Marxian  

Posted by DENBAGUS in

Transformasi Konsep-Konsep Bentuk-Bentuk Realitas Dan Pikiran Titik Pangkal Teori Dan Sejarah Derivasi Dialektikal Hubungan- Hubungan Kausal Matematika Dalam Analisis Rupa Dan Esensi Analisis Dan Sintesis Dalam Penyajian Marx Analisis Struktural-Genetik


Jawaban-jawaban Marx atas pertanyaan-pertanyaan mengenai tujuan analisis teoretikal yang dipergunakan dalam CAPITAL, jika dikemukakan secara terpisah-pisah satu dari lainnya, pada pengelihatan pertama berbeda, dan kadang-kala bahkan saling bertentangan satu sama lainnya.
Tujuan analisis dalam CAPITAL, menurut Marx, adalah memberikan analisis mengenai modal dalam struktur dasarnya, menyajikan organisasi inti dari cara produksi kapitalis, bahkan dalam gaya idealnya.1) Di lain tempat Marx juga merumuskan tujuan analisis teoretikalnya mengenai kapitalisme itu dalam perumusan yang terkenal: '.....menjadi tujuan pokok karya ini untuk mengungkapkan hukum gerak ekonomi dari masyarakat modern.....'2) Ini berarti menerangkan hukum-hukum istimewa yang menentukan asal- usul, keberadaan, perkembangan dan kematian suatu organisme sosial tertentu dan pergantiannya oleh suatu organisasi sosial lain yang lebih tinggi' 3) Tekanan lebih dulu diletakkan atas organisasi inti, struktur dasar, kemudian atas hukum-hukum gerak, hukum-hukum perkembangan. Bagi Marx, suatu analisis struktural dan genetik tidak mengandung pertentangan, dan tidak menghasilkan suatu penanganan paralell atau beruntun. Yang menjadi perhatian Marx adalah menyajikan cara produksi kapitalis itu sebagai suatu struktur yang berkembang-sendiri, lahir-sendiri dan hancur-sendiri. Analisis teoretikal yang mengarah pada tujuan ini adalah suatu analisis struktural-genetik yang terpadu.
Dalam pengertian yang sama sebagaimana Marx berbicara tentang struktur dasar, ia juga merujuk pada hubungan-hubungan yang bersesuaian dengan konsep modal, tipe umum dari hubungan kapitalis.4) Maka dalam hubungan-arti itu memahami secara ilmiah bagi Marx berarti penyajian karakteristik-karakteristik dari suatu tipe, organisme atau keutuhan tertentu yang berkembang- sendiri.....melakukan suatu analisis struktural-genetik.
Originalitas prosedur Marx dapat didemonstrasikan dengan membandingkannya dengan yang oleh pendahulu-pendahulunya, teristiwa Ricardo, dalam ekonomi politik teoretikal diartikan dengan penjelasan ilmiah, dengan batasan bahwa mereka memaparkan tafsiran- tafsiran mereka mengenai penjelasan ilmiah itu hanya secara implisit (Ricardo) atau secara implisit dan eksplisit (Adam Smith).5)
Ada keterbatasan-keterbatasan dalam suatu analisis perbandingan seperti itu. Perbandingan-perbandingan dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara: secara supra-historikal dan kontinjen......dalam hal mana perbandingan itu bukannya mendekatkan, melainkan bahkan menjauhkan kita dari suatu pemahaman yang benar, atau cara merujuk pada asal-mula asal-mula: dalam hal ini maka penerapan metode perbandingan itu, spesifikasi dari perbedaan- perbedaan atau persamaan-persamaan, menjadi perkiraan- perkiraan dan alat bagi pengumpulan material untuk penanganan lebih lanjut, akan suatu pemahaman secara materialis-dialektikal mengenai gejala dalam keharusan pekembangannya. Kita lakukan analisis perbandingan dalam pengertian yang kedua. Di antara sistem-sistem ekonomi Ricardo dan Marx terdapat suatu hubungan genetik langsung. Dua tipe penjelasan ilmiah yang berbeda terkandung dalam sistem- sistem ilmiah yang meliput subjek yang sama. Karenanya terdapat titik tolak yang menguntungkan bagi penafsiran originalitas konsep Marx mengenai penjelasan ilmiah, yaitu tipe logikal dari pemikiran ilmiah Marx pada tahap pertama perkembangannya. Namun, aku tidak mempersoalkan di sini aspek-aspek pertanyaan lebih luas mengenai bagaimana konsep metode ilmiah Ricardo--yaitu yang termasuk pada tipe logikal Locke--diklasifikasikan dalam tatanan historikalnya yang luas, kedudukan apa yang ditempatinya, dan hubungan apa yang dipunyainya dengan tipe-tipe metode ilmiah lainnya dalam ilmu modern, dsb.6) Analisis perbandingan awal yang kulakukan bagaimanapun tidak mempermasalahkan perbedaan antara konsepsi Marx dan suatu tipe penjelasan ilmiah pra-Marxis yang penting, sebagaimana yang dikembangkan dalam filsafat klasik Jerman, teristimewa oleh Hegel. Penggarapan konsekuensi-konsekuensi analisis perbandinganku yang bersifat pengantar tentu saja tidak mungkin dilakukan dalam bab-bab berikutnya tanpa meneliti peranan Hegel dalam perkembangan tipe logika Marx dan menerangkan originalitas konsep Marx dalam hubungannya dengan Hegel.
Dalam analisis Ricardo mengenai kapitalisme terkandung suatu konsep penjelasan ilmiah yang dapat dikarakterisasi sebagai berikut:
(a) Ia membedakan permukaan empirikal dari hakekat (esensi).
(b) Hakekat itu difahami sebagai sesuatu yang tidak dapat berubah, sesuatu yang sudah ada dan untuk selama-lamanya, jadi analog dengan hukum-hukum Newton. Bentuk-bentuk empirikal dari gejala-gejala dianggap sebagai bentuk-bentuk fenomenal langsung dari suatu esensi yang tetap, yang sebagian diteliti dan kemudian ditetapkan, dan sebagian lagi diterima sebagai suatu perkiraan yang berdiri sendiri. Bentuk-bentuk empirikal dari gejala-gejala adalah tetap karena sifat a-historikalnya dan bersamaan dengan itu bersifat variabel dalam hubungannya dengan perubahan-perubahan kuantitatif.
(c) Persoalan-persoalan mengenai sasaran seluruh analisis itu muncul dalam suatu bentuk yang lebih dijabarkan:
i. perubahan-perubahan kuantitatif apakah yang terjadi pada bentuk-bentuk empirikal itu jika itu bergantung pada perubahan- perubahan dalam esensinya;
ii. Perubahan-perubahan kuantitatif apakah yang terjadi pada bentuk-bentuk empirikal itu jika bentuk-bentuk empirikal tertentu yang berada dalam suatu hubungan timbal-balik berbeda secara kuantitif?
Jumlah kerja yang diperlukan untuk produksi suatu barang dagangan jelaslah menjadi esensi tetap yang menjadikan mungkin--demikian menurut Ricardo--difahaminya secara asasi semua gejala ekonomi kapitalis dan untuk menetapkan hukum-hukum yang mengatur distribusi ini..... di antara tiga klas dalam masyarakat, yaitu pemilik tanah, pemilik saham atau modal.... dan kaum buruh....7) yang, menurut Ricardo, menjadi tugas pokok ekonomi politik.Perbedaan asali antara gejala empirikal dan esensi mula-mula muncul pada Ricardo dalam bentuk sebuah pertanyaan: apakah sebenarnya dasar nilai tukar semua barang?8) Jika kita meneliti kedalam struktur penyajian kapitalisme oleh Ricardo, setelah penentuan azas bahwa kerja adalah substansi nilai-tukar, maka yang kita dapatkan dalam kenyataannya adalah suatu pembagian bab-bab yang agak tidak logikal yang bercirikan pertanyaan- pertanyaan yang diajukan secara beruntun oleh Ricartdo. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah yang berikut ini:
Apakah yang menjadi sebab utama dari perubahan-perubahan dalam nilai-nilai nisbi (relatif) suatu barang dagangan?
Apakah adanya kualitas-kualitas kerja yang berbeda menjadi sebab perubahan-perubahan dalam nilai nisbi suatu barang dagangan?
Apakah penggunaan modal konstan yang lebih besar atau yang lebih kecil mempengaruhi perubahan dalam nilai nisbi suatu barang dagangan?
Apakah naiknya atau turunnya upah-upah mempengaruhi salah satu perubahan dalam nilai nisbi suatu barang dagangan?
Akibat-akibat apakah yang timbul dari perubahan-perubahan dalam nilai uang atau dari perubahan-perubahan dalam nilai barang-barang dagangan yang ditukarkan dengan uang?
Apakah pemilikan atas tanah dan perkembangan sewa yang dihasilkan olehnya, mempengaruhi nilai nisbi barang-barang dagangan, secara tidak tergantung pada jumlah kerja yang diperlukan untuk produksi barang-barang dagangan?
Apakah yang menjadi sebab perubahan terus-menerus dalam laba dan tingkat bunga yang dihasilkan olehnya?
Secara keseluruhan kita meneliti perubahan-perubahan dalam nilai-tukar (suatu hubungan kuantitatif) dengan perkiraan bahwa kerja menjadi dasar nilai-tukar dan bahwa ia bergantung pada perubahan-perubahan kuantitatif pada faktor-faktor dan bentuk-bentuk empirikal yang berbeda dari ekonomi kapitalis.
Menamakan penelitian Ricardo sebagai suatu kuantitativisme berarti mengabaikan kenyataan bahwa ia tidak bekerja dengan suatu reduksi lengkap dari ciri-ciri kualitatif pada ciri-ciri kuantitatif. Ia juga tidak sampai pada mekanika klasikal dan materialisme mekanikal.9) Dalam penyajian-penyajiannya memang terdapat determinasi-determinasi kualitatif, tetapi analisis teoretikal Ricardo tidak memperlakukan itu sebagai determinasi-determinasi kualitatif, karena--bertentangan dengan sifat determinasi-determinasi kualitatif--itu semua ditarik secara tidak kritikal dari permunculan-permunculan, dari dunia empirikal, sebagai tetap, tidak dapat berubah, langsung. Maka, misalnya upah, laba dan bunga adalah bentuk-bentuk pendapatan dalam kapitalisme yang secara kualitatif dibeda-bedakan. Ricardo tidak meneliti itu semua, namun, dalam hubungan kualitas-kualitas khasnya, melainkan menganggap itu sebagai tiga sumber alamiah yang konstan dari tiga klas alamiah yang konstan dari kependudukan dan mengabdikan seluruh penelitiannya pada masalah perbedaan-perbedaan dalam hubungan-hubungan kuantitatif yang berbeda di antara ketiga bentuk pendapatan itu, teristimewa antara faktor-faktor yang berbeda dalam cara produksi kapitalis dan bentuk-bentuk pendapatan itu.10) Ini menunjukkan betapa pendirian kuantitatif yang berat-sebelah itu menyertai pendirian a-historikal.
Pendirian kuantitatif juga terdapat dalam karya Ricardo dengan masuknya perbedaan dasar antara nilai-tukar dan esensinya, sebagaimana disebut di atas. Ricardo tidak selalu konsisten dalam pembedaan itu. Sekalipun lebih sering dibedakannya antara hubungan-hubungan kuantitatif (dalam hubungan soal ini nilai relatif) dan yang dapat orang sebut nilai mutlak yang muncul dalam hubungan kuantitatif itu, Ricardo kadang-kadang mengacaukan persoalan-persoalan, yang di kemudian hari dibikin terang oleh Marx dengan membedakan antara nilai (substansi-nilai) dan nilai-tukar (bentuk nilai). Pada umumnya, Ricardo tidak mengembangkan perbedaan ini, padahal ini diperlukan agar memahami dasar sesungguhnya dari nilai-tukar dan untuk memusatkan analisis secara tepat pada penelitian atas perubahan-perubahan kuantitatif dalam nilai-nilai tukar.
Catatan:
1. Karl Marx, Capital, Vol.3, Progress, Moscow, 1971, hal. 267, 837. (Selanjutnya disebut Capital, vol.3)
2. Karl Marx, Capital, Vol.1, Allen & Unwin, London, 1957, hal.xix. (Selanjutnya disebut Capital vol.1)
3. Ibid, hal. 102
4. Capital, vol.3, hal. 143
5. Lihat Adam smith, Essays on Philosophical Subjects, Basel, 1799, hal. xix. (Selanjutnya disebut Smith, Essays.)
6. Lihat V. Filkorn, dalam Metoda vedy, Bratislava, 1956, hal. 6, 60, 139, 142, 160, dsb.; dan R. Lenoble, "Types d'explication et type logiques au cours de l'histoire des sciences", dalam Actes du XIieme Congres International de Philosophie, Amsterdam dan Louvain, 1953, hal. 10-15; dan lihat di bawah, Bagian III, Bab. 18
7. David Ricardo, Principles of Political Economy and Taxation, Ed. ke-3, ed. R.M. Hartwell, Penguin, Harmondsworth, hal.49. (Selanjutnya disebut Ricardo, Principles.)
8. Ibid., hal 57, dan lihat juga hal. 55-71, passim.
9. Pendirian kuantitatif Ricardo yang berat-sebelah dibedakan dari positivisme, yang memisahkan hubungan rupa dan esensi dari penjelasan ilmiah dan menurunkan pengetahuan ilmiah menjadi hubungan-hubungan matematikal pada tingkat rupa.
10. Lihat pemaparan Ricardo mengenai sifat modal dan sifat sewa dalam Principles, passim.


160 Tahun Tulisan Marx: Tesis-tesis tentang Feurbach

Oleh Suar Suroso


Sebelas Tesis

Tahun 1845, tiga tahun sebelum diumumkannya Manifes Partai Komunis, Marx menulis 11 Tesis Tentang Feurbach. Tulisan ini mempunyai arti historis dalam perkembangan filsafat materialisme. Dengan tesis-tesis ini, Marx mengkritik dan mengembangkan materialisme Feurbach. Justru dewasa ini, menguasai dan menggunakan materialisme—yaitu cara berpikir yang ilmiah—adalah cara untuk mengenal dan memahami kenyataan, membedakan yang benar dan yang salah, melawan kepalsuan, melawan pembodohan, melawan jahiliah, melawan keedanan.

Dengan mengkritik Feurbach, Marx mengubah materialisme yang pasif, yang kontemplatif, yang bersifat renungan, yang hanya untuk tafakur, menjadi materialisme militan, menjadi alat berpikir yang aktif. Menjadikannya senjata ampuh perjuangan klas, yaitu materialisme dialektis. Itu tidak hanya punya arti teoretis, tapi bahkan punya arti praktis, yaitu membimbing pikiran manusia untuk bertindak maju. Dalam tesis-tesisnya itu Marx mengkritik Feurbach dengan menyatakan bahwa “kekurangan utama materialisme yang ada sampai sekarang—termasuk materialisme Feurbach—adalah bahwa benda, kenyataan, kesan pancaindera dipahami hanya dalam bentuk objek atau pandangan, hasil renungan, tetapi tidak sebagai aktivitas alat perasa panca-indera manusia, yaitu praktik....” Dengan mengangkat tinggi arti praktik, dalam tesis itu Marx menyatakan bahwa Feurbach “tidak mencengkram arti penting aktivitas yang ‘revolusioner’, aktivitas yang ‘praktis-kritis’ ”. Dalam tesis-tesis tersebut Marx juga menulis bahwa “masalah apakah kebenaran objektif terdapat pada pikiran manusia adalah bukan satu masalah teori, tetapi satu masalah praktik. Dalam praktiklah orang harus membuktikan kebenaran pikirannya, yaitu bahwa pikirannya adalah kenyataan dan kekuatan; adalah bersifat duniawi”. Di samping itu Marx menulis bahwa “terjadinya secara bersamaan perubahan lingkungan dan perubahan aktivitas manusia hanyalah dapat dipahami secara rasional sebagai praktik revolusioner.” Selanjutnya Marx menulis bahwa “Feurbach bertolak dari kenyataan swa-alienasi keagamaan, yaitu dari terbagi duanya dunia menjadi dunia keagamaan, dunia khayal dan dunia nyata. Dia berkarya tentang meleburnya dunia keagamaan ke dalam dasarnya yang sekular. Dia tidak mencatat kenyataan bahwa sesudah karyanya selesai, masalah yang utama masih harus dikerjakan, yaitu kenyataan bahwa dasar sekular memisahkan dirinya dari dirinya sendiri dan membawa dirinya ke dalam awan sebagai kerajaan yang bebas, hanya dapat dijelaskan dengan swa-alienasi dan swa-berkontradiksi dari dasar sekular ini. Yang terakhir ini harus difahami dalam kontradiksinya dan kemudian direvolusionerkan dalam praktik dengan pelenyapan kontradiksi. Jadi misalnya, begitu keluarga duniawi ditemukan sebagai rahasia dari seluruh keluarga suci, maka keluarga duniawi itu harus dikritik dalam teori dan direvolusionerkan dalam praktik.” Lagi-lagi dengan mengangkat arti penting praktik, selanjutnya, Marx menulis, bahwa “Tidak puas dengan pemikiran abstrak, Feurbach berpaling pada renungan yang dapat dirasakan; tetapi dia tidak menganggap sesuatunya yang dapat dirasakan itu sebagai hal praktis, sebagai aktivitas perasaan manusia”. Lebih lanjut Marx menulis, bahwa “Pada akhirnya, Feurbach tidak melihat bahwa ‘perasaan keagamaan’ itu sendiri adalah produk kemasyarakatan dan bahwa perseorangan yang abstrak, yang dia analisis terdapat pada kenyataan bentuk masyarakat yang khusus”. Lagi-lagi dengan mengangkat arti penting praktik, Marx menulis, bahwa “Penghidupan kemasyarakatan pada pokoknya adalah praktis. Semua keajaiban yang menyesatkan teori menjadi mistisisme mendapatkan pemecahan yang rasional dalam praktik kemanusiaan dan dalam praktik yang dapat dipahami”. Seterusnya Marx menulis bahwa “Puncak yang tercapai oleh materialisme kontemplatif (materialisme renungan, materialisme tafakur), yaitu materialisme yang tidak memahami bahwa perasaan adalah aktivitas praktik, adalah renungan seorang individu dalam ‘masyarakat madani’.” Selanjutnya ditulis Marx bahwa “Titik tolak materialisme kuno adalah masyarakat ‘madani’, titik tolak materrialisme baru adalah masyarakat manusia yang baru, atau kemanusiaan yang dimasyarakatkan”. Paling akhir, dalam tesis ke-sebelas, Marx menulis bahwa “Para filosof hanyalah menginterpretasi dunia dengan berbagai caranya, akan tetapi masalahnya adalah mengubah dunia itu”. Tesis terakhir ini mempunyai arti menjungkir-balikkan tugas filsafat. Menjungkir-balikkan materialisme kontemplatif, materialisme renungan, materialisme tafakur menjadi materialisme militan untuk mengubah dunia.

