KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz
Posted by DENBAGUS in TOKOH - TOKOH DUNIA
Pendobrak Pemikiran Tradisional di Kalangan NU
Sosoknya sangat bersahaja. Bicaranya tenang, lugas, tidak berpretensi mengajari. Padahal KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz sangat disegani. Pada 26 November 1999, KH Sahal dipercaya menjadi Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), mengetuai lembaga yang menentukan arah dan kebijaksanaan organisasi kemasyarakatan yang beranggotakan sekitar 30-an juta orang. KH Sahal yang sebelumnya selama 10 tahun memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, juga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI pada Juni 2000 sampai tahun 2005.
Di luar itu, KH Sahal adalah pemimpin Pondok Pesantren (Ponpes) Maslakul Huda sejak tahun 1963. Ponpes di Kajen Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, ini didirikan ayahnya, KH Mahfudz Salam, tahun 1910.
Sebagai pemimpin ponpes, KH Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional di kalangan NU yang mayoritas berasal dari kalangan akar rumput. Sikap demokratisnya menonjol dan dia mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi dan kesehatan.
Selain memiliki 500-an santri, Ponpes Maslakul Huda juga punya sekolah madrasah ibtidaiyah sampai madrasah aliyah dengan 2.500-an murid, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Arta Huda Abadi yang lima tahun lalu berdiri, koperasi, rumah sakit (RS) umum kelas C RS Islam Pati, memberi kredit tanpa bunga kelompok usaha mikro dengan dana bergulir, mengajar masyarakat membuat "asuransi" kesehatan dengan menabung setiap rumah tangga tiap bulan di kelompoknya, dan banyak lagi.
KH Sahal yang menikah dengan Dra Hj Nafisah Sahal dan berputra Abdul Ghofar Rozin (23), dilahirkan di Kajen, Pati, pada tanggal 17 Desember 1937. KH Sahal juga seorang intelektual yang ditunjukkan melalui tulisannya antara lain buku-buku Al Faroidlu Al Ajibah (1959), Intifakhu Al Wadajaini Fie Munadohorot Ulamai Al Hajain (1959), Faidhu Al Hijai (1962), Ensiklopedi Ijma' (1985), Pesantren Mencari Makna, Nuansa Fiqih Sosial, dan Kitab Usul Fiqih (berbahasa Arab), selain masih menulis kolom Dialog dengan Kiai Sahal di harian Duta Masyarakat yang isinya menjawab pertanyaan masyarakat.
KH Sahal sudah 10 tahun menjadi Rektor Institut Islam NU di Jepara. "Saya juga diminta S2 di IAIN Walisongo, tetapi tidak sanggup karena hari dan jamnya tidak cocok dengan jadwal saya," kata KH Sahal yang menurut keterangan seorang yang cukup dekat dengannya punya koleksi 1.800-an buku di rumahnya di Kajen.
BPR Arta Huda Abadi
Di pesantren ia punya lembaga khusus, Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, berdiri tahun 1977 sampai sekarang, yang menangani pengembangan masyarakat dari sisi menciptakan pendapatan, kesehatan, dan pendidikan.
Mula-mula membina perajin kerupuk yang di sana disebut kerupuk tayamum karena digoreng pakai pasir.
Hampir seluruh tetangga pesantrennya pada tahun 1977 itu bikin kerupuk. Modalnya Rp 5.000, itu pun sudah terlalu banyak. Ia beri pinjaman bergulir tak berbunga. Modalnya dari saldo kegiatan internal pesantren seperti kegiatan belajar-mengajar, dari SPP, sedikit demi sedikit dikumpulkan.
Ia jua memberikan kepada kelompok supaya ada kerja bersama, kerja kooperatif, karena mereka terlalu gurem. Mereka mencicil tiap minggu, setelah terkumpul Rp 5.000 diberikan kepada kelompok baru. Usaha mereka berkembang dan kemudian banyak yang merasa usaha itu terlalu kecil. Mereka pindah usaha. Karena usaha mereka semakin besar, perlu dana lebih banyak. Lalu ia mencoba membantu dengan mendirikan BPR Arta Huda Abadi pada tahun 1997.
Modal awalnya pada masa itu cukup Rp 50 juta, juga dikumpulkan dari dana pesantren sendiri yang merupakan pemegang saham terbesar, tetapi BPR juga melibatkan alumni pesantren yang berminat mengembangkan BPR ini.
