Nasr Hamid Abu Zayd  

Posted by DENBAGUS in

 Pembacaan Ilmiah Terhadap Al-Qur`an

Masa kanak-kanak Nasr Hamid Abu Zayd adalah masa-masa panas dan menegangkan dalam sejarah Mesir, tetapi juga umumnya sejarah negara-negara yang disebut dunia ketiga. Seteleh terlepas secara formal dari jajahan pemerintahan kolonial, negara-negara ini segera dihadapkan pada upaya pemerintahan sendiri dan penentuan format kenegaraan yang hendak diwujudkan. Pada saat itulah muncul berbagai macam ideologi dan pemikiran yang saling berkompetisi, baik yang bercorak keagamaan maupun yang sekuler, tetapi yang dominan kala itu adalah ideologi nasionalisme Arab yang bercorak sekuler yang merupakan ideologi resmi regime Gamal Abdul Nasser yang berkuasa.
Sebagai tandingan dari ideologi negara ini adalah gerakan kalangan Islamis yang terhimpun dalam al-Ikhwanul Muslimun[2]. Mereka ini berjuang untuk mewujudkan suatu sistem pemerintahan yang bisa memenuhi standar pemerintahan yang Islami seperti yang mereka bayangkan, baik dalam bentuk maupun cita-cita ideologisnya. Pada masa-masa inilah Sayyid Qutb mencuat dengan gagasan tentang keadilan sosial menurut Islam, suatu tema yang tentunya tidak lepas dari bayang-bayang ideologi sosialis yang menguasai kebanyakan dunia ketiga saat itu. Ia misalnya telah menulis sebuah buku yang berjudul al-Islam wa Al-`adalah Al-Ijtima`iyyah (Islam dan Keadilan sosial). Nasr Hamid Abu Zayd sendiri juga tidak terlepas dari arus besar ini. Ketika al-Ikhwan al-Muslimun kian menguat dan memiliki banyak cabang di seantero pelosok Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd pun turut pula bergAbu ng dalam gerakan ini. Bahkan dalam usianya yang masih belia (12 Tahun) ia telah merasakan tahanan penjara ketika pihak keamanan melakukan serangkaian penangkapan terhadap para aktifis Ikhwan.
Abu Zayd menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Tanta. Ketika ia baru berumur 14 tahun ayahnya meninggal dunia sehingga, sambil bersekolah, ia juga harus bekerja untuk menopang kebutuhan keluarganya. Pada tahun 1960 Abu Zayd berhasil menyelesaikan studinya di Sekolah teknik, setelah itu selama 12 tahun (sampai 1972) ia bekerja sebagai teknisi di Lembaga Komunikasi Nasional. Pada periode inilah Abu Zayd mulai tertarik dengan gerakan sosialisme dan revolusi yang merupakan trend yang dominan di Mesir pada tahun 1960-an. Tulisan ilmiah pertamanya – yang diterbitkan dalam Al-Adab (Oktober 1964) – bahkan mengulas tentang kesusastraan di kalangan para buruh dan petani yang ia tulis ketika baru berumur 21 Tahun. Pada saat itu Nasr Hamid Abu Zayd juga mulai menunjukkan sikap kritisnya terhadap gerakan Ikhwanul Muslimun, meski belum ia tunjukkan dalam tulisan-tulisannya.
Pada tahun 1968, sembari tetap bekerja dilembaga tersebut, Abu Zayd memulai studinya di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Kairo. Studinya ini berhasil diselesaikan pada tahun 1972 dengan memperoleh penghargaan tertinggi. Karena prestasinya yang menonjol ini, pada tahun itu juga ia diangkat sebagai asisten dosen di almamaternya. Semula, sesuai dengan minatnya dari awal, Nasr Hamid ingin menekuni bidang kritik sastra dan bukannya studi Islam. Tetapi pihak jurusan bahasa dan sastra Arab mewajibkan setiap tenaga pengajar yang baru bergAbu ng untuk mengambil spesialisasi dibidang studi Qur`an dan Hadits. Inilah yang membuat Abu Zayd mengubah fokus kajiannya dari bidang linguistik dan kritik sastra murni menjadi menekuni studi Qur`an, meski ia sendiri semula sangat enggan melakukannya[3]. Abu Zayd akhirnya bersedia mengambil spesialisasi studi Al-Qur`an ini tapi ia terlebih dulu mengajukan syarat agar diberi kebebasan untuk memilih pembimbing untuk studi lanjutannya. Abu Zayd kemudian memilih Profesor Abd al-Aziz al-Ahwani. Seperti diakui Abu Zayd, inilah awal perkenalannya secara ilmiah dengan tradisi keagamaan Arab.