Mengubah Dunia! Tiga tahun kemudian, tahun 1848, Marx dan Engels memaparkan gagasan mengubah dunia itu dalam Manifes Partai Komunis. Dunia ketika itu sedang dikuasai oleh feodalisme dan burjuasi pemilik kapital yang baru berkembang. Dunia dengan penghisapan feodal yang sudah mencapai puncaknya, dan penghisapan kapital yang sedang berkembang pesat, akan diubah menjadi dunia tanpa penghisapan oleh manusia atas manusia. Sungguh satu gagasan raksasa. Ini berarti dilenyapkannya penghisapan feodal dan penghisapan kapital. Disinilah arti historis Tesis-Tesis Tentang Feurbach yang ditulis Marx 160 tahun yang lalu. Maka selanjutnya, materialisme pun berkembang menjadi materialisme historis, yaitu penerapan materialisme dialektis dalam ilmu kemasyarakatan. Inilah alat berpikir, senjata perjuangan bagi manusia untuk mengubah dunia.

Tentang Feurbach

Ludwig Feurbach (1804-1872) berjasa mengembangkan tradisi revolusioner materialisme abad ke-XVII dan abad ke-XVIII. Yang dimaksudkan dengan filsafat antropologis oleh Feurbach adalah filsafat yang mengutamakan manusia. Prinsip antropologis dinyatakan oleh Feurbach dengan mengutamakan kesatuan alam kemanusiaan. Menurut Feurbach manusia adalah produk alam dan bagian dari alam. Alam, materi adalah satu-satunya substansi, dan adalah substansi sejati, yang berada di luar manusia, dan yang menciptakan manusia. Feurbach berpendapat, bahwa filsafat baru harus mengubah manusia serta alam sebagai basis manusia, menjadi sasaran satu-satunya yang universal dan paling tinggi dalam filsafat. Karena itu, antropologi, termasuk fisiologi, baginya menjadi ilmu yang universal. Feurbach memandang masalah ruang dan waktu secara materialis. Ruang dan waktu adalah syarat-syarat dasar, adalah bentuk-bentuk dan perwujudan substansi. Materi bukan hanya ada, tetapi juga bergerak dan berkembang. Tanpa ruang dan waktu, maka gerak dan perkembangan adalah tidak mungkin. Tanpa ruang dan waktu tak mungkin ada materi.

Disamping itu, dinyatakannya bahwa alam itu kongkrit, bersifat material, dapat diraba dan dirasa. Materi tak dapat dibasmi, selalu ada, akan tetap ada, yaitu adalah abadi, tanpa awal dan tanpa akhir, adalah tak berhingga. Dengan mengikuti Spinoza, Feurbach menyatakan, bahwa alam adalah sebab-musabab itu sendiri. Materi adalah primer, ide adalah sekunder. Pandangan ini adalah bertolak belakang dengan pandangan Hegel yang menjadikan ide absolut sebagai yang utama, sebagai sumber segala-galanya. Dengan demikian, mengenai masalah terpokok dalam filsafat, yaitu masalah hubungan antara ide dan materi, dipecahkan oleh Feurbach secara materialis, ..... dengan mengutamakan materi.

Menurut Feurbach, alam adalah banyak segi. Manusia mengenalnya liwat syaraf perasa, hingga mengenal air, api, listrik, sinar, magnetisme, tumbuh-tumbuhan, dunia dan seterusnya. Itulah sebahagian dari substansi dengan berbagai kwalitas. Substansi tanpa kwalitas adalah omong kosong. Kwalitas tak terpisahkan dari substansi sesuatunya. Alam, materi adalah satu-satunya substansi dan adalah hakekat substansi yang terdapat di luar manusia, dan yang melahirkan manusia. Satu-satunya dasar manusia adalah jasmani. Ambillah dari manusia jasmaninya, akan terambil jiwanya, terambil semangatnya. Jasmani adalah bahagian dari dunia objektif dan adanya jiwa adalah tergantung pada jasmani. Ini adalah pandangan monisme antropologis, yang berlawanan dengan pandangan dualisme. Pandangan dualisme mensetarakan jasmani dan jiwa – jasmani adalah dari alam material, dan jiwa adalah dari alam spiritual. Pandangan monisme antropologis dari Feurbach ini adalah pandangan materialis.

Berakarnya pandangan Feurbach pada manusia ditunjukkan oleh tulisannya: “Pandang dan renungkanlah alam, pandang dan renungkanlah manusia! Di sini, di depan matamu terdapat keajaiban filsafat !” Lebih lanjut dinyatakannya, bahwa dasar materialismenya adalah manusia. Kebenaran bukanlah materialisme atau idealisme, tetapi adalah antropologi”. Karena itu, materialisme Feurbach disebut materialisme antropologis, materialisme manusiawi.

Feurbach membawa maju ajaran materialis dalam teori pengenalan, dalam epistemologi. Feurbach menyatakan, bahwa “perasaan saya adalah subjektif, tetapi dasarnya, sebab-musababnya adalah objektif”. Sejarah pengenalan menunjukkan pada kaum materialis Jerman, bahwa batas-batas pengenalan manusia selalu bertambah luas; bahwa dalam perkembangannya, akal manusia memungkinkan kita untuk menemukan rahasia-rahasia alam. Kaum agnostisis berpendapat, bahwa alam terbentuk sedemikian rupa hingga tak mungkin manusia mengenal sesungguhnya alam itu. Berlawanan dengan kaum agnostisis, Feurbach menyatakan, bahwa “apa yang belum kita ketahui sekarang, akan diketahui oleh anak-cucu kita di kemudian hari”. Dengan demikian, Feurbach secara tajam menentang agnostisisme Kant.

Feurbach menjadikan perasaan sebagai titik-tolak pengenalan. Menurut dia, “adalah sepenuhnya tepat, bahwa empirisisme memandang sumber-sumber ide-ide kita pada perasaan”. “Saya berpikir dengan bantuan perasaan, terutama dengan bantuan pandangan, -- saya mendasarkan dalil, kesimpulan saya pada sesuatunya yang material, yang kita tangkap (serap) liwat alat perasa bahagian luar. Bukannya benda berasal dari pikiran, tetapi pikiran berasal dari benda. Dan benda pun adalah tak lain dan tak bukan apa yang terdapat di luar kepala saya”. Maka materi, alam bukan saja adalah dasar dari jiwa, tetapi bahkan dasar prinsip dari semua pengetahuan dari filsafat. Benda, materi adalah tak lain dan tak bukan sesuatu yang secara nyata ada di luar kita, sedangkan pikiran mengenai benda itu adalah pencerminan (bayangannya) dalam kepala manusia.

Feurbach membuktikan, bahwa jika tidak ada materi yang terdapat secara objektif di luar kita, maka syaraf perasa kita tidak akan tersentuh. Oleh karena itu, materi, alam, -- bukan hanya adalah basis dari jiwa, tapi juga dasar permulaan dari semua pengenalan dan filsafat. Menurut Feurbach, perasaan bukanlah memisahkan manusia dari dunia luar, tetapi menghubungkannya, karena perasaan adalah hasil pengaruh benda-benda luar terhadap alat perasa manusia. Pengenalan ilmiah dimulai dengan pengamatan dan cita-rasa. Dia menyatakan, bahwa “tak ada perasaan tanpa kepala, tanpa akal dan pemikiran” Manusia harus bertolak dari “perasaan sebagai sesuatunya yang paling sederhana, yang jelas-jemelas dan tak disangsikan lagi”, kemudian memasuki masalah “objek-objek yang rumit dan jauh dari mata”. Menurut Feurbach, peranan akal adalah menghubungkan pengenalan cita-rasa dari pengalaman yang sepotong-sepotong dengan bahagian lain dari kenyataan di luar pengalaman. Sebagaimana halnya hubungan antara kata-kata menjadi pikiran, demikian pula data-data yang ditangkap perasaan hanya dapat difahami jika ia dihubungkan, disusun dengan bantuan akal. “Dengan perasaan, kita membaca bukunya alam, tetapi memahaminya bukanlah dengan perasaan”. Dengan bantuan akal, kita menghubungkan sebab dan akibat, sebab-sebab dan tindak tanduk antara gejala-gejala, hanyalah karena mereka “menurut kenyataannya, secara materiil, secara kenyataan terdapat tepat dalam hubungan sedemikian antara sesamanya”. Feurbach juga menyatakan, bahwa “hanya pikiran yang riil, yang objektif yang memastikan dan membikin tepat renungan perasaan, hanyalah dalam keadaan yang demikian, pemikiran adalah pemikiran objektif dan kebenaran”.

Feurbach membuang dualisme antara renungan cita-rasa dan pertimbangan akal, yang merupakan ciri dari epistemologi Kant. Menurut Feurbach, pertimbangan akal, bukanlah sumber yang berdiri sendiri dari pengenalan. Semua prinsip dan kategori-kategorinya bukanlah ditimbanya dari dirinya sendiri tetapi dari perasaan berdasarkan pengalaman. Kant mencari ukuran kebenaran pada pemikiran yang murni. Sebaliknya, Feurbach menemukan kebenaran dalam kehidupan, dalam kenyataan, dalam praktik. “Sesuatunya yang disangsikan yang tak dapat selesai dan dikerjakan oleh teori, akan diselesaikan oleh praktik”.

Tetapi Feurbach tidak sampai memahami praktik menurut pemahaman materialis tentang praktik kemasyarakatan manusia. Hubungan antara sesama manusia hanya difahami Feurbach sebagai hubungan dalam “gens”, yaitu hubungan kemasyarakatan yang bersumber pada hubungan keluarga, hubungan fisiologis. Gens, puak, suku adalah organisasi kemasyarakatan dasar dalam susunan masyarakat komune-primitif, organisasi yang merupakan kesatuan dari pada keluarga-keluarga seketurunan. Asal mulanya diorganisasi secara keibuan, -- secara matriarchaat, kemudian berubah menjadi patriarchaat dalam proses berkembangnya masyarakat komune-primitif. Gens memiliki seorang kepala, mendiami suatu daerah tertentu dan mempunyai nama tertentu.

Feurbach memahami praktik manusia sebagai “makan dan minum”, bukanlah praktik berproduksi, bukanlah tindakan-tindakan revolusioner. Dalam pemahaman Feurbach tentang praktik terkandung antropologisme dan naturalisme. Ukuran kebenaran dia lihat dalam “gens”. Dia menyatakan, bahwa “jika saya berpikir sesuai dengan patokan-patokan gens, berarti saya adalah berpikir sebagaimana manusia umumnya. .... Kebenaran adalah apa yang sesuai dengan hakekat gens, palsu adalah apa yang bertentangan dengan itu. Hukum lain dari kebenaran tidak ada” Demikianlah, Feurbach tidak bisa melangkah lebih jauh dari pemahamannya yang abstrak dan pasif tentang praktik kemasyarakatan manusia.

Dalam seluruh karyanya, pada pokoknya Feurbach menempatkan masalah agama dalam pusat perhatiannya. Dia menulis, bahwa dalam semua karyanya, dia tidak pernah “melepaskan masalah agama dan teologi dari pandangan”, bahkan menjadikan “agama dan teologi sebagai tema pokok pikiran serta kehidupannya.” Feurbach berusaha mengangkat obor akal, supaya manusia akhirnya dapat mengubah permainan kekuatan-kekuatan yang fantastis, yang dipergunakan penguasa agama untuk menindas manusia. Pikirannya selalu terlibat dalam hal, supaya mengubah manusia dari serba percaya menjadi manusia yang berpikir, dari serba hidup sembahyang menjadi kaum pekerja.

Menurut Feurbach, alam, kenyataan hanyalah memberikan materi, kebendaan bagi adanya ide tentang Tuhan; tetapi bentuk yang diberikan oleh benda itu menjadi hakekat Tuhan, adalah dilahirkan oleh fantasi, oleh daya pembayangan. Oleh karena itu, fantasi, daya pembayangan adalah “sebab-sebab teoretis atau adalah sumber dari agama”. “Manusia adalah permulaan, adalah bahagian tengah dan adalah akhir dari agama”.

Feurbach mencatat bahwa peranan alam dalam hidup manusia adalah sangat besar. Alam adalah sebab-musabab, adalah dasar, sumber eksistensi manusia. Alam mengharuskan lahir dan hidupnya manusia. Manusia – bahagian dari alam, dan hanya bisa terdapat dalam alam, adalah berkat alam. Alam adalah ibu kandung manusia. Feurbach menyatakan, bahwa arti alam yang demikian bagi manusia adalah menjadi sebab, hingga alam menjadi objek pertama dari agama, menjadi Tuhan pertama dari manusia. Agama tertua dari manusia – adalah agama yang memuja alam, agama “alamiah”. Bagi manusia-manusia purba, hanyalah alam yang menjadi subjek pemujaan keagamaan. Agama zaman purbakala menunjukkan manusia dan satunya manusia dengan alam, menunjukkan ketergantungan manusia pada alam. Perasaan ketergantungan adalah dasar dari agama. Manusia semenjak kelahirannya dalam sejarah, selalu dalam syarat-syarat tertentu berada dalam ketergantungan bukan dari alam secara umum, tetapi dari alam tertentu, dari alam negerinya, dan tempat kelahirannya. Manusia-manusia purba, oleh karena itu menjadikan alam kongkrit yang mengitarinya sebagai objek agamanya. Manusia-manusia purba memuja dalam agama mereka syarat-syarat alam dan gejala-gejala alam dari mana kehidupan mereka tergantung. Maka oleh karena itu, Feurbach menyatakan, bahwa menurut kenyataan sejarah, manusia-manusia purba memuja sungai, gunung dan laut tanah-airnya. Orang Mesir purbakala berpendapat, bahwa asal-usul semua kehidupan, termasuk manusia adalah sungai Nil. Rakyat Yunani purba percaya, bahwa semua sumber sungai, danau, laut terdapat di samudera raya. Rakyat Persia purba menganggap, bahwa semua gunung berasal dari gunung Alborda. Manusia Meksiko purba memuja Tuhan dari garam. Demikianlah, bagi manusia-manusia purba, Tuhan mereka berasal dari alam sekitar atau iklim yang mengitarinya. Feurbach menyatakan, bahwa manusia yang masih kurang pengalaman dan kurang pendidikan bahkan menganggap negerinya itulah dunia, atau pusat bumi.

Feurbach menyatakan, bahwa bagi kaum budak, tanpa tuan budak, dalam masyarakat tidak ada tata tertib, dan tanpa kaisar tidak ada ketenteraman dalam negeri. Oleh karena itu mereka tunduk dan menyembah tuan-budak serta kaisar. Feurbach menarik kesimpulan, bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusia yang hidup dalam masyarakat menciptakan Tuhannya sendiri.