Tahun 2002 asetnya sudah lebih dari Rp 10 milyar, dan terus berkembang. Sudah punya kas pembantu di Kota Juwana, Kota Pati, dan daerah perbatasan Jepara-Pati. Kantor pusatnya di Kajen, di dekat pesantren Maslakul Huda.
Pesantren juga punya koperasi yang sudah lima bulan mengembangkan Unit Simpan-Pinjam Syariah yang sistem simpan-pinjamnya bagi hasil. Di daerah sekitar Pati, ini adalah koperasi syariah pertama. Modalnya juga berbentuk saham milik pesantren, staf koperasi, dan alumni. Wartel pun sahamnya kami bagi-bagi, tidak cuma pesantren. Prinsipnya, rezeki itu jangan dipek (dihaki) sendiri.
Ketika ada program Jaring Pengaman Sosial saat krisis ekonomi tahun 1997-1998, ada bantuan beras dari Jepang. Pesantren Maslakul Huda termasuk yang kebagian jatah membagi beras untuk orang miskin. Ia terima, dengan syarat tidak mau hanya membagi. Bila hanya membagi akan membuat mereka jadi lebih tergantung.
Maka ia meminta mereka membentuk kelompok, tiap sepuluh keluarga jadi satu kelompok. Ada kira-kira 176 kelompok. Setiap keluarga dalam kelompok diminta menabung setiap hari, besarnya terserah kesepakatan anggota kelompok. Rata-rata per keluarga bisa menabung Rp 1.000 per hari. Itu tabungan milik mereka, mereka urus sendiri, dan setor sendiri ke BPR atas nama kelompok.
Setelah proyek selesai dalam tiga bulan, masing-masing kelompok rata-rata punya tabungan Rp 900.000. Ini lalu dipakai modal usaha kelompok. Jumlahnya ratusan kelompok, kebanyakan ibu-ibu.
Ketika pihak Jepang dilapori, mereka terkejut. Lalu mereka bertanya, apa keinginannya selanjutnya. Ia katakan, ingin mereka dibina sebagai kelompok usaha. Pihak Jepang bersedia membantu biaya pelatihan Rp 500.000 per kelompok. Pelatihan disesuaikan kebutuhan kelompok, tetapi rata-rata minta pelatihan pembukuan keuangan karena akan berhubungan dengan bank nantinya.
Selesai dilatih, pihak Jepang masih menambah bantuan Rp 500.000 per kelompok untuk modal. Jadi, tiap kelompok rata-rata punya Rp 1,4 juta, kalau dipakai untuk kulakan bayam uangnya sudah bisa bergulir.
Ada kelompok perkebunan, ada kelompok rambutan binjai. Di sana rambutan binjai tumbuh bagus dan sudah panen berkali-kali. Ada kelompok tani kacang tanah yang memasok ke Kacang Garuda karena kami punya kerja sama. Lalu ada kelompok tani singkong tepung tapioka.
Pesantren hanya memotivasi dan membimbing, tetapi untuk yang teknis pesantren memanggil ahlinya. Misalnya, untuk pengolahan limbah cair tapioka, mengundang Universitas Diponegoro.
Dalam membina petani tersebut, pesantren menggunakan pendekatan dari bawah. Ditelusuri apa kebutuhan dasar mereka dengan bertemu dengan tokoh masyarakat, dan mencari tahu apa kesulitan mereka. Lalu dicarikan solusi, kemudian didiskusikan dengan masyarakat. Pendekatannya begitu. Ia mau masyarakat berdiskusi terbuka, dan mereka juga menyampaikan pikirannya. Tidak cuma inggih-inggih.
Ia memang tidak hanya mengurusi pesantren. Tetapi juga sangat peduli kepada kepentingan masyarakat luas di luar pesantren. Menurutnya, hal itu aplikasi ajaran Islam bahwa manusia yang terbaik adalah yang banyak memberikan manfaat untuk orang lain. Selain itu, kegiatan semacam ini otomatis memberi laboratorium sosial bagi santri. Mereka langsung berinteraksi dengan masyarakat.