Tesis Abu Zayd menelaah tentang konsep metafor yang terdapat dalam ilmu retorika Adab (Balaghah) menurut aliran teologi rasional Mu`tazilah[4]. Setelah selama empat tahun menganalisis dan membandingkannya wacana golongan Mu`tazilah dan para penentangnya, Abu Zayd sampai pada kesimpulannya bahwa penafsiran teks agama dalam Qur`an telah menjadi bagian yang integral dari kerangka kognitif dalam kesadaran Arab-Islam. Setiap konsep intelektual yang dicetuskan berusaha didapatkan legitimasi dan pembenarannya dari Qur`an. Akibatnya, penafsiran Al-Qur`an telah menjadi salah satu perangkat yang digunakan dalam pertarungan intelektual, sosial dan politik. Penelitian disertasi Abu Zayd tentang hermeneutika mistis Muhyiddin ibn al-Arabi juga mendapati hal yang sama dan bahwa semua agama ternyata dipengaruhi oleh faktor-faktor sosio-politis dan kultural semasanya[5].
Lebih jauh, Abu Zayd bahkan juga mendapati bahwa hal yang sama terdapat pula pada fenomena sosial-politik Mesir kontemporer. Ketika itu Anwar Sadat baru saja menggantikan Gamal Abdul Naser. Seiring dengan perubahan tendensi politik dari regime yang baru ini dari ideologi sosialis ke retorika Islam, maka muncul pula corak Islam yang berbeda dalam pentas perpolitikan Mesir. Jika sebelumnya Islam lebih digambarkan sebagai agama keadilan sosial sejalan dengan ideologi sosialisme Nasserian, maka dengan kebijakan ekonomi pintu terbuka (infitah) pada era Sadat ini gambaran tentang Islam juga turut berubah sebagai agama yang melindungi hak kepemilikan pribadi. Jika sebelumnya, untuk menghadapi agresi Israel, Islam cenderung digambarkan sebagai agama jihad, maka kini Islam digambarkan sebagai agama perdamaian karena Sadat justru menjalin perdamaian dengan Israel.
Semenjak masa Sadat ini pula gerakan Islam memperoleh tempat kembali di tengah arena perpolitikan Mesir dan dengan demikian kian mengintensifkan penggunaan jargon-jargon agama dalam menyikapi berbagai isu sosial-politik. Sadat dengan sadar rupanya memanfaatkan sentimen agama ini untuk menhadapi lawan-lawan politiknya, yaitu kelompok Nasseris dan kalangan liberalis lainnya di satu sisi, dan berbagai gerakan radikal Islam di sisi yang berbeda.
Dampak kebijakan ini pada wacana Islam adalah maraknya tema-tema “legitimasi” dalam pemikiran keagamaan dan politik Islam, baik yang diwujudkan untuk mendukung maupun menentang regime penguasa (Panggabean 1991:56). Sementata tema-tema yang bersifat refleksif dan permenungan sama sekali absen dalam wacana itu. Dalam situasi semacam itu, maka Islam dan teks-teks Islam sebenarnya telah menjadi ruang kontestasi ideologis dari berbagai subyek kepentingan, baik individu, kelompok maupun kelas (Hirschjind 1996).
Pada dasarnya, agama dan teks-teksnya bersifat netral, dalam artian merupakan teks yang terbuka untuk berbagai aktualisasi makna. Tetapi kontekstualisasi di kancah pertarungan ideologis yang spesifik sudah barang tentu sangat ditentukan oleh pretensi dan kecenderungan pembacanya.