Pandangan-pandangan Feurbach mempunyai arti besar dalam hal memasukkan pengertian antropologis manusia dalam ajaran tentang moral. Feurbach mencatat, bahwa semua usaha manusia adalah menuju kebahagiaan. Bahagia atau sengsara, sukacita atau duka nestapa diketahui liwat perasaan. Bagi Feurbach, perasaan adalah syarat pertama bagi moral. Di mana tidak ada perasaan, di sana tidak ada perbedaan bahagia dan sengsara, antara kebaikan dan kejelekan, antara suka dan duka, di sana tidak ada moral. Ajaran tentang moral merupakan puncak ajaran Feurbach tentang masyarakat. Dalam hal inilah terletak keterbatasan filsafat Feurbach. Prinsip dasar moral dari Feurbach adalah kecenderungan hati manusia terhadap sesamanya, yang dimiliki sebagai sifat alamiah dari manusia, yaitu sifat menginginkan kebahagiaan. Menurut Feurbach, supaya manusia jadi bahagia, mereka harus saling mencintai. Kata ‘cinta’ bagi Feurbach adalah azimat sakti, bahan ramuan mujarab mengobati semua penyakit. Feurbach mengajarkan cinta yang menyeluruh dalam masyarakat yang terbagi dalam berbagai klas yang antagonistik. Cinta sesama manusia adalah puncak ajaran moral Feurbach. Di samping itu, dalam berbagai kesempatan secara tepat Feurbach menulis, bahwa “orang di dalam istana berpikiran lain daripada yang di dalam gubuk”. Tetapi dia salah menilai orang yang melarat dengan menyatakan lebih lanjut, bahwa “jika karena kelaparan, karena kesengsaraan, orang tidak mempunyai isi di dalam tubuhnya, akan begitu juga dia tidak mempunyai isi untuk moral di dalam kepalanya, di dalam jiwanya maupun hatinya”. Moral Feurbach adalah moral burjuasi, yang mengajarkan perdamaian klas, yang menutup-nutupi kontradiksi kepentingan-kepentingan klas, yang memadamkan dan menegasi perjuangan klas. Karena itu, materialisme Feurbach adalah materialisme yang tidak berjuang, materialisme yang pasif. Inilah yang disebut materialisme kontemplatif.

Demikianlah materialisme Feurbach, materialisme antropologis dan kontemplatif, yang mengabaikan praktik kemasyarakatan manusia, yang menentang agama dan berpaling pada ‘cinta’ sesama manusia dan lari dari perjuangan klas, yang mengkritik idealisme Hegel, menentang agnostisisme Kant serta yang tidak memahami arti penting perjuangan politik. Walaupun pandangannya materialis, Feurbach tidak menggunakan metodologi dialektika, tidak menggunakan hukum pokok dialektika—kesatuan dan perjuangan dari segi-segi yang berlawanan. Materialisme Feurbach adalah materialisme metafisis. Keterbatasan materialisme Feurbach tidaklah mengurangi akan arti historisnya. Materialisme Feurbach memberikan pengaruh yang mendalam atas Marx dan Engels pada masa pembentukan pandangan-pandangan filsafatnya. Marx dan Engels mengambil dari materialisme Feurbach hanya “inti pokoknya”, mengembangkannya lebih lanjut menjadi filsafat ilmiah materialisme dialektis dan membuang lapisannya yang bersifat idealis dan metafisis.

Perkembangan dan Kemenangan Materialisme

Dengan sebelas Tesis Marx tentang Feurbach, materialisme jadi berkembang. Lebih setengah abad sesudah Marx menulis tesis itu, tahun 1908, Lenin menulis karya filsafat: Materialisme Dan Empiriokritisisme. Karya Lenin ini lebih mengembangkan lagi materialisme. Lebih diperdalam pengertian tentang kenyataan dan pikiran, tentang hubungan materi dan pikiran, tentang perasaan, tentang ruang dan waktu, tentang kebenaran relatif dan kebenaran absolut, tentang kausalitas. Dinyatakan, bahwa “materi adalah kategori filsafat untuk menamakan kenyataan objektif.”. Lenin menulis, bahwa “pemecahan masalah filsafat secara materialis hanyalah mungkin atas dasar titik tolak dialektis terhadap perasaan”. “Sifat perasaan yang dialektis adalah kesatuan subjektif dan objektif, hakekatnya ..... perasaan adalah gambaran (rupa, wajah) subjektif dari dunia objektif” Dalam karyanya ini, Lenin juga mengungkap masalah pemahaman tentang kebenaran. Materialisme dialektis mengakui adanya kebenaran absolut. “Pengakuan akan kebenaran objektif yang tidak tergantung pada manusia dan kemanusiaan, berarti mengakui kebenaran absolut” Tapi pengakuan akan kebenaran absolut terjadi (terwujud) tidaklah secara sekali gus, tidak segera lengkap menyeluruh, bukannya tidak bersyarat; tetapi setapak demi setapak, setingkat demi setingkat, berangsur-angsur, secara relatif, yaitu kebenaran absolut tampil dalam bentuk kebenaran relatif. Walaupun demikian, meskipun kebenaran itu relatif, tak terelakkan didalamnya ada unsur keabsolutan. Bagi materialisme dialektis tidak terdapat batas yang tak terseberangi antara kebenaran relatif dan kebenaran absolut. Lenin meneliti saling hubungan antara kebenaran relatif dengan kebenaran absolut. Lenin merumuskan salah satu hukum dasar ajaran tentang kebenaran: kebenaran absolut terbentuk dari jumlah himpunan kebenaran-kebenaran relatif; setiap tingkat dalam perkembangan pengetahuan bertambah butir baru pada jumlah kebenaran absolut itu. Lenin memaparkan, bahwa materialisme sebelum Marx adalah metafisis atau relativisme. Materialisme metafisis tidak memahami saling hubungan antara keabsolutan dan kerelatifan. Relativisme mempertentangkan kebenaran relatif dengan kebenaran absolut. Lenin mengungkap masalah gerak yang tak terpisahkan dari materi. Materi secara keharusan terdapat dalam semua gerak. Gerak materi tak mungkin terdapat tanpa ruang dan waktu. Siapa yang mengakui eksistensi realitas objektif, maka tak bisa lain harus mengakui juga realitas objektif dari waktu dan ruang. Lenin mengungkap pemahaman filosofis hakekat ruang dan waktu, dan tafsiran filosofis tentang kausalitas (pertalian antara sebab dan akibat). Penyangkalan (penegasian) atas realitas objektif ruang dan waktu, tak bisa lain akan menghasilkan penyelewengan dari pendirian materialisme dalam masalah kausalitas. Demikian pula pemahaman yang tidak benar, yang subjektif tentang kausalitas akan menghasilkan kesimpulan yang tidak benar, yang idealistis mengenai masalah dasar filsafat. Materialisme Dan Empiriokritisisme karya Lenin ini memperkaya ajaran Marxis tentang peranan praktik dalam teori pengenalan (epistemologi). Dikemukakan masalah hubungan tak terpisahkannya teori pengenalan materialisme dialektis dengan praktik. Digaris-bawahinya bahwa praktik haruslah yang pertama dan merupakan titik-pandangan dasar dari teori pengenalan, bahwa kriteria praktik haruslah termasuk kedalam dasar teori pengenalan.

Lebih seperempat abad sesudah Lenin menulis Materialisme Dan Empiriokritisisme, tahun 1937, pemahaman tentang pentingnya arti praktik, arti mencari kebenaran dari kenyataan itu dijabarkan secara rinci oleh Mao Zedong dalam karya filsafatnya TENTANG PRAKTIK. Dengan populer Mao Zedong memaparkan tentang proses perkembangan pengetahuan manusia, mulai dari adanya kontak dengan hal-ihwal dunia luar, melakukan sintese dari bahan-bahan tanggapan pancaindera, sampai membentuk konsepsi. Mao Zedong menulis, “pengetahuan mulai dari pengalaman”. Diajukannya bahwa filsafat Marxis materialisme dialektis mempunyai dua ciri yang paling menonjol. Yang satu ialah watak klasnya – ia secara terang-terangan mengabdi kepada proletariat. Yang lainnya ialah sifat kepraktikannya – ia menekankan ketergantung teori pada praktik, menekankan bahwa dasar teori adalah praktik dan teori pada gilirannya mengabdi pada praktik. Untuk sepenuhnya mencerminkan sesuatu dalam keseluruhannya, untuk mencerminkan hakekatnya, mencerminkan hukum-hukum internya, adalah perlu melalui pemikiran, menyusun kembali dan mengolah bahan-bahan tanggapan pancaindera yang kaya itu dengan membuang ampasnya dan mengambil sarinya, menyisihkan yang palsu dan mempertahankan yang benar, bertolak dari segi yang satu ke segi yang lain dan dari bagian luar ke bagian dalam, guna membentuk suatu sistim konsepsi dan teori – adalah perlu membuat suatu lompatan dari pengetahuan persepsi ke pengetahuan rasional. Menggaris-bawahi tesis kesebelas Marx tentang Feurbach, Mao Zedong menulis, bahwa masalah yang terpenting tidak terletak pada pengertian akan hukum-hukum dunia objektif dan karena itu sanggup menerangkan dunia, melainkan terletak pada pentrapan pengetahuan tentang hukum-hukum objektif itu untuk secara aktif mengubah dunia. Menurut Marxisme, teori adalah penting, dan pentingnya teori itu dinyatakan sepenuhnya dalam perkataan Lenin: “Tanpa teori revolusioner, tak mungkin ada gerakan revolusioner”. Dengan demikian, Mao Zedong kian mempertegas ajaran Marx, bahwa pengenalan atas dunia adalah untuk mengubahnya. Inilah materialisme dialektis, cara berpikir, senjata perjuangan, yang diperlukan bagi manusia yang berjuang.

Sudah berlalu lebih satu setengah abad, semenjak Tesis-Tesis Tentang Feurbach ini ditulis Marx. Materialisme kian menunjukkan keunggulan dalam filsafat. Kebenaran filsafat materialisme telah mengalami ujian dalam sejarah. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi, mulai dari penemuan-penemuan dalam astronomi, fisika, kimiah, biologi, ilmu kedokteran, penemuan dan penggunaan energi nuklir, penjelajahan ruang angkasa, ilmu dan tekhnologi informatika, ilmu genetika dan lain-lain telah mendemonstrasikan kemenangan-kemenangan materialisme atas agnostisisme dan idealisme. Berkat materialisme, manusia kian mengenal dan menguasai hukum-hukum alam. Kian bisa mengolah dan mengubah alam demi kepentingan umat manusia.

Selama satu setengah abad ini, masyarakat manusia di dunia juga telah mengalami perubahan drastis. Hampir seperempat abad sesudah Manifes Partai Komunis diumumkan, lahirlah Komune Paris. Inilah usaha mempraktikkan gagasan Manifes Partai Komunis dalam praktik. Komune Paris tahun 1871 gagal, karena kaum Komunar dibasmi pakai penindasan bersenjata oleh burjuasi Perancis. Hampir setengah abad kemudian, belajar dari kegagalan Komune Paris, pada tahun 1917, partai klas pekerja yang dibimbing oleh filsafat materialisme historis dibawah pimpinan Lenin, memelopori Revolusi Oktober Russia. Revolusi mencapai kemenangan dengan didirikannya negara sosialis pertama di dunia, yaitu Uni Republik-Republik Sovyet Sosialis – URSS --. Kekuasaan klas pekerja yang digagaskan dalam Manifes Partai Komunis untuk pertama kali terwujud. Musuh-musuh sosialisme tidak rela akan eksistensi negara sosialis, URSS. Perang dunia kedua yang dilancarkan persekutuan fasis Jerman, Itali dan Jepang dengan Pakta Anti-Komintern adalah bertujuan melenyapkan URSS, melenyapkan Bolsyewisme dan sosialisme. Perang berakhir dengan kekalahan fasisme. URSS tidak terbasmi. Malah tampil sebagai pemenang-perang bersama negara-negara Sekutu. Ini disusul dengan munculnya negara-negara sosialis baru di Jerman Timur, Bulgaria, Rumania, Albania, Polandia, Cekoslowakia. Juga di Tiongkok, Korea dan Vietnam. Semuanya ini terjadi dibawah bimbingan filsafat materialisme historis untuk mewujudkan sosialisme yang digagaskan dalam Manifes Partai Komunis. Inilah manifestasi kemenangan bersejarah dari Marxisme, kemenangan filsafat materialisme dialektis pada paro pertama abad ke-XX.

Perang Dunia Kedua usai dengan kekalahan fasisme. Sosialisme bukannya terbasmi, malah kian berkembang biak. Usaha burjuasi internasional untuk melenyapkan sosialisme tidaklah berhenti. Burjuasi berpendirian bahwa eksistensi sosialisme berarti ancaman bagi kelangsungan hidup sistim kapitalisme. Karena itu, semenjak zaman Truman dan Churchill usaha membasmi sosialisme berlanjut dengan dilancarkannya the policy of containment, politik membendung komunisme sejagat dibawah komando Amerika Serikat. Inilah yang dinamakan PERANG DINGIN. PERANG DINGIN, usaha membasmi komunis dimana saja di muka bumi, melanda dunia mulai pertengahan abad ke-XX. Eksistensi negara-negara sosialis dan gerakan komunis dianggap ancaman bagi kelangsungan hidup kapitalisme, mengancam way of life Amerika. Karena itu pembasmian komunisme merupakan strategi global Amerika Serikat. Realisasi strategi global ini dilakukan dibawah komando National Security Council (NSC) – “Politbiro PERANG DINGIN”, yang diketuai Presiden, beranggotakan antara lain Menteri Pertahanan, Menteri Luarnegeri, Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata, tokoh-tokoh politik pilihan. Tahun 1947 didirikanlah CIA yang bekerja secara terbuka dan rahasia, demi membasmi komunisme. Dilaksanakan Plan Marshall untuk membendung meluasnya pengaruh Uni Sovyet di Eropa. Dibangun pakta-pakta militer NATO, CENTO, SEATO, ANZUS mengepung negeri-negeri sosialis. Tahun 1947-1948 berlangsunglah penyingkiran dan pembendungan wakil-wakil komunis dalam pemerintahan Perancis dan Itali; terjadi pembasmian pimpinan utama Partai Komunis Indonesia dengan “Peristiwa Madiun 1948” ; disusul Perang Korea 1950-1953 demi membendung kemajuan komunisme di Asia Timur; dikobarkan Perang Vietnam 1954-1975 untuk membendung kemajuan komunisme di Asia Tenggara; berlangsung pembasmian Patrice Lumumba di Konggo; terjadi invasi bersenjata yang dikendalikan CIA di Playa Giron tahun 1961 untuk menggulingkan pemerintah Kuba yang dipimpin Fidel Castro; berlangsung pembantaian kaum komunis dan Sukarnois di Indonesia tahun 1965-1966 sampai berdirinya kekuasaan orba selama 32 tahun, dilakukan blokade terhadap Kuba hampir selama setengah abad, berlangsung berbagai usaha membunuh Fidel Castro dan menggulingkan pemerintahan Kuba yang revolusioner, ...... sampai-sampai penggulingan pemerintah dan pembunuhan Salvador Allende di Chili, dan berkobar penggalakan subversi untuk “perubahan secara damai” di semua negara sosialis. Demikianlah perwujudan PERANG DINGIN, realisasi the policy of containment yang dilancarkan Amerika Serikat untuk membasmi komunisme demi menguasai dunia. Dunia pun jadi penuh ketegangan dengan berlangsungnya perlombaan persenjataan besar-besaran.

Semenjak semula, Lenin mempunyai gagasan untuk memenangkan sosialisme liwat perlombaan damai dengan kapitalisme, yaitu menempuh jalan koeksistensi secara damai antara sosialisme dengan kapitalisme. Gagasan ini dihadang PERANG DINGIN yang menggelora. Pengeluaran besar-besaran dalam perlombaan persenjataan telah mendatangkan beban besar di pundak URSS. Ini merupakan salah satu sebab utama terpukul dan terlantarnya pembangunan perekonomian Uni Sovyet di ujung abad ke-XX.

Pembasmian kaum komunis Indonesia 1965-1966 hanyalah merupakan satu mata-rantai, merupakan bagian kecil dari rencana global pembasmian komunisme sejagat. Pembantaian manusia ini lebih mengerikan dan lebih terkutuk dari Perang Korea maupun Perang Vietnam. Dalam perang Korea dan Perang Vietnam, Amerika Serikat mengerahkan pasukannya memerangi rakyat Korea dan rakyat Vietnam, hingga di Korea jatuh korban 57.120 tentara Amerika mati dan luka-luka, di Vietnam jatuh korban 40.000 tentara Amerika mati dan hampir 4000 pesawat terbang musnah, dengan pengeluaran sampai 136 milyar dollar. Sedangkan genosida di Indonesia berlangsung dengan mengadu orang Indonesia membunuh orang Indonesia.

Komando pembasmian komunisme sejagat berada di tangan NSC Amerika Serikat—Politbiro PERANG DINGIN. Untuk pelaksanaan keputusan-keputusannya, NSC mempunyai aparat-aparat yang canggih. Ada Korps Diplomatik AS yang tersebar di semua negeri di seluruh dunia. Ada CIA dan FBI. CIA mempunyai agen-agen di banyak negeri. Ada tiga Angkatan Bersenjata dengan Armada Ke-VII yang bisa merondai semua pelosok samudera di dunia. Ada sejumlah Akademi Militer Amerika yang bisa mendidik perwira-perwira terpilih dari banyak negeri. Hasil didikan akademi militer ini, sadar atau tidak sadar, dapat menjadi alat pelaksana the policy of containment. CIA menggunakan berbagai lembaga riset seperti RAND Corporation, Ford Foundation, Rockefeller Foundation, Carnegie Corporation, yang bisa mengucurkan dana buat merekrut sarjana-sarjana berbagai negeri untuk melakukan riset dan melakukan penulisan yang mengabdi pada realisasi the policy of containment, terdapat sejumlah universitas yang membangun lembaga-lembaga studi dan pusat penelitian seperti universitas Berkeley, Harvard, Princeton, Columbia, Chicago, Pennsylvania, MIT, John Hopkins, yang memberikan beasiswa pada mahasiswa untuk dididik dan melakukan riset. Untuk mengimbangi teori ekonomi komunisme, Walt W.Rostow, salah seorang pakar dari MIT Center for International Studies menghasilkan karya terkenal STAGES OF ECONOMIC GROWTH—a Non-communist Manifesto—yang memaparkan teori tentang lepas landas dalam ekonomi. Tak sedikit tokoh orba yang jadi pengikut Rostow, menguar-uarkan bahwa Indonesia akan berlepas landas pada tahun 2000. Di samping itu, dibangun dan digalakkan pemancar Radio Svoboda—Radio Free Europe, Radio Free Asia—untuk mensubversi negeri-negeri sosialis, dengan mengobarkan histeria anti-komunisme. Terhadap Indonesia, usaha subversi sudah digalakkan dengan CIA membantu PRRI-Permesta mendirikan negara tandingan melawan Republik Indonesia. Kegagalan dalam membantu PRRI-Permesta tidaklah menyebabkan berhentinya usaha Amerika Serikat menggulingkan Bung Karno. Dikala Perang Vietnam sedang memuncak, NSC pun memutuskan untuk menyingkirkan Sukarno. Dalam bulan Maret 1965, Komite 303 dari NSC menyetujui program aksi CIA-Kementerian Luar Negeri AS untuk mengurangi pengaruh PKI dan Tiongkok serta mendukung unsur-unsur non-komunis di Indonesia.

