satu kenyataan yang asing yang membatasi dan mengikat tindakan selanjutnya dan kepadanya mereka menghamba. Teori alienasi Marx didasarkan pada pikiran ini. Pendekatan-pendekatan sosiologi masa kini yang berhubungan dengan sosiologi humanitas atau sosiologi kritis, banyak mengambil dari teori alienasi Marx dalam usaha mereka untuk menciptakan suatu perspektif sosiologi yang berpusat di sekitar kebutuhan dan kemampuan manusia, dan yang dapat digunakan untuk mengkritik struktur sosial yang merendahkan martabat manusia atau memperbudak manusia atau mencegah perkembangan mereka seutuhnya.
Marxisme dan pendekatan teoritis lainnya yang menekankan proses konflik umumnya dilihat sebagai bertentangan dengan teori fungsional. Dalam bab V akan kita lihat sumbangan dari salah seorang perintis utama dalam fungsionalisme, yakni Emile Durkheim. Tentang ini dapat kita catat bahwa pendekatan fungsional menekankan konsensus nilai dan keharmonisan daripada konflik dalam masyarakat. Namun asumsi dasar Marx mengenai saling ketergantungan antara pelbagai institusi dalam masyarakat juga ditekankan dalam fungsionalisme, seperti pandangannya mengenai pentingnya hasil tindakan yang tidak dimaksudkan yang sebenarnya bertentangan dengan hasil yang diharapkan. Satu contoh tentang ini dapat dilihat dalam pengaruh-pengaruh yang tidak diharapkan dari investasi kapitalis dalam permesinan yang dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan tetapi secara tidak disengaja mempercepat krisis ekonomi.
Dalam seluruh penilaian kita mengenai perspektif teoritis Marx, penting untuk mengingat bahwa Marx bukan seorang akademisi yang obyektif, melainkan sebagai seorang aktivis politik yang sangat terlibat. Karena inilah secara langsung dia mengalami konflik dengan struktur kekuasaan politik dan ada dalam situasi ekonomi yang tidak menentu. Pola karir dan gaya hidup yang berhubungan dengan itu, pasti iktu menentukan apa yang Marx lihat sebagai sifat utama yang penting dari kenyataan sosial itu. Dalam bab V kita beralih ke sumbangan teoritis dari seorang yang bertolak belakang dari satu “pandangan” yang berlainan tentang kenyataan sosial dan seperangkat asumsi dasr serta sikap-sikap yang berlainan, yang mengembangkan suatu perspektif teoritis yang sangat lain.
demisi yang obyektif, melainkan sebagai seorang aktivis politik yang sangat terlibat. Karena inilah secara langsung dia mengalami konflik dengan struktur kekuasaan politik dan ada dalam situasi ekonomi yang tidak menentu. Pola karir dan gaya hidup yang berhubungan dengan itu, pasti iktu menentukan apa yang Marx lihat sebagai sifat utama yang penting dari kenyataan sosial itu. Dalam bab V kita beralih ke sumbangan teoritis dari seorang yang bertolak belakang dari satu “pandangan” yang berlainan tentang kenyataan sosial dan seperangkat asumsi dasr serta sikap-sikap yang berlainan, yang mengembangkan suatu perspektif teoritis yang sangat lain.