Menurut Abu Zayd, fenomena demikian mengisyaratkan bahwa teks agama yang berasal dari masa lampau telah dan terus menerus diinterpretasikan mengikuti keprihatinan dan tekanan yang dihadapi pembacanya pada masa kini. Di sinilah Abu Zayd mulai khawatir mengenai apakah teks-teks agama ini cukup terbuka atau tidak untuk menampung limpahan berbagai tipe penafsiran yang berbeda-beda ini. Ini mendorong Abu Zayd untuk menentukan hingga sejauh mana sebetulnya jangkauan tafsir (interpretative scope) yang dapat diberikan teks sehingga ia tidak tereduksi menjadi saluran belaka bagi ideologi-ideologi yang tengah bertarung (Abu Zayd 1996:33-34). Buku Abu Zayd yang membicarakan masalah ini adalah Mafhumu an-Nash: Dirasah fi `Ulum Qur`an (Konsepsi teks: Kajian tentang Ilmu-ilmu Qur`an) yang terbit pada tahun 1990. Seiring dengan ini Abu Zayd juga mulai menyadari tentang perlunya menguakkkan ideologi yang digunakan oleh berbagai wacana tentang Islam ini dan sejauh mana otoritas yang dapat diberikan oleh suatu penafsiran tertentu terhadap teks (Abu Zayd 1997:329). Topik ini kemudian dielaborasi lebih lanjut dalam bukunya yang terbit dua tahun berikutnya (1992) Naqd al-khitab `l dini (Kritik wacana Agama) juga dalam bukunya Al-Imam As-Syafi`i wa Ta`sis `l-aidulujiyyah `l wasatiyyah (Imam Syafi`I dan Pembentukan ideologi Maderatisme) yang terbit pada tahun yang sama. Ketiga buku inilah yang belakangan memicu terjadinya “kasus Abu Zayd” yang menggemparkan: Abu Zayd dikafirkan dan dituntut cerai istrinya, sehingga ia harus mengungsi ke Belanda.
Nasr Hamid Abu Zayd dan Wacana Islam Mesir
Ada dua kecenderungan utama dalam wacana Islam di Mesir, yaitu kecenderungan Islamis (Islamiyyun), baik yang masuk kubu radikal maupun kubu moderat, dan kecenderungan sekularis (`almaniyyun) yang terdiri dari berbagai kelompok mulai dari yang sosialis hingga yang liberal. Kubu Islam radikal diantaranya adalah al-Jihad dan Al-jama`ah Al-Islamiyyah, sementara yang moderat adalah al-Ikhwan al-Muslimun, universitas Al-Azhar dan kelompok-kelompk Islam lain yang menentang penggunaan kekerasan dalam penyebaran Islam. Sedangkan kelompok sekularis adalah kaum progresif independen seperti para intelektual, penulis dan akademisi yang menentang penerapan Syaria`ah dalam kehidupan publik. Seperti juga kalangan Islamis, kelompok yang terakhir ini juga berbeda-beda penekanannya: ada yang mengajukan untuk sekularisme yang moderat dan ada yang radikal.
Selama beberapa dekade setelah perang dunia II, gerakan Islamisme masih lemah dan terbatas saja. Pada masa ini yang dominan adalah gerakan nasionalisme sekuler dan sosialisme sebagai buah dari keberhasilan revolusi Mesir pada tahun 1952. Akan tetapi semenjak masa pemerintahan Sadat yang mulai mencari dukungan dengan memanfaatkan simbol Islam, dan menyusul ini keberhasilan revolusi Iran pada tahun 1979, maka gerakan Islam mengalami kebangkitan yang pesat dan telah membentuk gerakan massa grassroot (Nur Ichwan:22). Semenjak itu, setiap perdebatan sosial, politik dan kebudayaan di dunia Arab secara umum, dan khususnya di Mesir, tidak pernah bisa lepas dari penggunaan simbol-simbol Islam. Bahkan partai-partai politik di Mesir yang nota bene membawakan ideologi sekuler, seperti Wafd, al-`Amal, dan al-Ahrar [6], juga tidak lepas dari kecenderungan yang sama, suatu hal yang disebut Alexander Flores sebagai oportunisme dan akomodasi yang merupakan gejala umum dalam perpolitikan Mesir kontemporer (Flores 1997:90-92).