Peristiwa Indonesia tahun 1965 adalah peristiwa politik. Intinya adalah peristiwa penggulingan Bung Karno. Pembunuhan besar-besaran atas kaum komunis dan Sukarnois adalah jalan untuk menggulingkan Bung Karno. Ini adalah pelaksanaan keputusan NSC yang sudah menetapkan untuk menyingkirkan Sukarno. Oleh karena itu, walaupun badan-badan intel Inggris, Australia, Malaysia ikut terlibat, dalang dari pembunuhan besar-besaran di Indonesia tahun 1965-1966 adalah National Security Council Amerika. Soeharto dan kaum kanan Angkatan Darat Indonesia adalah eksekutor, adalah pelaksana belaka dari gagasan NSC Amerika Serikat. Tentu, Soeharto yang punya ambisi untuk berkuasa, telah menggunakan kaum kanan Angkatan Darat untuk berkuasa. Soeharto yang tangannya berlumuran darah adalah bertanggungjawab atas pembantaian itu.

Penyingkiran Sukarno sudah menimbulkan korban besar. Korbannya bukan hanya Bung Karno dan kaum komunis, tetapi juga massa pendukung Bung Karno, bahkan jutaan rakyat Indonesia yang tak bersalah. Dibunuh, disiksa, dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru, dipecat dari pekerjaan, dilarang jadi pegawai negeri; warga negara suku Tionghoa didiskriminasi dan dikucilkan, dibangkitkan kebencian pada suku Tionghoa. Demikianlah akibat realisisasi the policy of containment Amerika Serikat ini. Jelas sekali bahwa dalang dari dalangnya peristiwa 1965 Indonesia adalah NSC Amerika Serikat, yaitu Politbiro PERANG DINGIN, yang telah memutuskan keharusan menggulingkan Sukarno. Penggulingan Bung Karno adalah salah satu mata rantai, hanya satu bagian dari realisasi the policy of containment pelaksanaan PERANG DINGIN yang dikobarkan Amerika Serikat.

Mata-rantai penting lainnya dari PERANG DINGIN adalah ofensif “perubahan secara damai” untuk membasmi URSS, menggalakkan perlombaan persenjataan besar-besaran. Ofensif ini menimbulkan pukulan dasyat secara ekonomi dan politik bagi Uni Sovyet. Timbul dan berkembang pula kontradiksi-kontradiksi antarnegara-negara sosialis yang tak terpecahkan secara tepat. Pakta Warsawa yang anggota-anggotanya terdiri dari negara-negara sosialis Eropa, yang dibentuk untuk menghadapi NATO dibubarkan; sedangkan NATO memperkuat dan memperluas diri. Seiring dengan itu, muncul dan merajalelalah kontradiksi antaretnis dalam URSS, Yugoslavia dan berbagai negara sosialis lainnya. “Tembok Berlin” yang dimaksudkan untuk membentengi ibu-kota Republik Demokrasi Jerman dari intervensi kekuatan anti-sosialisme dari Barat dirobohkan tahun 1989. Tak tertahankan, penyatuan Jerman membuat ambruknya Republik Demokrasi Jerman ditelan Republik Federal Jerman. Pyeryestroika dan Novoye Mishlyeniye (Perestroika dan Pemikiran Baru) yang digalakkan Gorbacyov membuat hancur Uni Sovyet. Sesudah berkibar hampir selama tiga perempat abad, bendera merah berpalu arit dikerek turun dari puncak istana Kremlin. Dengan demikian, URSS pun lenyap dari peta politik dunia. Presiden George Bush dalam pedato kenegaraannya awal 1992 memproklamirkan usainya PERANG DINGIN dan mampusnya komunisme.

Sebelum itu, semua negeri sosialis lainnya pun sudah jadi sasaran. Pergolakan di Polandia menggulingkan sistim sosialis mendapat dukungan penuh bahkan dengan campur tangan Amerika Serikat. Ini menjalar ke Hongaria, Rumania, Jerman Timur sampai rontoknya “Tembok Berlin”. Bahkan Tiongkok pun kecipratan, hingga terjadi Peristiwa Tian An Men tahun 1989, yang oleh sementara pengamat Barat dinyatakan sebagai gerakan demokratis. Sesungguhnya, hakekat peristiwa ini adalah usaha untuk menggulingkan sistim sosialis. Karena keteguhan PKT membela sosialisme, dibawah pimpinan Deng Xiaoping, usaha ini dapat digagalkan.

Peristiwa-peristiwa besar ini adalah demonstrasi pukulan dan kemunduran bagi gerakan sosialisme dan komunisme dunia di ujung abad ke-XX. Francis Fukuyama, pembela tangguh kapitalisme, tampil dengan karyanya THE END OF HISTORY AND THE LAST MAN dengan kesimpulan bahwa dunia sudah sampai pada “akhir sejarah”, “komunisme sudah diungguli oleh demokrasi liberal”. Sesudah itu, Samuel P. Huntington pakar terkemuka pembela politik penguasa Amerika Serikat tampil dengan karyanya THE CLASH OF CIVILIZATIONS AND THE REMAKING OF WORLD ORDER. Huntington menyangsikan kebenaran tesis Fukuyama, bahwa komunisme sudah diungguli oleh demokrasi liberal. Tapi dengan menganalisa usainya PERANG DINGIN, Huntington menilai, bahwa kini di dunia terdapat berbagai bentuk otoritarianisme, nasionalisme, korporatisme dan komunisme pasar seperti di Tiongkok. Pembagian umat manusia oleh PERANG DINGIN sudah selesai. Kini pembagian yang lebih fundamental umat manusia tetap ada dalam bentuk etnisitas, keagamaan dan peradaban-peradaban, dan akan menelorkan konflik-konflik baru. Dunia akan terjerumus ke dalam benturan peradaban-peradaban.

Dalam kenyataan, memang demokrasi liberal tidaklah berhasil menunjukkan keunggulannya sebagai pengganti sistim sosialisme di berbagai negara sosialis yang sudah ambruk. Dan sosialisme tidaklah punah di muka bumi. Tiongkok dengan rakyat seperlima penduduk dunia secara mengagumkan bangkit membangun sosialisme berkepribadian Tiongkok. Betapa pun adanya sementara orang yang menyatakan, bahwa Partai Komunis Tiongkok sudah mencampakkan komunisme, bahwa Tiongkok telah jadi negara kapitalis, tapi Tiongkok telah mengagumkan lawan dan kawan dengan pertumbuhan ekonominya lebih dari 9 % setahun selama dua dasawarsa. Dan dalam kenyataan, kekuasaan politik di Tiongkok adalah satu varian dari diktatur proletariat, yaitu kediktatoran demokrasi rakyat, kekuasaan politik dengan sistim kerjasama multi-partai dibawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok. Ajaran komunisme tidak dicampakkan. Dalam Konstitusi Partai Komunis Tiongkok dinyatakan bahwa ideologi pembimbing Partai adalah Marxisme-Leninisme, Pikiran Mao Zedong, Teori Deng Xiaoping dan pikiran penting “Tiga Mewakili”. Undang Undang Dasar negara Republik Rakyat Tiongkok tahun 2004 mencantumkan bahwa tugas utama bangsa Tionghoa di tahun-tahun mendatang adalah memusatkan usaha untuk modernisasi sosialis. Di bawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok dan bimbingan Marxisme-Leninisme, Pikiran Mao Zedong, Teori Deng Xiaoping dan pikiran penting “Tiga Mewakili”, rakyat Tiongkok akan melanjutkan berpegang pada kediktatoran demokrasi rakyat dan menempuh jalan sosialis, dengan teguh menyempurnakan lembaga-lembaga sosialis, mengembangkan demokrasi sosialis, menyempurnakan sistim hukum sosialis dan bekerja keras serta berdiri di atas kaki sendiri untuk memodernisasi industri, pertanian, pertahanan nasional dan ilmu serta tekhnologi setapak demi setapak untuk mengubah Tiongkok menjadi negeri sosialis dengan kebudayaan dan demokrasi yang tinggi. Perkembangan ekonomi Tiongkok yang menakjubkan terjadi sebagai hasil realisasi isi Undang Undang Dasar tersebut. Rakyat Tiongkok yang rajin lagi cerdas, di bawah pimpinan yang tepat secara mengagumkan telah berhasil membangun bendungan Tiga Ngarai di Sungai Yangtze, bendungan pembangkit tenaga listrik terbesar di dunia, berhasil membangun jalan kereta api yang tertinggi dari permukaan laut meliwati dataran tinggi Tibet sampai ke ibukota Tibet, Lhasa; untuk kedua kalinya berhasil membangun dan mengorbitkan pesawat ruang angkasa dengan dua orang antariksawan Nie Haisheng dan Fei Junlong. Kini mulai berjalan penghapusan semua pajak terhadap kaum tani. Penghidupan rakyat meningkat terus dengan sangat nyata. Inilah manifestasi suksesnya pembangunan sosialisme berkepribadian Tiongkok dalam kenyataan. Tahun 2005 perkembangan ekonomi Tiongkok mencapai PDB per kapita sebesar 1000 dollar Amerika. Untuk menghadapi masa selanjutnya, baru saja berlangsung sidang Pleno ke-V CC PKT ke-XVI yang merumuskan usul untuk rencana Rencana Lima Tahun Ke-XI. Kenyataan ini membantah pendapat yang menyatakan Tiongkok telah mencampakkan ekonomi berencana. Kini Tiongkok siap untuk maju melaksanakan Rencana Lima Tahun ke-XI. Sidang pleno ke-V Komite Sentral ke-XVI PKT, 12-10-2005, telah menerima baik "Usul Komite Sentral PKT Tentang Penyusunan Rencana 5 Tahun Ke-XI Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional". Direncanakan bahwa selama periode Repelita ke-XI, Tiongkok akan memelihara perkembangan ekonomi dengan mantap dan relatif cepat, akan mempercepat perubahan cara pertumbuhan ekonomi, akan meningkatkan kemampuan mandiri dan pembaruan, akan mendorong perkembangan selaras daerah kota dan desa, akan membangun desa-desa sosialis baru, akan mengintensifkan pembangunan masyarakat harmonis dan akan terus memperdalam reformasi dan keterbukaan terhadap dunia luar. Sesuai dengan tuntutan Kongres Nasional Ke-XVI PKT mengenai pembangunan masyarakat cukup sejahtera dalam 20 tahun pertama pada abad ini, sidang pleno ke-V CC ke-XVI PKT telah mengemukakan target utama pembangunan ekonomi dan sosial selama periode Repelita ke-XI, yaitu pada tahun 2010, merealisasi peningkatan 100% produk domestik bruto per kapita dari tahun 2000 di atas dasar mengoptimalkan struktur, meningkatkan hasil guna ekonomi dan menurunkan pengausan. Gerak raksasa pembangunan ekonomi besar-besaran sedang menggelora dalam pembangunan sosialisme di Tiongkok. Dalam pedatonya di depan konferensi ke-VII Menteri-Menteri Keuangan dan Gubernur-Gubernur Bank Sentral 20 negara di Beijing 15 Oktober 2005, Presiden Hu Jintao menyatakan, bahwa “Tiongkok semenjak melakukan reform dan menjalankan politik terbuka terhadap dunia luar semenjak 27 tahun yang lalu, sudah meletakkan sistim pendahuluan dari ekonomi pasar sosialis dan satu dasar struktur keterbukaan dalam semua dimensinya. Perekonomian tumbuh secara berkesinambungan dengan pesat, dan rakyat mengalami hidup yang menyenangkan. Akan tetapi, kami mengetahui dengan jelas, bahwa Tiongkok masih tetap adalah negeri sedang berkembang yang terbesar di dunia dengan jumlah penduduk sangat besar, dengan dasar ekonomi yang lemah, perkembangan yang tidak merata dan tekanan berat masalah lingkungan hidup serta tingkat hidup rakyat masih belum begitu tinggi. Karena itu, modernisasi di Tiongkok masih merupakan jalan jauh yang menanjak yang membutuhkan kerja keras untuk waktu panjang. Tiongkok sudah menetapkan tujuan membangun masyarakat yang cukup sejahtera secara menyeluruh. Tiongkok bermaksud meningkatkan Pendapatan Bruto Nasional mencapai 4 trilyun dollar Amerika atau PDB per kapita sekitar 3000 dollar Amerika dalam tempo limabelas tahun”. Disamping gagasan mengenai perkembangan perekonomian Tiongkok, kini Tiongkok maju pula dalam pembangunan sistim demokrasi sosialis. Demokrasi politik sosialis Tiongkok mempunyai ciri kepribadian Tiongkok. Ciri-cirinya adalah: demokrasi Tiongkok adalah demokrasi rakyat dibawah pimpinan Partai Komunis; demokrasi Tiongkok adalah adalah demokrasi dengan mayoritas mutlak rakyat bertindak sebagai tuan dari urusan negara; demokrasi Tiongkok adalah demokrasi yang dijamin oleh kediktatoran demokrasi rakyat; demokrasi Tiongkok adalah demokrasi dengan sentralisme demokratis sebagai prinsip organisasi dan cara pelaksanaannya.

Di samping Tiongkok, masih terdapat Republik Sosialis Vietnam, Republik Rakyat Demokrasi Korea dan Kuba yang dengan syarat yang berbeda-beda mempertahankan sistim diktatur proletariat. Maka jelas sekali, sosialisme tidaklah punah di muka bumi.

Materialisme Alat Melawan Pembodohan.

Satu setengah abad semenjak Marx menulis Tesis-Tesis Tentang Feurbach dan semenjak Manifes Partai Komunis diumumkan, materialisme dialektis telah menunjukkan keunggulan atas agnostisisme dan idealisme. Dari pandangan materialisme historis, perkembangan sejarah satu setengah abad ini adalah masa kebangkrutan feodalisme dan kemerosotan burjuasi. Burjuasi berada dalam kedudukan defensif, membela diri terhadap ofensif gagasan sosialisme yang baru tampil. Kehancuran Komune Paris, dan keambrukan URSS serta berbagai negara sosialis lainnya di Eropa, dibantainya kaum komunis Indonesia tahun 1965-1966 adalah kegagalan sementara dari gerakan sosialisme dan komunisme dunia. Ini bukanlah menunjukkan bangkrutnya gagasan mengubah dunia yang dipaparkan Manifes Partai Komunis, bukanlah bangkrutnya materialisme historis yang jadi filsafat Marxisme. Lahirnya berbagai negara nasional di Asia dan Afrika sehabis Perang Dunia kedua telah menunjukkan ambruknya sistim imperialisme. Kekalahan Amerika dalam Perang Korea yang mengorbankan 57.120 pasukan AS terbunuh dan luka-luka dan Perang Vietnam yang mengorbankan 40.000 tentara AS terbunuh dan hampir 4000 kapal terbang AS musnah dengan menelan biaya 136 milyar dollar AS menunjukkan bahwa kekuatan militer yang canggih pun tak bisa membendung perkembangan komunisme di Asia Timur dan Asia Tenggara. Invasi bersenjata dikomandoi CIA di Playa Giron tahun 1961 menunjukkan kegagalan memalukan dari operasi CIA. Blokade selama hampir setengah abad terhadap Kuba yang dijalankan Amerika Serikat mendemonstrasikan kegagalan politik Amerika membasmi pemerintah revolusioner Kuba. Merosotnya kejayaan Inggris Raya dari imperium yang menguasai dunia sampai awal abad ke-XX yang kini tinggal kekuasaan United Kingdom di pulau England menunjukkan kebangkrutan sistim imperialisme Inggris. Dalam satu setengah abad, jelas sekali dunia sudah berubah banyak. Tapi perubahan ini masih jauh dari tuntas. Imperialisme yang merajai dunia sampai pertengahan abad ke-XX kini berubah jadi neo-kolonialisme. Neo-kolonialisme lebih jahat dibanding imperialisme, karena penghisapan dijalankan liwat tangan penguasa-penguasa setempat, hingga rakyat yang ditindas tidak berhadapan langsung dengan burjuasi asing, tetapi dengan burjuasi negerinya sendiri. Neo-kolonialisme yang dikomandoi Amerika Serikatlah yang memainkan peranan dalam menggulingkan Bung Karno dan terjadinya pembantaian di Indonesia tahun 1965.