Sebenarnya pesantren dari dulu tidak pernah ada jarak dengan masyarakat, selalu menyatu, dalam bidang dakwah. Bidang dakwah ini selalu terfokus pada ritual. Bidang-bidang di luar ritual belum banyak disentuh. Bukankah harus ada keseimbangan antara ritual dan material? Cobalah bidang di luar ritual itu juga disentuh sebagai bagian dari aplikasi ajaran, dan karena kita dianjurkan untuk juga berikhtiar. Tidak hanya mengharapkan (bantuan), tangan di bawah. Lalu ia mencoba, ia kumpulkan teman-teman, dan mereka setuju.
Apa yang pertama-tama menyebabkan Kiai menaruh perhatian pada bidang ekonomi, karena tidak semua pesantren menyentuh bidang ini?
Karena saya tersentuh melihat tetangga saya yang semuanya fakir, desa saya tidak punya lahan pertanian. Banyak yang merupakan petani penggarap dan petani penyewa. Saya juga tidak punya tanah, istri saya menyewa atau menggarap tanah orang.
Awalnya banyak juga dipertentangkan teman-teman, mau dibawa ke mana pesantren ini kok mengurusi juga hal-hal di luar dakwah. Tetapi, setelah hasilnya seperti ini ya tidak ditanya-tanya lagi.
***
KH Sahal Mahfudz terpilih sebagai Ketua Rais Aam dalam Muktamar XXX NU di Lirboyo, Kediri, 26 November 1999. Ketika itu KH Sahal antara lain mengatakan, sejak awal berdirinya NU, warga NU yang merupakan bagian dari masyarakat madani berada pada kutub yang berseberangan dengan negara, dan KH Sahal mencoba mempertahankan tradisi tersebut. Saat itu, konteksnya adalah naiknya KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Juga sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI, KH Sahal mencoba mempertahankan kenetralan lembaga itu di tengah berbagai eforia reformasi.
***
Bisakah MUI tetap netral?
Dalam hal berfatwa dan berpolitik tetap netral, secara kelembagaan tetap netral. Caranya, jangan sampai memberikan pernyataan sebagai pendapat MUI bila memang tidak disepakati MUI. Tetapi, ada wartawan sengaja membuat kesalahan. Yang lucu lagi, ada koran yang menyebut Pak Din (Syamsuddin) sebagai Sekretaris MUI, padahal dia diwawancarai di Kantor Muhammadiyah dan ada bendera Muhammadiyahnya. Saya cek ke Pak Din, dijelaskan wawancara resmi sebagai orang Muhammadiyah, tetapi dikutip koran sebagai orang MUI. Jadi, kebebasan perslah penyebabnya. Hak jawab tidak laku lagi. Hak jawab itu diberi, tetapi tempatnya kecil di pojokan tidak kelihatan.
Tantangan terberat apa yang pernah dialami sebagai Ketua MUI?
Kasus Ambon. Ada kelompok keras, kelompok moderat, kelompok diam.... Saya mencoba mengklarifikasi mana yang berdampak nasional, berdampak politis. Meskipun MUI bukan lembaga politik, tetapi menghindari dampak yang bersifat politis, psikologi, kultural.
Saya dalam melihat dan menyelesaikan masalah selalu memiliki berbagai macam abstraksi, melihat dari berbagai sudut pandang.
Bukankah dampak keputusan MUI juga bersifat politis?
Bila menyangkut masalah politik, ya. Seperti ketika yang lalu ada yang menuntut ingin pergi ke Palestina. Saya berpendapat tidak, meskipun kami tetap membantu materi dan bantuan kesehatan.
Taruhlah, saya setuju, kita mengumpulkan setiap orang yang siap menjadi sukarelawan dikirim ke sana. Tetapi, bagaimana persoalan teknis seperti pembiayaan pergi ke sana, biaya hidup dan kondisi di sana. Apakah kita tidak mengirim orang untuk menjadi mayat?
Namun, bila bantuan dalam bentuk mengumpulkan dana lalu dikirim, saya setuju. Bantuan dikirim sampai ke perbatasan. Pak Din yang berangkat. Pendekatannya melihat antara manfaat dan mudaratnya.
Bagaimana melihat kelompok-kelompok garis keras ini?
Mestinya kita tahu, dan juga orang-orang Amerika mestinya tahu juga, bahwa kelompok-kelompok garis keras itu ada bukan sekarang saja, tetapi dari dulu. Sejak Indonesia merdeka sudah ada. DI/TII, Kahar Muzakkar, Kartosuwiryo, Republik Maluku Selatan. Masalah Aceh sudah ada sejak sebelum Orde Baru.