Pemanfaatan modal simbolis agama semacam ini tidak terbatas pada arena politik semata, namun juga – sejalan dengan klaim syumuliyyah al-nas yang disuarakan kalangan Islamis ini – mencakup semua bidang kehidupan manusia, termasuk bidang ekonomi dan juga intelektual. Di bidang ekonomi, dalih-dalih agama telah dimanfaatkan secara ekstensif untuk mendukung kebijakan infitah pada masa pemerintahan Anwar Sadat dan terus berlanjut untuk memuluskan kegiatan-kegiatan bisnis dan investasi yang digembar-gemborkan sebagai perekonomian Islam. Inilah salah satu point yang dikritik dengan keras oleh Abu Zayd, apalagi ketika kemudian terbongkar skandal perdagangan gelap dan korupsi yang melibatkan beberapa lembaga keuangan publik yang dimiliki kalangan Islamis ini. Sementara itu di bidang intelektual kalangan ini berupaya untuk terus menerus melakukan pembatasan yang kian ketat terhadap kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat dengan dalih untuk melindungi kemurnian ortodoksi agama. Para pemikir dan intelektual yang berlainan pendapat dengan mereka banyak yang dituduh kafir dan memusuhi agama; jadi halal dibunuh. Sudah barang tentu, hal semacam ini merupakan teror yang amat efektif untuk meredam, bahkan mematikan kreativitas intelektual.
Karena itulah, Abu Zayd memandang bahwa tidak ada perbedaan antara kubu radikal dan moderat dalam kelompok Islamis ini. Perbedaan keduanya hanya menyangkut tingkatan semata dan bukannya bersifat kategoris; yang moderat kurang ekstrem ketimbang yang radikal, dan yang terakhir kurang toleran ketimbang yang pertama (Abu Zayd 1992: 13). Kesamaan ini dapat dilihat dari wacana keduanya yang sama-sama berpijak pada landasan tolak yang identik, yang mengutip Abu Zayd, terdiri dari lima poin sebagai berikut.
Identifikasi antara “pemikiran agama” dan “agama” itu sendiri dan pengabaian jarak antara “subyek” dan “obyek”.
1. Penjelasan segala fenomena dengan mereduksinya pada prinsip pertama atau pada sebab tunggal.
2. Ketergantungan pada tirani “masa lampau” atau “tradisi” (turats), dan ini dengan cara menjadikan teks tradisi sekunder menjadi teks primer yang memiliki kadar kesucian yang dalam banyak kasus tidak kurang sucinya dibanding teks primer yaitu (Qur`an).
3. Kepastian mental dan keyakinan intelektual yang absolut yang menolak untuk mengakui perbedaan pendapat yang sama sekali, kecuali dalam hal yang sepele.
4. Penghindaran atau pengabaian dimensi historis yang termanifestasi pada pengagungan masa lampau yang gemilang yang terwujud pada era keemasan Khalifah Harun Ar-Rasyid atau pada kekhalifaan Daulah Utsmani (Abu Zayd 1992:14).

Dengan demikian, kedua corak gerakan Islamis ini sebenarnya sama-sama merupakan bagian dari gejala otoritarianisme (istibdadiyyah) yang ada di Mesir kontemporer; dalam hal ini otoritarianisme agama. Bersama-sama dengan otoritarianisme negara, otoritarianisme agama ini telah mengancam kemandirian dan kreativitas masyarakat sipil. Di sinilah kritik-kritik yang diajukan Nasr Hamid Abu Zayd mengena tepat pada the most important juncture dari wacana Islam dalam konstelasi sosial-politik kontemporer di Mesir, karena mempersoalkan dengan tajam berbagai interest politik dan ekonomi yang tersembunyi dan mengeram di balik semua produksi wacana Islam.
Dalam konteks ini kita bisa mengerti mengapa reaksi wacana Islam terhadap tulisan-tulisan Abu Zayd sedemikian keras, bahkan berlebihan, sebagaimana yang terungkap dalam apa yang di media massa Mesir disebut “kasus Abu Zayd” (qadiyah Abu Zayd). Kasus ini dipicu oleh penolakan promosi Nasr Hamid Abu Zayd sebagai profesor penuh pada Fakultas Sastra Universitas Kairo, dengan alasan bahwa karya-karya Abu Zayd telah melanggar ortodoksi Islam menyangkut Qur`an, Nabi, para sahabat Nabi, dan makhluk-makhluk gaib. Lebih jauh, karya-karya Abu Zayd dianggap “telah keluar dari kaidah ilmiah dan menghujat agama”. Pada khutbah Jum`atnya di masjid `Amr ibn `Ash pada tanggal 2 April 1993, Dr.`Abd al-SAbu r Syahin, salah satu anggota kamite yang memeriksa karya-karya Abu Zayd, bahkan dengan tegas-tegas menvonis Abu Zayd sebagai telah kafir alias keluar dari agama Islam.