Usainya PERANG DINGIN bukanlah menunjukkan sistim demokrasi liberal lebih unggul dari sosialisme. Sosialisme tidaklah punah di muka bumi. Tiongkok bersama Vietnam, Korea Utara dan Kuba bertahan membela sistim sosialisme. Tiongkok dengan tegas berkali-kali menyatakan bahwa pembangunan sosialisme berkepribadian Tiongkok dilakukan dengan jalan damai, Tiongkok membutuhkan perdamaian dunia demi pembangunan ekonominya. Boleh dikatakan, kini gagasan Lenin memenangkan sosialisme atas kapitalisme lewat perlombaan secara damai, sedang berlangsung dan berada dalam ujian. Berkenankah borjuasi internasional yang dikepalai Amerika Serikat menempuh jalan damai, berlomba dan bersaing dengan gagasan sosialisme dalam koeksistensi secara damai?

Indonesia yang sudah empat dasawarsa dikuasai kediktatoran militeris orba, jadi dirundung malapetaka pembodohan, hingga kita kini hidup di Zaman Edan, zaman jahiliyah. Begitu edannya zaman kita, hingga terjadilah “sang pembunuh dengan bangga menyatakan memberi maaf kepada si terbunuh”, “sang pengkhianat Pancasila menuduh lawannya mengkhianati Pancasila”! Jelas sekali, jargon-jargon politik orba adalah jargon-jargon yang anti demokrasi, yang fasistis. Menjadikan Pancasila “satu-satunya asas bernegara, berbangsa dan bermasyarakat “, menjadikan Pancasila “sumber dari segala sumber” adalah bertentangan dengan ajaran Bung Karno, bahwa Pancasila adalah dasar negara. Putusan-putusan seminar ke-II Angkatan Darat yang melahirkan gagasan Dwi-fungsi ABRI yang anti-demokrasi, yang mengharuskan penggantian istilah Tionghoa dengan Cina bertujuan membangkitkan kebencian atas warga negara suku Tionghoa, pembantaian dan pemenjaraan jutaan warganegara tak bersalah tanpa diadili adalah pelanggaran hak-hak asasi manusia yang tak ada bandingannya dalam sejarah. Sesudah ambruknya URSS, anti Tiongkok merupakan benang merah dari the policy of containment Amerika. Dalam strateginya membendung komunisme dunia, kaum kanan Amerika Serikat secara tangguh sampai kini masih menggalakkan terus gagasan adanya “ancaman Tiongkok”. Inilah mentalitas PERANG DINGIN yang masih gentayangan, walaupun PERANG DINGIN dinyatakan sudah usai.

Politik orba terhadap Tiongkok di bawah kekuasaan Soeharto adalah sesungguhnya mengabdi pada realisasi the policy of containment di Indonesia, realisasi politik pembendungan komunisme, adalah pelaksanaan strategi PERANG DINGIN. Kebijaksanaan orba berkembang sampai melarang penggunaan bahasa dan aksara Tionghoa, mengharuskan mengganti istilah Tionghoa dengan kata Cina demi membangkitkan kebencian pada suku Tionghoa, melarang sekolah-sekolah dan surat-surat kabar berbahasa Tionghoa, melarang rakyat melangsungkan pesta Hari Raya Imlek, bahkan menggalakkan penggantian nama Tionghoa dengan nama Indonesia. Tak bisa diartikan lain, bahwa ini adalah politik rasialis anti demokrasi yang fasistis.

Dengan melaksanakan pembasmian kaum komunis dan Sukarnois, Soeharto dan kaum kanan Angkatan Darat telah menjadi eksekutor, pelaksana tangguh dari the policy of containment di Indonesia. Di bawah kekuasaan orba Soeharto terbinalah zaman jahiliyah, zaman pembodohan, ZAMAN EDAN. Dengan cara pembodohan, cara propaganda a la Goebels, berlangsung pemalsuan sejarah. Panca Sila bukan lagi jadi alat pemersatu bangsa, tapi jadi alat pentungan membasmi lawan politik orba dengan menggunakan tuduhan “anti-Panca Sila” atau “pengkhianatan atas Panca Sila”. Yang melawan rezim orba dituduh ”anti-Panca Sila” atau “mengkhianati Panca Sila”. Semboyan ancaman tentang “bahaya laten komunisme” pun digalakkan. “Pengkhianatan atas Panca Sila” dan “awas bahaya laten komunisme” adalah senjata orba membangkitkan histeria anti-komunisme. Walaupun Soeharto sudah lengser, mentalitas PERANG DINGIN itu kini masih bersimaharajalela. Dan kita kian terjerumus kedalam zaman jahiliah, ZAMAN EDAN.

Kenapa bisa berlangsung pembodohan dalam waktu sekian lama ? Kuncinya adalah: dicabutnya kebebasan rakyat untuk berpikir dan bersuara. Disamping itu telah dipaksakan cara berpikir yang tak ilmiah. Kebenaran tidak didasarkan pada kenyataan, pada hasil pemikiran rakyat, tapi didasarkan pada pandangan penguasa. Penguasa orba lah yang menguasai kebenaran. Hitam atau putih tergantung pada kemauan penguasa orba. Selama berkuasanya rezim orba, berkumandanglah ucapan-ucapan yang tidak masuk akal seperti: “Bung Karno adalah dalang G30S”, “Bung Karno adalah Gestapu Agung”, “Bung Karno menyelewengkan Panca Sila dengan gagasan Nasakom”, “Panca Sila bukanlah hasil galian Bung Karno”, karena itu peringatan 1 Juni sebagai hari lahirnya Panca Sila adalah dilarang, Panca Sila dikeramatkan hingga ada “Hari kesaktian Panca Sila”, “PKI adalah dalang G30S”, “PKI memberontak menggulingkan pemerintah”, “para anggota Gerwani berpesta-pora menyiksa para jenderal korban G30S”, “mata jenderal dicungkil, kemaluannya dipotong”..... dan sebagainya. Semua ini menjadi bahasa kekuasaan, yang membangkitkan histeria anti-komunisme. Pendapat yang menentang kebohongan ini, dinyatakan “anti Panca Sila”. Sejarah pun ditentukan berdasarkan pandangan orba. Kediktatoran orba memaksa rakyat menerima segala yang ditetapkan penguasa. Pandangan yang berbeda dengan pandangan orba dihukum sebagai “menentang Panca Sila”. Dan sebentar-sebentar didengungkan semboyan “bahaya laten komunisme sedang mengancam”. Rakyat hidup dalam suasana ketakutan dan terus-menerus terancam. Tak diperbolehkan bersuara yang berbeda dengan suara orba. Maka pembodohan dan jahiliyah melanda bangsa Indonesia.

Metode berpikir yang salah ikut menyumbang bagi menjalarnya pembodohan. Banyak terjadi orang berpikir bagaikan “meributkan ranting tanpa meneliti pohon”, “meributkan pohon tanpa meneliti hutan”, “meributkan Aidit tanpa meneliti NSC AS – Politbiro PERANG DINGIN – yang sudah memutuskan untuk menyingkirkan Sukarno”. Metode berpikir seperti ini pada hakekatnya adalah eklektisisme. Menggunakan eklektisisme berarti berpikir dengan bergumul pada satu kenyataan yang merupakan bahagian dari satu objek yang besar, merangkai-rangkai berbagai kenyataan, tapi melupakan kenyataan pokok yang hakiki, terus mengambil kesimpulan sesuai dengan selera si penyimpul. Eklektisisme yang menyesatkan itu sering terdapat dalam banyak hal, terutama dalam meneliti peristiwa Indonesia 1965. Peristiwa Indonesia 1965 adalah peristiwa politik. Inti masalah dalam peristiwa Indonesia tahun 1965 adalah soal penggulingan Bung Karno, sebagaimana diputuskan oleh NSC Amerika Serikat. Pemusatan riset seharusnya ditujukan pada NSC Amerika Serikat, tentang tindak tanduknya terhadap Indonesia, terutama terhadap Bung Karno. Pembantaian sekian banyak manusia Indonesia yang merupakan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang paling biadab dalam sejarah adalah akibat dari keputusan NSC itu. Dengan eklektisisme tidaklah mungkin dicapai pembongkaran dalang kejahatan ini.

Eklektisisme berguna untuk pemutar-balikkan kenyataan, untuk pembohongan, yang bermuara pada hasutan dan fitnah. Pakai eklektisisme sering disebarkan tuduhan, bahwa PKI telah mengkhianati bangsa dengan tiga kali melakukan pemberontakan. Tuduhan ini muncul dengan pembeberan sejumlah fakta tanpa hubungan dialektis, dan berakhir dengan fitnah tersebut. Walaupun banyak tulisan membantahnya, masih sering diuar-uarkan fitnah ini. Pemberontakan tahun 1926 adalah terhadap kolonialisme Belanda. Tak ada sedikit pun berbau mengkhianati bangsa. Justru ini adalah sikap patriotik, memelopori pembelaan terhadap bangsa Indonesia yang dijajah, memelopori perjuangan kemerdekaan bangsa. Peristiwa Madiun tahun 1948 bukanlah pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia. Latar belakangnya adalah Red Drive Proposals yang didalangi Amerika Serikat untuk menyingkirkan kekuatan kiri terutama komunis dari pemerintah Indonesia. Dalam peristiwa ini hampir semua pimpinan utama PKI terbunuh, termasuk Musso dan mantan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin. Ini adalah permulaan Perang Dingin melanda Indonesia. PKI telah jadi korban perdana Perang Dingin. Peristiwa tahun 1965 tidak bisa dinyatakan sebagai pemberontakan PKI terhadap negara Indonesia. PKI mendukung, bahkan ikut dalam pemerintahan Sukarno. Justru PKI lah yang menginginkan berlangsungnya pemilihan umum, tetapi dijegal oleh kekuatan kanan Angkatan Darat dengan dipelopori A.H.Nasution. Untuk maju ke kedudukan memerintah, PKI tidak berkepentingan menggulingkan Pemerintah Sukarno, lebih-lebih lagi melakukan pemberontakan. Ketakutan akan menangnya PKI jika berlangsung pemilihan umum mendorong Amerika Serikat untuk lebih cepat menggulingkan Bung Karno. Dalam Buku Putih Koptamtib tahun 1978, dideretkan fakta-fakta sejarah yang sengaja dipilih, dengan meninggalkan fakta-fakta Amerika Serikat berusaha menggulingkan Bung Karno. Ini adalah contoh penggunaan eklektisisme untuk memfitnah PKI sebagai dalang G30S dalam rangka merebut kekuasaan negara. Dengan metodologi eklektisisme yang menyesatkan itu pula Nugroho Notosusanto menerangkan, bahwa Panca Sila bukanlah hasil galian Bung Karno. Dengan demikian, Panca Sila bisa dipisahkan dari Bung Karno. Pancasila jadi bisa diinterpretasi menurut kemauan rezim orba. Fitnah yang lebih tidak masuk akal lagi adalah tuduhan PKI mengkhianati Panca Sila yang termasuk sering diuar-uarkan penguasa orba untuk mengobarkan histeria anti komunis. Dalam sejarah, justru PKI lah, bersama dengan PNI yang dengan tangguh membela Panca Sila sebagai dasar negara, sampai berlangsunngnya dua kali pemungutan suara dalam sidang Konstituante di Bandung. Demikian edannya zaman orba, hingga mereka yang menentang Panca Sila dalam Konstituante ini jadi penyangga kekuasaan orba, dan menuduh PKI anti Pancasila. Demikianlah, Indonesia dilanda pembodohan, dilanda jahiliyah.

Reformasi sesudah lengsernya Soeharto menghasilkan kebebasan menulis. Mulut yang selama ini dirajut jadi terbuka. Bermunculanlah tulisan-tulisan membela hak-hak asasi manusia, mengutuk kebiadaban rezim orba. Tapi operasi intel yang merupakan salah satu ciri kediktatoran militer giat beraksi membela orba. Perang syaraf, rekayasa-rekayasa yang dikobarkan operasi intel menghasilkan desinformasi dalam masyarakat. Intrig dan fitnah berkembang biak. Untuk memalsu sejarah, ditampilkan secara rekayasa berbagai saksi yang orang dan ucapannya sulit dicek kebenarannya.

Masalah sejarah yang selama ini dipalsukan orba, jadi sasaran kritik. Sebaliknya, banyak pula muncul tulisan-tulisan yang tidak pasti kebenarannya, yang tidak berdasarkan kenyataan, memanipulasi peristiwa sejarah. Sementara penulis memanipulasi sejarah dengan berselimut kata-kata agaknya, barangkali, bukan tidak mungkin, siapa tahu, ada perkiraan, kira-kira, bisa dipercaya, ada yang mengatakan, diduga keras, boleh jadi, sudah bisa ditebak, tampaknya, entah benar entah tidak.. Dengan didahului kata-kata “entah benar entah tidak”, menghadapi Peristiwa Madiun Hatta sebagai Perdana Menteri sudah secara kongkrit menyatakan, bahwa di Madiun telah didirikan Negara Sovyet. Betapa pun jelas jemelasnya pembohongan, sang penulis atau pembicara bisa terlindung jadi tak bersalah, karena bertudung kata-kata bersayap itu.

Nenek moyang kita mengajarkan, bahwa “Pikir itu Pelita Hati”. Artinya, dengan berpikir hati pun terang. Tanpa berpikir, gelaplah dunia. Dalam kegelapan berlangsunglah pembodohan. Terbinalah zaman jahiliyah. Untuk melawan pembodohan, haruslah merebut dan membela kebebasan berpikir. Lenyapkan kebiasaan yang serba gampang percaya. Otak harus digunakan untuk berpikir. Untuk bisa berpikir tepat, diperlukan sikap kritis serta cara berpikir yang tepat. Inilah satu-satunya jalan untuk melawan pembodohan. Maka diperlukan penggalakan cara berpikir yang ilmiah, yaitu mencari kebenaran dari kenyataan, segala-galanya bertolak dari kenyataan. Dan berpikir bukanlah hanya untuk mengenal serta memahami keadaan atau dunia. Tapi yang lebih penting adalah untuk mengubah keadaan dan mengubah dunia.

Pikiran tepat yang dikuasai rakyat akan melahirkan kekuatan yang mampu mengubah keadaan. Mampu mengubah keadaan dan mengubah dunia! Disinilah letak arti pentingnya memperingati TESIS-TESIS TENTANG FEURBACH yang ditulis Marx 160 tahun yang lalu.(rumahkiri.net)22-10-2005.

Materalisme Dialektis
By John Pickard
Tuesday, 04 April 2000
JIKA kita membahas metode Marxisme, maka kita sedang bergelut dengan ide-ide yang memberikan basis bagi aktivitas-aktivitas kita dalam gerakan buruh, argumen-argumen yang kita kemukakan ketika kita mengikuti berbagai diskusi, dan artikel-artikel yang kita tulis.

Telah secara umum diterima bahwa Marxisme mengambil bentuknya dari tiga akar pokok. Salah satu dari akar itu ialah analisis Marx tentang politik Prancis, khususnya revolusi borjuis di Prancis tahun 1790an, dan perjuangan-perjuangan kelas berikutnya selama awal abad ke-19. Akar lain dari Marxisme adalah apa yang disebut 'ekonomi Inggris', yaitu analisis Marx tentang sistem kapitalis seperti yang berkembang di Inggris. Akar ketiga dari Marxisme, yang menurut sejarahnya merupakan titik permulaan Marxisme, adalah 'filsafat Jerman', dan aspek filsafat inilah yang ingin saya bahas di sini.

Untuk memulainya, kita katakan bahwa basis Marxisme adalah materialisme. Maksudnya, Marxisme dimulai dengan ide bahwa materi adalah esensi dari semua realitas, dan bahwa materi membentuk akal, dan bukan sebaliknya.

Dengan kata lain, pikiran dan segala sesuatu yang dikatakan berasal dari pikiran – misalnya ide-ide tentang seni, hukum, politik, moralitas, dan sebagainya – hal-hal ini pada kenyataannya berasal dari dunia material. 'Akal', yaitu pikiran dan proses berpikir, adalah sebuah produk dari otak; dan otak itu sendiri, yang berarti juga ide-ide, muncul pada suatu tahap tertentu dari perkembangan materi hidup. Jadi, akal adalah produk dari dunia material.

Oleh karena itu, untuk memahami sifat sesungguhnya dari kesadaran dan masyarakat manusia, sebagaimana diungkapkan oleh Marx sendiri, persoalannya adalah "bukan berangkat dari apa yang dikatakan, dikhayalkan, atau dibayangkan oleh manusia… agar sampai pada yang namanya manusia dengan bentuk seperti sekarang; melainkan berangkat dari manusia riil (nyata) dan aktif, dan berdasarkan basis proses-kehidupan riil manusia yang menunjukkan perkembangan refleks-refleks dan gaungan-gaungan ideologis dari proses kehidupan ini. Bayangan-bayangan yang terbentuk dalam otak manusia adalah juga gambaran-gambaran dari proses-kehidupan material, yang secara empiris dapat dibuktikan kebenarannya dan terikat pada premis-premis(dalil) material. Jadi, moralitas, agama, metafisika, dan segala macam ideologi serta bentuk-bentuk kesadaran yang berhubungan (serupa) dengan itu, tidaklah independent (bebas). Moralitas, agama, metafisika, dan segala macam bentuk ideologi itu tidak memiliki sejarah, tidak memiliki perkembangan; tetapi manusia, yang mengembangkan produksi material dan hubungan material mereka, mengubah – seiring dengan eksistensi riil mereka – pemikiran dan produk-produk pemikiran mereka. Kehidupan tidak ditentukan oleh kesadaran, tetapi kesadaran ditentukan oleh kehidupan. Dalam metode pendekatan pertama (non materialis), titik mulanya adalah kesadaran yang dianggap sebagai individu hidup; dalam metode pendekatan kedua (materialis), yang menyesuaikan diri (terhadap keadaanmaterial) adalah individu-individu hidup riil itu sendiri, sedangkan kesadaran dianggap hanya sebagai kesadaran mereka." (Ideologi Jerman, Bab Satu).