Kelompok-kelompok keras itu muncul karena merasa tidak terakomodasi kepentingannya oleh negara. Ini dimulai dengan adanya perbedaan mengenai Piagam Jakarta, yang kedua kali gagal di Konstituante. Lalu muncul di Bandung, gagal lagi dengan Dekrit. Ketidakpuasan itu tetap ada. Lalu zaman Orde Baru ada seragamisasi, semuanya sentralisasi.
Bagaimana dengan adanya keinginan baru-baru ini untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta?
Tidak perlu. Mayoritas penduduk adalah Muslim kan tidak berarti perlu piagam. Argumentasi itu kan malah ironis. Karena mayoritas sudah Muslim, maka mayoritas sudah akan melaksanakan syariat Islam sendiri-sendiri. Bila memang harus diatur pemerintah, yang kena aturan itu hanya orang Islam saja.
Perlukah pemerintah ikut campur dalam hal agama?
Tidak perlu. Pemerintah sebagai pengayom memang bertanggung jawab, berhak, dan berkewajiban membina, memberi fasilitas untuk semua agama, tetapi jangan intervensi terlalu jauh sebab itu hubungan manusia dengan Tuhan.
Alasannya begini, agama itu tidak berorientasi pada kekuasaan, tidak ingin agama lebih dominan dari agama, tetapi juga negara jangan lebih dominan dari agama, memakai agama sebagai justifikasi. Agama itu harus mandiri.
Dengan otonomi daerah, ada kecenderungan daerah-daerah ingin memiliki kekhasan lalu mengadopsi syariah Islam?
Bila daerah-daerah ingin menonjolkan suatu kekhasan, harus ada koridor, yaitu identitas bangsa. Jadi, yang pertama-tama bukan identitas daerah itu. Nah, kita ini berkali-kali gagal merumuskan apa itu identitas bangsa. Identitas ini belum pernah dirumuskan untuk bangsa yang sangat majemuk ini.
Bagaimana dengan Pancasila?
Namanya sila, itu bukan ciri, tetapi visi. Identitas artinya ciri intrinsik yang melekat pada sesuatu yang dicirikan. Identitas bangsa banyak dibicarakan orang, tetapi tidak banyak dikupas.
Bila identitas bangsa sudah ditetapkan, daerah boleh memiliki ciri khasnya dengan koridornya tetap identitas bangsa.
Hal lain, pada daerah yang mayoritasnya Muslim lalu ingin menerapkan ciri khas Islam, itu tidak mudah. Perlu persiapan panjang karena setelah syariat semuanya harus tunduk pada syariat Islam. Lalu, bagaimana dengan penduduk yang bukan Muslim? Untuk mereka pakai hukum apa? Bila ini tidak jelas, akan menimbulkan konflik, ada isolasi karena perbedaan agama. Ini tidak boleh, karena keragaman agama itu juga dibenarkan oleh Islam.
Kebelumsiapan itu ditandai banyak hal, misalnya di mana sih ada hakim, jaksa, dan polisi yang tahu benar tentang hukum-hukum Islam, hukum fiqih, dan pidana. Berapa tahun harus menyiapkan yang seperti itu? Belum lagi perangkat perundang-undangan.
Saya ini orang Muslim, masak tidak senang bila negaranya memakai syariat Islam, tetapi realitas harus kita perhitungkan. Saya tetap punya keinginan dan setuju syariat berlaku secara benar dan menyeluruh, holistik, tetapi jangan menimbulkan dampak sosial.
Bagaimana dengan globalisasi?
Itu keniscayaan, siapa bisa menolak? Globalisasi akan menimbulkan perubahan sikap hidup dan peri laku masyarakat. Sementara, di Indonesia sekarang yang menonjol konsumtivisme. Ini dampak iklan.
Dalam hal ini mental secara ekonomis harus ditanamkan. Mental ekonomis yang bagus itu seperti mental singkek, pedagang Cina yang ulet. Dia sama sekali tidak konsumtif melainkan hemat, dari nol, setelah kaya pun tidak menyombongkan kekayaannya, ulet.
Kita punya pengusaha yang seperti itu?