Karena itu, seorang materialis selalu berusaha mencari penjelasan bukan hanya tentang ide-ide, melainkan juga tentang gejala-gejala material itu sendiri, dalam hal sebab-sebab material, dan bukan campur tangan supranatural oleh Tuhan, Dewa, atau yang semacam itu. Dan ini adalah aspek yang sangat penting dari Marxisme, yang secara tegas menolak metode-metode pemikiran dan logika yang telah mapan dalam masyarakat kapitalis.

Perkembangan pemikiran ilmiah di negeri-negeri Eropa pada abad ke-17 dan 18 menunjukkan ciri-ciri yang sangat kontradiktif (bertentangan), yang masih tetap khas (serupa) dengan pendekatan para teoritisi borjuis masa kini. Di satu sisi, terdapat perkembangan ke arah metode materialis. Para ilmuwan mencari sebab-sebab. Mereka tidak semata-mata menerima gejala-gejala alam sebagai keajaiban Tuhan, melainkan mencari penjelasan atas gejala-gejala itu. Namun seiring dengan itu, para ilmuwan ini tidak memiliki pemahaman materialis yang konsisten dan menyeluruh; dan sering kali, di balik penjelasan-penjelasan tentang gejala alam, ujung-ujungnya mereka masih mencari kaitannya dengan campur tangan Tuhan dalam proses itu.

Pendekatan seperti itu berarti menerima, atau setidaknya membuka kemungkinan, bahwa dunia material yang kita diami ini dibentuk oleh keuatan dari luar dunia, dan bahwa kesadaran atau ide-ide muncul lebih dahulu, yaitu dalam hal bahwa kesadaran atau ide-ide bisa eksis (ada) secara independent (tidak terikat) pada dunia riil. Pendekatan ini, yang merupakan lawan filosofis dari materialisme, kita sebut 'idealisme'.

Menurut pendekatan idealis ini, perkembangan umat manusia dan masyarakat – baik seni, ilmu pengetahuan, dll. – ditentukan bukan oleh proses material, melainkan oleh perkembangan ide-ide, oleh penyempurnaan atau turun-temurunnya pemikiran manusia. Dan bukanlah kebetulan belaka bahwa pendekatan umum ini, dinyatakan atau tidak, ternyata menyelubungi semua filsafat kapitalisme. Para filsuf dan sejarawan borjuis secara umum menerima sistem yang ada sekarang secara apa adanya. Mereka menerima bahwa kapitalisme adalah suatu sistem yang telah lengkap dan tuntas, yang tidak bisa digantikandengan sebuah sistem yang baru dan lebih maju. Dan mereka berusaha untuk menjelaskan semua sejarah masa lalu sebagai usaha dari umat manusia yang belum maju untuk mencapai semacam 'masyarakat yang sempurna', yang mereka yakin bahwa kapitalisme telah mencapainya atau bisa mencapainya.

Jadi, jika mempelajari karya dari beberapa ilmuwan atau pemikir besar borjuis di masa lalu atau bahkan sekarang, kita dapat melihat betapa mereka cenderung untuk mencampur-adukkan ide-ide materialis dan ide-ide idealis dalam pikiran mereka. Isaac Newton misalnya, yang telah meneliti hukum-hukum mekanik, gerakan planet, dan benda-benda planet, tidak percaya bahwa proses-proses ini ditentukan oleh akal atau pikiran. Namun apa yang dia percaya ialah bahwa tenaga penggerak awal diberikan kepada semua materi, dan bahwa dorongan awal ini ditentukan oleh semacam kekuatan supranatural, yaitu oleh Tuhan.

Hal yang serupa, adalah mungkin bagi banyak ahli biologi saat ini untuk menerima ide bahwa species tumbuhan dan hewan berevolusi dari satu jenis menjadi jenis lainnya, dan bahwa manusia sendiri adalah hasil perkembangan dari species terdahulu. Namun demikian, banyak di antara mereka yang terpaku pada gagasan bahwa terdapat suatu perbedaan kualitatif antara akal manusia dengan akal hewan, yaitu bahwa ada 'jiwa yang abadi' yang meninggalkan tubuh manusia setelah kematiannya. Bahkan beberapa di antara ilmuwan yang paling termahsyur juga mencampuradukkan metode materialis dengan ide-ide idealis seperti ini, yang – kalau kita bicara secara ilmiah – ini sungguh-sungguh terbelakang, serta lebih dekat kepada magic dan takhayul daripada kepada ilmu pengetahuan.

Karena itu, Marxisme mewakili pertentangan yang sistematis dan fundamental dengan idealisme dalam segala bentuknya, dan perkembangan Marxisme mencerminkan suatu pemahaman materialis tentang apa yang tengah terjadi dalam realitas (kenyataan).

DIALEKTIKA

Dialektika secara sederhana adalah logika gerak, atau logika pemahaman umum dari para aktivis dalam gerakan. Kita semua tahu bahwa benda-benda tidaklah diam; dan benda-benda itu berubah. Akan tetapi, ada suatu bentuk logika lain yang bertentangan dengan dialektika, yang kita sebut 'logika formal', yang sekali lagi juga melekat dalam masyarakat kapitalis. Barangkali perlu untuk mulai menjelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan metode ini.

Logika formal didasarkan pada apa yang dikenal sebagai 'hukum identitas', yang menyatakan bahwa 'A' sama dengan 'A' – yaitu bahwa benda-benda adalah seperti itu apa adanya, dan bahwa benda itu berposisi pada hubungan yang tertentu (pasti) satu sama lain. Ada hukum-hukum turunan lain yang didasarkan pada hukum identitas; yaitu misalnya, jika 'A' sama dengan 'A', maka 'A' tidak mungkin sama dengan 'B' atau 'C'.

Secara sekilas, metode pemikiran ini nampak seperti pemahaman umum; dan pada kenyataannya, logika formal telah menjadi alat yang sangat penting, sarana yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan revolusi industri, yang membentuk masyarakat sekarang ini. Perkembangan matematika dan aritmatika dasar, misalnya, adalah didasarkan pada logika formal. Anda tidak bisa mengajarkan tabel perkalian atau penjumlahan kepada seorang anak tanpa menggunakan logika formal. Satu ditambah satu sama dengan dua, bukan tiga. Hal yang sama, metode logika formal juga merupakan basis bagi perkembangan ilmu mekanika, kimia, biologi, dll.

Sebagai contoh, pada abad ke-18 ahli biologi Skandinavia, Linnaeus, mengembangkan sebuah sistem klasifikasi untuk semua tumbuhan dan hewan yang dikenal. Linnaeus membagi semua benda hidup ke dalam kelas-kelas, ordO-ordo, dan keluarga; misalnya dalam ordo primata, keluarga hominid, genus homo, dan mewakili species homo sapiens.

Sistem klasifikasi merupakan sebuah langkah maju besar dalam biologi. Untuk pertama kalinya, sistem ini memungkinkan dilakukannya studi mengenai tumbuhan dan hewan yang betul-betul sistematis, untuk membandingkan dan membedakan species hewan dan tumbuhan. Tetapi sistem ini didasarkan pada logika formal. Sistem ini didasarkan pada pernyataan bahwa homo sapiens sama dengan homo sapiens; bahwa musca domestica (lalat) sama dengan musca domestica; bahwa cacing tanah sama dengan cacing tanah; dst. Dengan kata lain, sistem klasifikasi ini adalah sistem yang kaku dan pasti. Menurut sistem ini, tidak mungkin suatu species sama dengan species lain. Atau, jika bisa sama, berarti sistem klasifikasi ini akan gugur.

Hal yang sama diterapkan dalam bidang kimia, dimana teori atom Dalton merupakan langkah maju yang sangat besar. Teori Dalton didasarkan pada ide bahwa materi tersusun atas atom-atom, dan bahwa masing-masing tipe atom sama sekali khusus dan khas untuk tipe itu sendiri – bahwa bentuk dan berat suatu atom adalah khusus untuk unsur tertentu itu, dan tidak sama dengan yang lain.

Setelah Dalton, juga ada sebuah sistem klasifikasi unsur-unsur yang hampir sama kaku-nya dengan sistem Dalton, yang kembali didasarkan pada logika formal yang kaku, yang mengatakan bahwa sebuah atom hidrogen adalah sebuah atom hidrogen; sebuah atom karbon adalah sebuah atom karbon; dsb. Dan jika sebuah atom bisa menjadi atom lainnya, maka keseluruhan sistem klasifikasi ini, yang telah membentuk basis bagi ilmu kimia modern, akan gugur.

Kini penting bagi kita untuk melihat bahwa terdapat keterbatasan-keterbatasan dalam metode logika formal. Logika formal adalah metode sehari-hari yang sangat bermanfaat, dan memungkinkan kita untuk mempunyai perhitungan-perhitungan dalam mengidentifikasi benda-benda. Misalnya, sistem klasifikasi Linnaean masih berguna bagi ahli-ahli biologi; tetapi, terutama sejak munculnya karya Charles Darwin, kita juga jadi bisa melihat kelemahan-kelemahan dalam sistem klasifikasi itu. Sebagai contoh, Darwin menunjukkan bahwa dalam sistem Linnaean, tipe-tipe tumbuhan diberi nama-nama tersendiri sebagai species khusus, namun sebenarnya tipe-tipe tumbuhan itu sangat mirip satu sama lain.

Jadi, bahkan di masa Darwin, sudah mungkin untuk melihat sistem klasifikasi Linnaean, dan mengatakan, 'Oh, ternyata ada yang salah'. Dan tentu saja, karya Darwin sendiri memberikan basis yang sistematis untuk teori evolusi, yang untuk pertama kalinya mengatakan adalah mungkin bagi satu species untuk berubah (bertransformasi) menjadi species lainnya. Dan ini menunjukkan adanya lobang besar dalam sistem Linnaean. Sebelum Darwin, orang menganggap bahwa jumlah species di planet ini tepat sama dengan jumlah species yang diciptakan oleh Tuhan dalam masa enam hari proses penciptaan – kecuali, tentu saja, species-species yang musnah akibat Banjir Besar – dan bahwa species-species itu tetap tidak berubah selama berjuta-juta tahun. Namun Darwin menghasilkan ide perubahan species, sehingga tidak bisa dihindari lagi, metode klasifikasi juga harus diubah.

Apa yang berlaku di bidang biologi juga berlaku di bidang kimia. Di akhir abad ke-19, para pakar kimia menjadi sadar bahwa adalah mungkin bagi satu unsur atom untuk berubah menjadi unsur lainnya. Dengan kata lain, atom tidaklah mutlak bersifat khusus dan tertentu saja pada unsurnya sendiri. Kini kita mengetahui bahwa banyak atom, banyak unsur kimia yang tidak stabil. Sebagai contoh, uranium dan atom-atom radioaktif lainnya akan pecah dalam proses perjalanan waktu, dan menghasilkan atom-atom yang sama sekali berbeda, dan dengan kandungan serta berat kimia yang berbeda pula.

Jadi, kita bisa melihat bahwa metode logika formal mulai gugur dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Akan tetapi, metode dialektika-lah yang menyebabkan bisa ditariknya kesimpulan-kesimpulan dari penemuan-penemuan faktual ini, dan menunjukkan bahwa tidak ada kategori yang mutlak atau pasti, baik di alam ataupun di masyarakat. Sementara seorang yang mengatakan logika formal mengatakan 'A' sama dengan 'A', maka seorang yang dialektis akan mengatakan bahwa 'A' belum tentu sama dengan 'A'. Atau ambillah contoh praktis yang digunakan Trotsky dalam tulisan-tulisannya tentang hal ini: satu ons gula pasir tidak akan tepat sama dengan satu ons gula pasir lainnya. Adalah hal yang baik jika Anda menggunakan patokan takaran seperti itu untuk membeli gula pasir di toko, tetapi jika Anda lihat secara teliti, akan kelihatan bahwa takaran itu tidak tepat sama.

Jadi, kita perlu memiliki suatu bentuk pemahaman, suatu bentuk logika, yang menjelaskan kenyataan bahwa benda-benda, kehidupan, dan masyarakat, berada dalam keadaan pergerakan dan perubahan yang konstan. Dan bentuk logika itu, tentu saja adalah: dialektika.

Akan tetapi, di sisi lain, adalah salah jika kita berpikir bahwa, dialektika menyatakan bahwa proses di alam semesta adalah setara (genap) dan perlahan (gradual). Hukum-hukum dialektika – dan perlu dicatat: konsep-konsep ini kedengaran lebih rumit daripada kenyataan sesungguhnya – hukum-hukum dialektika menjelaskan cara dimana proses-proses perubahan dalam realitas terjadi.

KUANTITAS MENJADI KUALITAS

Marilah kita mulai dengan hukum transformasi dari kuantitas menjadi kualitas. Hukum ini menyatakan bahwa proses-proses perubahan – gerak di alam semesta – tidaklah perlahan (gradual), dan juga tidak setara. Periode-periode perubahan yang relatif gradual atau perubahan kecil selalu diselingi dengan periode-periode perubahan yang sangat cepat – perubahan semacam ini tidak bisa diukur dengan kuantitas, melainkan hanya bisa diukur dengan kualitas.

Sebagai contoh, kembali kita ambil dari ilmu alam, coba kita bayangkan saat kita memanaskan air. Anda hanya bisa betul-betul mengukur ("melakukan kuantifikasi") dalam hal derajat temperatur/suhu, yaitu perubahan ketika Anda menambahkan panas terhadap air itu. Katakanlah, dari 10 derajat Celcius (ini adalah temperatur normal air keran) menjadi sekitar 98 derajat Celcius, maka perubahan itu akan tetap kuantitatif, yaitu air akan tetap berupa air, walaupun menjadi lebih panas. Tetapi kemudian akan sampai suatu tahap dimana perubahan itu menjadi kualitatif, dan air pun berubah menjadi uap. Anda tidak bisa lagi menjelaskan perubahan itu hanya secara kuantitatif ketika air itu dipanaskan dari 98 derajat menjadi 102 derajat Celcius. Kita harus mengatakan bahwa suatu perubahan kualitatif (air menjadi uap) telah terjadi akibat akumulasi perubahan kuantitatif (menambahkan panas terus-menerus).

Dan inilah yang dimaksud oleh Marx dan Engels ketika mereka menyebutkan transformasi dari kuantitas menjadi kualitas. Hal yang sama dapat dilihat pada perkembangan species. Jika kita melihat ke sekeliling, kita akan mendapati tingkat varitas dari homo sapiens. Varitas itu dapat diukur secara kuantitatif, misalnya tinggi badan, berat badan, warna kulit, panjang hidung, dll. Namun jika perubahan-perubahan evolusioner bergerak maju sampai suatu tahap, dibawah pengaruh perubahan-perubahan lingkungan, maka perubahan-perubahan kuantitatif akan berakumulasi menjadi suatu perubahan kualitatif. Dengan kata lain, Anda tidak akan lagi bisa menandai perubahan pada suatu species hewan atau tumbuhan itu hanya dengan detail-detail (rincian) kuantitatif. Species tersebut akan jadi berbeda secara kualitatif. Sebagai contoh, kita, sebagai suatu species, secara kualitatif berbeda dengan simpanse atau gorila, dan mereka ini pun secara kualitatif berbeda dengan species mamalia lainnya. Dan perbedaan-perbedaan kualitatif itu, lompatan-lompatan evolusioner itu, terjadi akibat perubahan-perubahan kuantitatif di masa lalu.

Ide Marxisme ialah bahwa akan selalu terdapat periode-periode perubahan gradual yang diselingi dengan periode-periode perubahan tiba-tiba. Dalam kehamilan, misalnya, ada suatu periode perkembangan yang gradual, dan kemudian suatu periode perkembangan yang sangat mendadak di penghujung kehamilan itu. Sangat sering kaum Marxis menggunakan analogi (perbandingan) kehamilan untuk menggambarkan perkembangan perang dan revolusi. Hal tersebut menunjukkan lompatan-lompatan kualitatif dalam perkembangan sosial; tetapi perubahan itu muncul sebagai akibat akumulasi kontradiksi-kontradiksi kuantitatif dalam masyarakat.

NEGASI DARI NEGASI

Hukum kedua dari dialektika adalah 'hukum negasi dari negasi', dan sekali lagi, ini kedengaran lebih rumit daripada yang sebenarnya. 'Negasi' dalam hal ini secara sederhana berarti gugurnya sesuatu, kematian suatu benda karena ia bertransformasi (berubah) menjadi benda yang lain. Sebagai contoh, perkembangan masyarakat kelas dalam sejarah kemanusiaan menunjukkan negasi (gugurnya) masyarakat sebelumnya yang tanpa-kelas. Dan di masa yang akan datang, dengan adanya perkembangan komunisme, kita akan mendapati suatu masyarakat tanpa-kelas yang lain, yang ini akan berarti negasi terhadap semua masyarakat kelas yang ada sekarang.

Jadi, hukum negasi dari negasi secara sederhana menyatakan bahwa seiring munculnya suatu sistem (menjadi ada/eksis), maka ia akan memaksa sistem lainnya untuk sirna (mati). Tetapi, ini bukan berarti bahwa sistem yang kedua ini bersifat permanen atau tak bisa berubah. Sistem yang kedua itu sendiri, menjadi ter-negasi-kan akibat perkembangan-perkembangan lebih lanjut dan proses-proses perubahandalam masyarakat. Karena masyarakat kelas telah menjadi negasi dari masyarakat tanpa-kelas, maka masyarakat komunis akan menjadi negasi dari masyarakat kelas – negasi dari negasi.

Konsep lainnya dari dialektika adalah hukum 'interpenetration of opposites' (saling-menerobos dari hal-hal yang bertentangan). Hukum ini secara cukup sederhana menyatakan bahwa proses-proses perubahan terjadi karena adanya kontradiksi-kontradiksi – karena konflik-konflik yang terjadi di antara elemen-elemen yang berbeda, yang melekat dalam semua proses alam maupun sosial.

Barangkali contoh paling tepat dari 'interpenetration of opposites' dalam ilmu pengetahuan alam adalah 'teori quantum'. Teori ini didasarkan atas konsep bahwa energi memiliki karakter ganda – yaitu untuk beberapa tujuan, menurut beberapa eksperimen, energi eksis dalam bentuk gelombang, misalnya gelombang elektro magnetik. Tetapi untuk tujuan-tujuan lain, energi mewujudkan diri sebagai partikel. Dengan kata lain, sama sekali diterima di kalangan ilmuwan bahwa materidan energi sebetulnya bisa eksis dalam dua bentuk yang berbeda pada satu waktu yang sama – di satu sisi, sebagai sejenis gelombang yang tak kelihatan, dan di sisi lain, sebagai sebuah partikel dengan 'quantum' (jumlah) energi tertentu yang ada di dalamnya.

Karena itu, basis dari teori quantum dalam ilmu fisika modern adalah kontradiksi. Namun ada banyak lagi kontradiksi yang dikenal dalam ilmu pengetahuan. Energi elektromagnetik, misalnya, menjadi bergerak akibat dorongan positif dan negatif atas satu sama lain. Magnetisme tergantung pada eksistensi kutub utara dan kutub selatan. Hal-hal ini tidak bisa eksis secara terpisah (sendiri-sendiri). Mereka eksis dan beroperasi justru akibat kekuatan-kekuatan yang bertentangan, yang ada dalam sistem yang satu dan sama.

Hal yang serupa, setiap masyarakat saat ini terdiri atas elemen-elemen berbeda yang bertentangan, yang bergabung bersama dalam satu sistem, yang membuat mustahil bagi masyarakat apapun, di negeri manapun untuk tetap stabil dan tak berubah. Metode dialektis – bertentangan dengan metode logika formal – melatih kita untuk mengidentifikasi (mengenali) kontradiksi-kontradiksi ini, dan dengan demikian berarti mempelajari secara mendalam perubahan yang sedang terjadi.

Kaum Marxis tidak merasa malu untuk mengatakan bahwa terdapat elemen-elemen yang bertentangan dalam setiap proses sosial. Sebaliknya, justru dengan mengenali dan memahami kepentingan-kepentingan yang bertentangan, yang terdapat dalam proses yang sama itu, maka kita akan mampu untuk mengarahkan perubahan yang diinginkan, dan konsekuensinya juga berusaha untuk mengidentifikasi maksud dan tujuan yang perlu dan mungkin dalam situasi seperti itu untuk dirumuskan dari sudut pandang kelas-buruh.

Pada saat yang sama, Marxisme tidaklah mengabaikan logika formal sama sekali. Akan tetapi, adalah penting untuk melihat – dari sudut pandang pemahaman terhadap perkembangan-perkembangan sosial – bahwa logika formal haruslah ditempatkan pada posisi kedua.

Kita semua menggunakan logika formal untuk keperluan sehari-hari. Logika formal memberikan perhitungan-perhitungan yang berguna bagi kita untuk komunikasi dan melaksanakan aktivitas sehari-hari. Kita tidak akan bisa menjalani kehidupan normal tanpa berbasa-basi menggunakan logika formal, tanpa menggunakan perhitungan bahwa satu sama dengan satu. Akan tetapi, di sisi lain, kita harus melihat keterbatasan-keterbatasan logika formal – keterbatasan-keterbatasan yang menjadi jelas dalam ilmu pengetahuan jika kita mempelajari proses-proses secara mendalam dan mendetail, dan juga ketika kita mempelajari proses-proses sosial dan politik dengan lebih teliti.

Dialektika sangat jarang diterima oleh para ilmuwan. Beberapa ilmuwan dialektis, tetapi mayoritas, bahkan sampai saat ini, selalu mencampur-adukkan pendekatan materialis dengan segala macam ide-ide formal dan idealistik. Kalau seperti itu yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan alam, maka di bidang ilmu pengetahuan sosial adalah jauh lebih parah. Penyebabnya cukup jelas. Jika Anda mencoba meneliti masyarakat dan proses-proses sosial dari sudut pandang ilmiah, maka Anda tidak bisa menghindari untuk sampai pada kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat kapitalis, dan kebutuhan untuk transformasi sosial masyarakat.

Namun perguruan-perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi pusatstudi dan penelitian, dibawah sistem kapitalis ini jauh dari independent terhadap kelas yang berkuasa dan negara. Itulah sebabnya mengapa ilmu pengetahuan alam masih memiliki suatu metode ilmiah yang cenderung kepada materialisme dialektis; tetapi ketikasampai pada ilmu pengetahuan sosial, maka Anda akan mendapati di sekolah tinggi dan politeknik, serta universitas-universitas, formalisme dan idealisme yang paling parah. Hal ini bukannya tidak berhubungan dengan kepentingan-kepentingan tertentu dari para profesor dan akademisi yang digaji tinggi. Adalah jelas dan tak bisa dihindari bahwa posisi istimewa mereka di mata masyarakat akan memiliki beberapa cerminan dan pengaruh pada apa yang harus mereka ajarkan. Pandangan dan prasangka-prasangka subyektif mereka sendiri akan disertakan dalam 'pengetahuan' yang mereka sampaikan kepada mahasiswa mereka, dan begitu seterusnya sampai ke tingkat sekolah-sekolah.

Sejarawan borjuis, khususnya, adalah di antara ilmuwan-ilmuwan sosial yang paling berpandangan sempit. Berapa banyak kita telah melihat contoh-contoh sejarawan borjuis yang membayangkan bahwa sejarah berakhir kemarin! Di sini, di Inggris, mereka semua nampaknya mengakui masa-masa mengerikan sewaktu imperialisme Inggris abad ke-17, 18, sampai abad ke-19; bahwa Inggris terlibat dalam lalu lintas perdagangan budak; bahwa Inggris juga bertanggung jawab terhadap penaklukan rakyat di tanah-tanah jajahan yang paling berdarah; bahwa Inggris juga harus bertanggung jawab terhadap eksploitasi paling buruk terhadap buruh Inggris, termasuk wanita dan anak-anak di tambang-tambang batu bara, di pabrik-pabrik pemintalan kapas, dst.

Mereka akan menerima kenyataan adanya kekejaman dan ketidakadilan ini, tetapi hanya sampai kemarin. Namun jika kita bicara tentang masa sekarang, tentu saja, mereka akan menganggap bahwa imperialisme Inggris tiba-tiba jadi demokratis dan progressif.

dan hal tersebut sepenuhnya cuma satu sisi saja, satu cara pandang yang sepenuhnya berat sebelah dalam melihat sejarah, yang secara diametris berlawanan dengan metode Marxisme. Marx dan Engels terbiasa untuk memandang proses-proses sosial dari sudut pandang dialektis yang sama sebagaimana mereka memandang alam - yaitu memandangnya dari sudut pandang proses-proses itu sebenarnya terjadi.

dalam berbagai diskusi dan debat kita sehari-hari di dalam gerakan buruh, kita akan seringkali menjumpai orang-orang yanf formalis. Bahkan banyak orang kiri akan memandang berbagai hal dalam cara yang kaku dan formal, tanpa pemahaman akan arah yand di dalamnya hal-hal tersebut tadi bergerak.

Sayap kanan di dalam gerakan buruh, dan juga beberapa orang di sayap kiri, percaya bahwa teori Marxis adalah dogma, yakni, mereka percaya bahwa "teori" itu selayaknya beban seberat 600 pound (1 pound = 2,2 kg) di atas pundak seorang aktivis, dan semakin cepat si aktivis itu membuang beban tersebut, maka ia akan bisa makin aktiv dan efektif jadinya.

namun itu adalah konsepsi yang sepenuhnya keliru mengenai keseluruhan sifat teori Marxis. pada kenyataan yang sesungguhnya, Marxisme adalah lawan dari dogma. Marxisme setepat-tepatnya adalah metode untuk memahami sepenuhnya proses-proses perubahan yang terjadi di sekitar kita.

Tidak ada satupu hal yang ajeg, dan tiada pula sesuatupun yang tetap tak berubah. adalah kaum formalis yang melihat masyarakat sebagai foto yang tak bergerak, mereka dikuasai oleh situasi-situasi yang mereka hadapi sebab mereka tidak mampu melihat bagaimana dan mengapa berbagai hal akan berubah. pendekatan macam beginilah yang dapat dengan mudah menggiring orang pada penerimaan yang dogmatis dari adanya berbagai hal sebagaimanan hal itu ada ataupun telah ada sebagai benda yang ajeg, tanpa pemahaman tentang ketidakmungkinannya perubahan untuk dielakkan.

Oleh karena itu teori Marxis adalah sepenuhnya merupakan sebuah alat esensial bagi aktivitas apapun di dalam gerakan buruh. Kita mesti secara sadar awas terhadap keuatan-kekuatan kontradiktif dalam kerja-kerja kita di dalam perjuangan kelas, agar kita dapat mengorientasikan diri kita ke dalam cara yang di dalamnya berbagai hal tengah berkembang.

Tentu saja, tidaklah senantiasa mudah untuk membebaskan diri kita dari kerangka pikir yang masih mendominasi di dalam masyarakat kapitalis dan menyerap metode Marxis. sebagaimana dikatakan Karl Marx, tidak ada jalan mulus untuk menuju ilmu pengetahuan. Kadang kala kita harus menempuh jalan berliku yang keras dalam usaha menggapai ide-ide politik yang baru.

Namun tetaplah diskusi dan mempelajari teori Marxis adalah sebuah bagian yang sepenuhnya esensial bagi setiap aktivis. Hanyalah teori yang dapat melengkapi kawan-kawan dengan kompas dan peta di tengah-tengah segala rupa kompleksitas perjuangan. sungguh bagus untuk menjadi seorang aktivis, namun tanpa pemahaman yang sadar mengenai proses-proses di mana kita terlibat di dalamnya, kita tidak akan lebih efektif daripada seorang penjelajah tanpa peta dan kompas.

Dan jika kita coba untuk menjelajah tanpa bantuan sains, kita dapat menjadi seenergik yang kita mau tetapi cepat atau lambat akan terjerembab masuk jurang dalam atau pasir hisap dan lalu hilang begitu saja, sebagaimana hal itu terjadi pada banyak aktivis selama tahun-tahun yang sudah berlalu tanpa keberhasilan.

Ide memiliki kompas dan peta adalah untuk memastikan posisi kita setepatnya. kita dapat menerka di mana kita berada pada satu saat tertentu, ke mana kita akan melangkah, dan di mana kita akan beradaa. dan itulah alasan fundamental mengapa kita perlu menggenggam teori Marxis. sebab ia membekali kita dengan sebuah panduan yang sama sekali tak ternilai harganya dalam menuntun aksi dan tindakan seajauh mana perhatian kita adalah untuk gerakan kelas buruh.(marxist.com)

Perkembangan Ekonomi dan Sosialisme
Kemenangan terbesar gerakan proletarian yang sedang berkembang adalah ditemukannya landasan yang mendukung bagi perwujudan sosialisme pada kondisi ekonomi masyarakat kapitalis. Berkat penemuan ini, sosialisme berubah dari impian ?ideal? oleh umat manusia selama ribuan tahun, menjadi sesuatu yang merupakan kebutuhan sejarah.

Bernstein menolak adanya syarat-syarat ekonomi bagi sosialisme pada masyarakat masa sekarang. Dalam hal ini, penalarannya telah mengalami suatu evolusi yang menarik. Pertama-tama, di Neue Zeit Bernstein membantah pesatnya proses konsentrasi yang terjadi dalam industri. Dia mendasarkan sikapnya atas sebuah perbandingan statistik tentang pekerjaan di Jerman tahun 1882 dan 1895. Untuk menggunakan angka-angka ini bagi tujuannya, Bernstein terpaksa harus bergerak dalam suatu model yang sama sekali bersifat ringkasan dan mekanis. Dalam hal yang paling mendukung sekalipun, Bernstein bahkan tidak bisa -dengan menunjukkan kegigihan perusahaan-perusahaan berskala menengah- sedikitpun melemahkan analisis marxian, karena analisis marxian tidak menganggap suatu tingkat konsentrasi industri yang pasti (yakni penundaan tertentu terhadap realisasi sosialisme) ataupun, sebagaimana telah kita tunjukkan, melenyapnya modal-modal kecil secara mutlak yang biasanya digambarkan sebagai melenyapnya borjuasi kecil, sebagai sebuah syarat untuk mewujudkan sosialisme.

Dalam kurun perkembangan terakhir ide-idenya, Bernstein melengkapi kita -dalam bukunya- dengan sebuah kumpulan bukti-bukti baru: statistik mengenai masyarakat-masyarakat pemegang saham. Statistik ini digunakan untuk membuktikan bahwa jumlah para pemegang saham meningkat secara konstan, dan akibatnya kelas kapitalis tidak bertambah kecil, melainkan tumbuh semakin besar. Mengagetkan bahwa Bernstein hanya memiliki sedikit sekali pengetahuan tentang materinya. Dan menakjubkan, betapa buruknya cara ia menggunakan data yang ada untuk kepentingannya sendiri.

Jika dia ingin menyanggah hukum marxian tentang perkembangan industri dengan mengacu pada masyarakat-masyarakat pemegang saham, maka seharusnya dia mengambil angka-angka yang sama sekali berbeda. Siapapun yang faham tentang sejarah masyarakat pemegang saham di Jerman mengetahui bahwa modal pondasi rata-rata masyarakat tersebut telah menurun nyaris secara konstan. Jadi, walaupun sebelum tahun 1871 kapital pondasi rata-rata mereka mencapai angka 10,8 juta mark, namun pada 1871 jumlahnya hanya sebesar 4,01 juta mark; 3,8 juta mark pada 1873; kurang dari satu juta sejak 1882 sampai 1887; 0,52 juta pada 1891; dan hanya 0,62 juta mark pada 1892. Setelah tahun ini, angka-angka berkisar di antara 1 juta mark, kemudian mencapai 1,78 juta pada 1895 dan 1,19 juta selama kurun paruh pertama tahun 1897. (Van de Borght: Handwoerterbuch der Staatsswissenschaften, 1.)

Itu adalah angka-angka yang mengagetkan. Dengan menggunakan angka-angka tersebut, Bernstein berharap untuk menunjukkan adanya suatu kecenderungan kontra-marxian bagi retransformasi bisnis-bisnis besar menjadi bisnis-bisnis kecil. Jawaban jelas terhadap upayanya itu adalah sebagai berikut. Jika anda hendak membuktikan apapun dengan sarana statistik anda, maka pertama-tama anda harus menunjukkan bahwa statistik itu mengacu pada cabang-cabang industri yang sama. Anda harus menunjukkan bahwa bisnis-bisnis kecil betul-betul menggantikan yang besar; bukan sebaliknya, bahwa bisnis-bisnis besar itu hanya muncul jika yang berlaku sebelumnya adalah bisnis-bisnis kecil atau bahkan industri kerajinan. Maka, bagaimanapun juga, anda tidak bisa merujuknya sebagai fakta yang benar. Proses perjalanan masyarakat-masyarakat pemegang saham yang luas menjadi bisnis-bisnis berskala menengah dan kecil, bisa dijelaskan hanya dengan mengacu pada fakta bahwa sistem masyarakat pemegang saham tersebut terus menerobos cabang-cabang produksi baru. Sebelumnya, hanya sejumlah kecil bisnis besar yang terorganisir sebagai masyarakat-masyarakat pemegang saham. Secara perlahan, organisasi pemegang saham telah memenangkan bisnis berskala menengah, dan bahkan bisnis berskala kecil. Sekarang ini, kita bisa mengamati adanya masyarakat-masyarakat pemegang saham dengan modal di bawah 1.000 mark.

Lantas, apa signifikansi ekonomi dari perluasan sistem masyarakat pemegang saham? Secara ekonomis, penyebaran masyarakat pemegang saham berarti sosialisasi produksi yang kian meningkat dalam bentuk kapitalis - sosialisasi bukan hanya produksi berskala besar, melainkan juga produksi berskala menengah dan kecil. Karena itu, perluasan pemegang saham tidaklah bertentangan dengan teori marxis; sebaliknya, justru menegaskan teori marxis secara empatik.