Tidak. Siapa contohnya? Pengusaha besar kita itu ya eksekutif muda yang gagah pakai dasi, mobilnya Mercy semua, enggak ingat lingkungan. Tidak pernah makan malam di rumah, tetapi di hotel-hotel. Lalu, Anda tanya, kalau begitu Pak Kiai beberapa kali ke sana? Ya, tetapi dibayari orang....
Mendapatkan kontrak bisnis kan tidak selalu seperti itu. Mereka lebih konsumtif. Ini yang menyedihkan dalam menghadapi globalisasi dan pasar terbuka AFTA.
Perubahan tidak bisa dihindari, bagaimana membuat yang terbaik?
Kembali lagi pada pendidikan manusia, tetapi kenyataannya Indonesia melarat. Pendidikan tidak pernah tuntas, pendidikan kita carut-marut. Sekarang memang banyak lulusan S2, S3, tetapi didapat dengan membeli. Kok ya tegel-tegel (tega)-nya makai (gelar itu).
Ada harapan?
Harapan saya cuma satu, pemerintah fokus dulu pada mengembalikan dan menguatkan komitmen kebangsaan. Kini orang tidak lagi berorientasi pada bangsa, tetapi pada kelompok. Sanggup tidak pemerintah mengembalikan komitmen kebangsaan ini? Disintegrasi juga karena komitmen kebangsaan sudah rapuh.
Belakangan banyak dilakukan reinterpretasi tafsir Al Quran yang bias jender seperti antara lain dilakukan Forum Kajian Kitab Kuning?
Istri saya ikut dalam penyusunan buku Wajah Baru Relasi Suami-Istri, Telaah Kitab "Uqud al-Lujjayn" (yang mengkritisi Kitab Kuning yang dipakai di pesantren).
Sejak dulu para kiai, NU, menaruh perhatian pada perkembangan pendidikan perempuan, sekolah-sekolah terbuka untuk santri putri. Juga ada Fatayat, Muslimat itu juga untuk mengembangkan potensi perempuan, tetapi tentu ada batasan kodrat yang tidak mungkin membuat perempuan dan laki-laki itu persis sama.
Yang banyak dikritisi dari para kiai adalah poligami?
Saya sendiri istrinya satu ha-ha-ha. Dalam Islam poligami itu boleh asal bisa berlaku adil. Kalau ditanya tentang teman-teman saya yang kiai, sepanjang yang saya tahu mereka adil. Misalnya nafkahnya sama, hari tinggal jumlahnya sama, itu yang saya lihat dari luar lho, di dalamnya, ya, saya tidak tahu.
Upaya reinterpretasi ayat-ayat Al Quran?
Sepanjang ayat itu termasuk yang bisa direinterpretasi boleh saja, karena ada ayat yang bisa direinterpretasi ada yang tidak bisa. *** (Tokoh Indonesia, Repro Kompas, Pewawancara: Ninuk Mardiana Pambudy)
KH Sahal Mahfudz:Hadirkan Fiqh Sebagai Etika
Jakarta, Kompas 19 Juni - Fiqih tidak harus dipahami dalam dimensi formal legalistik tetapi harus dibarengi dimensi etik, agar pengembangannya benar-benar sejalan dengan fungsinya.Fungsi ajaran syariat yang tertuang dalam fiqih adalah membimbing, sekaligus memberi solusi atas persoalan kehidupan praktis, baik bersifat individual maupun sosial.
"Dengan kata lain, fiqih harus dihadirkan sebagai etika soaial, bukan hukum positif negara. Inilah yang selama ini mendorong saya untuk mengembangkan fiqih yang bernuansa sosial, tidak hanya bicara soal halal-haram, yang kental dengan nuansa individual atau pun menghadirkan fiqih sebagai hukum positif negara," ujar KH Sahal Mahfudz, pada pidato penerimaan gelar doktor kehormatan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Rabu (18/6).
Hadir pada acara itu antara lain, Menteri Agama Said Agil Husien Almunawar, Menteri Pertanian Bungaran Saragih, dan Ketua Dewan Syura DPP PKB KH Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PB NU, dan KH Hasyim Muzadi.
Menurut Rais Aam PB NU ini, fiqih sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol, yaitu interpretasi teks-teks fiqih secara kontekstual, perubahan pola bermadzhab dari tekstual (madzhab qauli) ke madzhab metodologi (madzhab manhaji), verifikasi mendasar ajaran pokok dan cabang, fiqih dihadirkan sebagai etika sosial , dan pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.