Apa sebenarnya makna dari fenomena ekonomi tentang masyarakat pemegang saham? Fenomena ini merepresentasikan, di satu sisi, penyatuan sejumlah keuntungan kecil menjadi suatu modal besar produksi. Di sisi lain, fenomena ini menunjukkan pemisahan produksi dari kepemilikan kapitalis. Yakni, ia menunjukkan bahwa sebuah kemenangan ganda dimenangkan terhadap corak produksi kapitalis - namun masih berdasarkan basis kapitalis.

Lantas, apa makna statistik yang disebutkan oleh Bernstein, yang menyatakan bahwa sejumlah pemegang saham, yang lebih besar daripada sebelumnya, kini berpartisipasi dalam bisnis-bisnis kapitalis? Memang statistik ini terus berusaha menunjukkan hal-hal sebagai berikut: di masa sekarang, sebuah bisnis kapitalis tidak bisa diidentikkan -sebagaimana sebelumnya- dengan seorang proprietor tunggal dari modal, melainkan dengan sejumlah kapitalis. Konsekuensinya, gagasan ekonomi tentang ?kapitalis? tidak lagi menandakan seorang individu yang terisolasi. Kapitalis industri sekarang ini adalah sesosok pribadi kolektif yang terdiri dari ratusan dan bahkan ribuan individu. Kategori yang dimiliki kapitalis sendiri kini menjadi suatu kategori sosial. Ia telah menjadi ?tersosialisasi? - dalam kerangka masyarakat kapitalis.

Dalam hal itu, bagaimana kita akan menjelaskan keyakinan Bernstein bahwa fenomena masyarakat pemegang saham menunjukkan persebaran, dan bukannya konsentrasi modal? Mengapa dia melihat adanya perluasan kepemilikan kapitalis, padahal Marx justru melihat peniadaannya?

Itu adalah suatu kesalahan ekonomi yang sederhana. Dengan ?kapitalis?, Bernsten tidak memaknainya sebagai suatu kategori produksi, melainkan hak atas kepemilikan. Baginya, ?kapitalis? bukanlah sebuah satuan ekonomi, melainkan satuan fiskal. Dan ?modal? bagi Bernstein bukanlah suatu faktor produksi, melainkan hanya kuantitas tertentu dari uang. Itulah mengapa dalam trust benang jahit Inggris-nya, dia tidak melihat adanya penggabungan 12.300 orang dengan uang menjadi sebuat unit kapitalis tunggal, melainkan 12.300 kapitalis yang berbeda. Itulah mengapa insinyur Schulze, yang mas kawin istrinya memberinya sejumlah besar bagian kepemilikan saham Mueller, adalah juga seorang kapitalis bagi Bernstein. Itulah mengapa bagi Bernstein, seluruh dunia nampak dipenuhi oleh para kapitalis.

Dalam hal ini juga, basis teoritis dari kesalahan ekonomi Bernstein adalah ?popularisasi?nya tentang sosialisme. Karena inilah yang dia lakukan. Dengan mentransportasikan konsep kapitalisme dari relasi-relasi produktifnya menjadi relasi-relasi kepemilikan, dan dengan hanya membicarakan individu-individu, bukannya para pengusaha, maka dia memindahkan persoalan sosialisme dari ranah produksi ke ranah relasi-relasi kekayaan - yakni dari hubungan antara modal dan kerja, menjadi hubungan antara yang miskin dan yang kaya.

Dengan cara ini, dengan sukaria kita digiring dari Marx dan Engels, kepada penulis Pengabar Injil Sang Nelayan Miskin. Bagaimanapun juga, tentu ada perbedaannya. Weitling, dengan naluri proletarian yang penuh keyakinan, melihat -pada pertentangan antara yang miskin dan yang kaya- adanya pertentangan kelas dalam bentuknya yang paling primitif, dan ingin menjadikan pertentangan-pertentangan ini sebagai pendongkrak gerakan untuk mewujudkan sosialisme. Di sisi lain, Bernstein menempatkan realisasi sosialisme di dalam kemungkinan untuk membuat yang miskin menjadi kaya. Yaitu, dia menempatkannya pada peredaan pertentangan kelas, dan berarti menempatkannya pada borjuasi kecil.

Benar bahwa Bernstein memang tidak membatasi diri hanya pada statistik tentang pendapatan. Dia juga menyediakan statistik tentang bisnis ekonomi, terutama di negeri-negeri berikut: Jerman, Perancis, Inggris, Swiss, Austria dan Amerika Serikat. Akan tetapi, statistik-statistik ini bukanlah angka-angka komparatif dari periode-periode berbeda di masing-masing negeri, melainkan dari masing-masing periode di negeri-negeri yang berbeda. Karena itu, kita tidak disodori -dengan kekecualian, yakni Jerman di mana dia mengulangi kekontrasan lama antara 1895 dan 1882- sebuah perbandingan statistik dari bisnis-bisnis di suatu negeri tertentu pada masa-masa yang berbeda, melainkan angka-angka absolut untuk negeri-negeri yang berbeda: Inggris pada 1891, Perancis pada 1894, Amerika Serikat pada 1890, dan sebagainya.

Bernstein mencapai kesimpulan berikut ini: ?Meskipun benar bahwa eksploitasi besar telah menjadi yang utama dalam industri sekarang ini, namun ia hanya merepresentasikan- termasuk bisnis-bisnis yang bergantung pada eksploitasi besar, bahkan di sebuah negeri yang telah maju seperti Prussia- separuh dari penduduknya yang terlibat dalam produksi.? Ini juga berlaku untuk Jerman, Inggris, Belgia, dan lain-lain.

Apa yang sebetulnya ia buktikan di sini? Dia tidaklah membuktikan eksistensi kecenderungan -atau memang kecenderungan- perkembangan ekonomi seperti itu, melainkan hanya hubungan absolut dari kekuatan-kekuatan bentuk bisnis yang berbeda. Atau dengan kata lain, hubungan-hubungan absolut dari berbagai kelas di masyarakat kita.

Lantas, jika seseorang ingin membuktikan -dengan cara ini- mustahilnya realisasi sosialisme, maka penalaran orang itu haruslah bersandar pada teori yang sesuai dengan hitungan kekuatan-kekuatan material dari elemen-elemen dalam perjuangan, yakni oleh faktor kekerasan. Dengan kata lain, Bernstein yang selalu bergemuruh menentang blanquisme justru terjerumus ke dalam kesalahan blanquis yang paling kasar. Namun demikian, ada perbedaannya. Bagi kaum blanquis, yang mewakili suatu kecenderungan sosialis dan revolusioner, kemungkinan bagi realisasi ekonomi sosialisme nampak cukup alami. Berdasarkan kemungkinan ini, mereka membangun peluang untuk sebuah revolusi dengan kekerasan - meskipun hanya dilakukan oleh suatu minoritas kecil. Sebaliknya, karena tidak memadainya secara jumlah suatu mayoritas sosialis, maka Bernstein pun menarik kesimpulan tentang mustahilnya realisasi ekonomi sosialisme. Bagaimanapun juga, sosial-demokrasi tidak berharap untuk mencapai tujuannya, baik sebagai hasil dari kemenangan kekerasan suatu minoritas, ataupun melalui keunggulan jumlah suatu mayoritas. Sosial-demokrasi memandang bahwa sosialisme muncul sebagai akibat dari kebutuhan ekonomi -dan pemahaman akan kebutuhan itu- yang menuju pada penggulingan kapitalisme oleh massa pekerja. Dan kebutuhan ini manifes sendiri, khususnya dalam anarki kapitalisme.

Bagaimana sikap Bernstein mengenai persoalan yang menentukan, yakni tentang anarki dalam ekonomi kapitalis? Dia hanya menolak krisis-krisis umum yang besar. Dia tidak menyangkal krisis parsial dan krisis nasional. Dengan kata lain, dia menolak untuk melihat sejumlah besar anarki kapitalisme; dia hanya melihat sebagian kecilnya. Dia adalah -menggunakan ilustrasi Marx- seperti perawan dungu yang memiliki seorang anak ?yang masih sangat kecil.? Tetapi, malangnya ialah bahwa dalam persoalan-persoalan seperti anarki ekonomi, sedikit dan banyak adalah sama buruknya. Jika Bernstein mengakui eksistensi sebagian kecil dari anarki ini, maka kita bisa menunjukkan kepadanya bahwa, dengan mekanisme ekonomi pasar, yang sebagian kecil dari anarki ini akan diperluas sampai pada proporsi-proporsi yang belum pernah terjadi sebelumnya, sampai berujung pada keruntuhan. Akan tetapi, apabila Bernstein -sembari mempertahankan sistem produksi komoditas- berharap untuk secara perlahan mentransformasikan konsepnya tentang sebagian kecil dari anarki ini menjadi tatanan dan harmoni, maka kembali ia terjerumus ke dalam salah satu dari kesalahan-kesalahan fundamental ekonomi-politik borjuis, yang berdasarkan itu corak pertukaran tidak terikat pada corak produksi.

Bukan pada tempatnya di sini untuk menunjukkan secara panjang-lebar tentang kebingungan Bernstein yang mengagetkan mengenai prinsip-prinsip paling elementer dari ekonomi-politik. Tetapi ada satu poin -hal mana kita diarahkan oleh persoalan-persoalan fundamental mengenai anarki kapitalis- yang harus segera diklarifikasi.

Bernstein menyatakan bahwa hukum Marx tentang nilai-lebih hanyalah suatu abstraksi sederhana. Dalam ekonomi-politik, pernyataan semacam ini jelas adalah suatu penghinaan. Namun, apabila nilai-lebih memang hanya merupakan suatu abstraksi sederhana, apabila ia hanya khayalan pikiran saja, maka setiap warganegara yang normal, yang telah melakukan tugas militer dan membayar pajak tepat waktu, tentunya memiliki hak yang sama dengan Karl Marx untuk membuat model absurditasnya sendiri, untuk membuat hukumnya sendiri tentang nilai-lebih. ?Marx memiliki hak yang sama untuk mengabaikan kualitas komoditas hingga tak lebih sekedar penjelmaan dari kuantitas kerja manusia, sebagaimana hak yang dimiliki ekonom-ekonom dari mazhab Boehm-Jevons untuk membuat suatu abstraksi tentang semua kualitas komoditas di luar kegunaannya.?

Yaitu, bahwa bagi Bernstein, konsep Marx tentang kerja sosial dan konsep Menger tentang kegunaan abstrak adalah cukup serupa - murni adalah abstraksi-abstraksi. Bernstein lupa bahwa abstraksi Marx itu bukanlah sebuah karangan. Ia adalah suatu pengungkapan (discovery). Abstraksi itu tidak eksis di kepala Marx, melainkan dalam ekonomi pasar. Ia tidak memiliki eksistensi imajiner, melainkan eksistensi sosial yang nyata; begitu nyata sehingga bisa dipotong, ditempa, ditimbang dan diletakkan dalam bentuk uang. Kerja manusia yang abstrak, yang diungkap oleh Marx, dalam bentuknya yang telah maju tak lain adalah uang. Itulah memang yang merupakan salah satu dari temuan-temuan besar Marx. Sedangkan bagi semua ekonom-politik borjuis, sejak masa pertama kaum mercantilist sampai tahap terakhir Romawi dan Yunani Kuno, esensi uang tetap merupakan sebuah teka-teki mistis.

Konsep mazhab Boehm-Jevons tentang kegunaan abstrak, pada kenyataannya adalah suatu kesombongan pemikiran. Atau bila dinyatakan secara lebih tepat, konsep itu merupakan representasi dari kehampaan intelektual, sebuah absurditas privat, yang mana baik kapitalisme, ataupun masyarakat apapun, tak bisa dipersalahkan atas lahirnya konsep tersebut, selain dari ekonomi borjuis yang vulgar itu sendiri. Dengan mendekap erat gagasannya itu, Bernstein, Boehm dan Jevons serta seluruh kelompoknya yang subyektif itu bisa terus-menerus kebingungan selama duapuluh tahun atau lebih mengenai misteri uang, tanpa sampai pada suatu kesimpulan yang berbeda dengan yang dicapai oleh tukang sepatu, yakni bahwa uang juga adalah sesuatu ?yang berguna?.

Bernstein telah kehilangan semua pemahaman tentang hukum nilai-lebih Marx. Siapapun yang memiliki sedikit saja pemahaman tentang ekonomi marxian bisa melihat bahwa tanpa adanya hukum nilai-lebih, doktrin Marx tak bisa dipahami. Atau lebih konkretnya, bagi siapapun yang tidak memahami sifat komoditas dan pertukarannya, keseluruhan ekonomi kapitalisme dengan semua rentetannya, pastilah tetap merupakan sebuah teka-teki.

Apa yang merupakan kunci, yang memungkinkan Marx membuka pintu rahasia dari fenomena kapitalis, dan memecahkan -seolah sambil bermain- permasalahan-permasalahan yang bahkan tidak pernah dicurigai oleh pemikiran-pemikiran terbesar dalam ekonomi borjuis klasik? Sesuatu itu adalah konsepsi Marx tentang ekonomi kapitalis sebagai sebuah fenomena historis, bukan hanya dalam makna hal-hal yang dengan paling baik diakui oleh para ekonom klasik -yakni ketika ia berkenaan dengan masa lalu kapitalisme yang bersifat feodal- melainkan juga sejauh ia berkenaan dengan masa depan sosialis dunia. Rahasia teori Marx tentang nilai, analisisnya tentang permasalahan uang, teorinya tentang modal, teorinya mengenai tingkat keuntungan, dan konsekuensinya juga tentang keseluruhan sistem ekonomi yang kini ada, didapati pada karakter peralihan dari ekonomi kapitalis, tak terhindarkannya keruntuhan ekonomi kapitalis yang menuju -dan ini hanyalah suatu aspek lain dari fenomena yang sama- kepada sosialisme. Itu semata-mata karena Marx melihat kapitalisme dari sudut pandang sosialis, yakni dari sudut pandang historis, maka dia menjadi mampu menguraikan seluk-beluk ekonomi kapitalis. Dan memang karena Marx mengambil sudut pandang sosialis sebagai batu pijakan bagi analisisnya tentang masyarakat borjuis, maka dia berada dalam posisi untuk memberikan basis ilmiah bagi gerakan sosialis.

Inilah ukuran bagi kita untuk mengevaluasi ucapan-ucapan Bernstein. Dia mengeluhkan ?dualisme? yang ditemukan di sana-sini dalam karya monumental Marx, Kapital. ?Karya tersebut diharapkan menjadi suatu kajian ilmiah, dan sekaligus membuktikan sebuah tesis yang telah secara lengkap dielaborasi lama sebelum penyuntingan buku itu. Buku itu didasarkan atas suatu skema yang telah mengandung hasil yang ingin diarahkan oleh Marx. Kembalinya ke Manifesto Komunis (yakni tujuan sosialis! - R.L.) membuktikan adanya sisa-sisa utopianisme dalam doktrin Marx.?

Akan tetapi, apa itu ?dualisme? Marx, kalau bukan dualisme antara masa depan sosialis dan masa kini kapitalis? Ia adalah dualisme antara kapitalisme dan kerja, dualisme antara borjuasi dan proletariat. Ia adalah refleksi ilmiah tentang dualisme yang ada dalam masyarakat borjuis, dualisme pertentangan kelas yang menggeliat di dalam tatanan sosial kapitalisme.

Pemahaman Bernstein tentang dualisme teoritis dalam pemikiran Marx ini sebagai ?bertahan hidupnya utopianisme? sungguh-sungguh adalah pengakuan yang naif bahwa dirinya menolak adanya pertentangan kelas dalam kapitalisme. Itu adalah pengakuannya, bahwa sosialisme baginya hanya sekedar ?bertahan hidupnya utopianisme?. Apa yang merupakan "monisme" Bernstein -kesatuan Bernstein- selain dari kesatuan abadi rejim kapitalis, kesatuan dari mantan sosialis yang telah menanggalkan tujuannya, dan memutuskan untuk menemukan dalam masyarakat borjuis, satu dan selamanya, tujuan dari perkembangan manusia?

Bernstein tidak melihat dalam struktur kapitalisme adanya perkembangan yang menuju pada sosialisme. Namun, untuk melestarikan program sosialisnya, setidaknya dalam bentuknya, dia terpaksa mencari perlindungan dalam suatu konstruksi idealis yang ditempatkan di luar semua perkembangan ekonomi. Dia terpaksa mentransformasikan sosialisme itu sendiri dari suatu fase sejarah yang pasti dalam perkembangan sosial, menjadi suatu "prinsip" yang abstrak.

Itulah mengapa "prinsip koperasi" -sedikit tuangan sosialisme, yang dengan itu Bernstein berharap bisa mewarnai ekonomi kapitalis- muncul sebagai suatu konsesi yang dilakukan bukan demi masa depan masyarakat sosialis, melainkan demi masa lalu sosialis Bernstein sendiri.

0 komentar

Posting Komentar

ANALOG


Label

Arsip Blog

BUKU TAMU


Free chat widget @ ShoutMix

VISITOR THE PAGE

RECENT VISITOR

TRAFFIC FISITOR

MY FAMILY

MY FAMILY






MY HEART

MY HEART