"Fiqih sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syariat Islam," tegasnya.
Pemecahan problem sosial, kata Ketua Majelis Ulama Indonesia ini, merupakan upaya memenuhi tanggung jawab kaum mulimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum.
"Secara sederhana, kemaslahatan umum adalah kebutuhan nyata masyarakat dalam kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriahnya," katanya.
Pengembalian fiqih agar sesuai dengan prinsip etik, dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan maqasid al syariah ke dalam proses pengembangan kerangka teoritik fiqih. "Dalam konteks ini, berarti hikmah hukum harus diintegrasikan ke dalam illat (alasan) hukum, sehingga diperoleh suatu produk hukum yang bermuara pada kemaslahatan umum," katanya.
Tidak seperti agama Kristen yang didominasi wacana teologi, kata Sahal, fiqih justru berkembang pesat dan mendominasi kehidupan Islam. "Inilah yang kemudian memunculkan citra kehidupan masyarakat Islam itu sangat legalistik.
Karena itu, katanya "tidak salah jika kita ingin melihat prilaku budaya masyarakat Islam, fiqih merupakan jendela yang tepat".
Menurut Sahal, meski banyak ayat al-Qur'an tidak menjelaskan secara rinci tentang sesuatu, di masa Nabi Muhammad tidak banyak persoalan karena dia menjadi tafsir hidup. Namun setelah nabi wafat, tafsir hidup itu tidak ada lagi, sementara permasalahan sosial terus berkembang.
"Dengan demikian, kebutuhan paling mendesak adalah bagaimana permasalahan baru yang muncul dari daerah takulukan baru mendapatkan legalitas keagamaan," katanya.
Karena Islam lahir sebagai agama dan negara, kata KH Sahal, penyebaran Islam pada masa sesudah Nabi pun diwarnai dengan watak politik.
"Sangat wajar jika lebih banyak permasalahan sosial keagamaan yang bersifat praktis muncul ke permukaan daripada permasalahan sosial keagamaan yang bersifat teologis. Atas alasan inilah mengapa kebutuhan terhadap hukum terlihat begitu dominan, dan akhirnya fiqih berkembang menjadi satu cabang ilmu ke-Islam-an yang formalistik," katanya.
Dalam proses pengembangan kerangka teoritiknya, kata KH Sahal, fiqih menjadi terpisah dari etika. Dan, karena sifat formalistiknya itu, ajaran syariat yang tertuang dalam fiqih terkadang terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan praktis sehari-hari.
"Zakat misalnya, sebenarnya merupakan ajaran Islam yang semangatnya adalah menciptakan keadilan sosial ekonomi. Namun, dalam fiqih, zakat sering dipahami sebagai ibadah formal yang hanya menjelaskan kewajiban muzakki (wajib zakat) untuk mengeluarkan zakat dalam nisab (jumlah) tertentu. Watak fiqih yang formalistik memang sering mengundang orang untuk melakukan manipulasi (hilah) terhadapnya," katanya.
Berpidato mewakili keluarga, KH Abdurrahman Wahid mengatakan, fiqih tidak harus dipahami sebagai sesuatu yang kaku melainkan lentur. "Agar bisa lentur memang diperlukan reinterpretasi terhadap teks secara kontekstual," katanya.
Abdurrahman menceritakan bagaimana KH Sahal sangat teliti dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan maslahat ammah (kemaslahatan umum). "Ketika saya dikirimi dokumen dari Israel untuk ditandatangani, saya bawa ke rapat PB NU. Ketika itu, PBNU meminta KH Sahal yang memeriksa. Di situ terdapat kata-kata, manusia tidak berdosa. Kiai Sahal minta kata itu diganti dengan manusia tidak bersalah. Sebab, yang berhak menentukan dosa atau tidak itu adalah Tuhan, dengan ajarat Tuhan manusia hanya bisa mengatakan bersalah atau tidak," kata Abdurrahman.
KH Sahal dilahirkan di Pati 17 Desember 1937. Hampir seluruh hidupnya dijalani di pesantren, mulai dari belajar, mengajar, dan mengembangkannya. KH Sahal hanya pernah menjalani kursus ilmu umum antara 1951-1953, sebelum mondok di Pesantren Bendo, Kediri (JAtim), Sarang, Rembang (Jateng), lalu tinggal di Mekkah selama tiga tahun.