Vonis Syahin ini tak pelak memicu pertikaian sangat sengit antara kubu Islamis dengan kubu liberal-sekuler yang ada di Mesir. Apalagi ketika sejumlah pengacara yang memiliki hubungan dengan Ikhwan kemudian mengajukan tuntutan hukum ke Pengadilan Tingkat Pertama Giza untuk menceraikan Abu Zayd dari istrinya, Dr.Ibtihal Yunis (yang baru dinikahi Abu Zayd pada bulan April 1992). Kendati Pengadilan Tingkat Pertama menolaknya dengan alasan diluar kewenangan yurisdiksi, lagi pula pihak penggugat tidak meiliki kaitan dengan materi perkara, tapi tuntutan itu akhirnya berhasil digolkan pada Pengadilan Tingkat Banding dan bahkan dikukuhkan oleh Pengadilan Tingkat Kasasi. Keputusan ini memaksa Abu Zayd meninggalakan negerinya dan hijrah ke Belanda untuk mengajar sebagai visiting professor di Leiden University.
Bahwa Abu Zayd harus terusir dari negerinya semata-mata karena pemikiran yang dikemukakannya telah membuktikan kebenaran kata-kata Nasr Hamid Abu Zayd sendiri tentang bahaya yang dapat ditimbulkan oleh manipulasi ideologis terhadap teks-teks agama. Tragisnya, bahaya yang ditengarai oleh Abu Zayd ini dampaknya harus ia tanggung dan alami sendiri.
Metodologi dan Pendekatan
Di tengah konteks wacana keagamaan semacam di atas, Abu Zayd menyadari betul sentralitas teks Qur`an dalam kebudayaan Arab-Islam. Justru di sinilah letak kerawanannya, karena teks Qur`an bisa ditarik-tarik oleh subyek-subyek kepentingan ke berbagai posisi ideologis yang saling bertentangan. Rupanya, dalam kebudayaan ini legitimasi teks Qur`an selalu dijadikan sebagai mekanisme produksi dan reproduksi kultural oleh berbagai arus politik dan intelektual yang berkembnag di dalamnya.
Pemahaman yang semacam ini kemudian mendorong Abu Zayd untuk mencurahkan segenap kepedulian ilmiahnya pada upaya-upaya untuk mencapai pembacaan ilmiah terhadap teks-teks agama. Di sisi lain, ia juga berupaya untuk mengajukan kritisisme yang tajam terhadap berbagai kecenderungan ideologis dalam pembacaan teks-teks tersebut, baik yang dilakukan kalangan Islamis maupun liberal-sekuler. Untuk itulah Abu Zayd berusahan untuk merumuskan konsep tentang tekstualitas Qur`an yang menurutnya dapat mengantarkan pada pemahaman yang obyektif terhadap teks Qur`an, disamping dapat meminimalisisr tendensi ideologis di dalam pembacaan teks tersebut. Dalam hal ini Abu Zayd tampaknya banyak memanfaatkan sumbangan-sumbangan metodologis yang diberikan oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang berkembang di Barat.
Secara umum, ada dua ancangan metodologis yang terutama ditekankan oleh Nasr Hamid Abu Zayd di sini, yaitu kritisisme literer (literary criticism) dan kritisisme historis (historical criticism). Dalam ancangan pertama, Abu Zayd sesungguhnya melanjutkan upaya-upaya pembaruan dalam studi Al-Qur`an yang sudah dirintis oleh Amien Al-Khuli sejak beberapa dasawarsa sebelumnya, tepatnya sejak paroh pertama abad yang baru lampau. Pada waktu itu Amin Al-Khuli sudah menyadari bahwa status tekstualitas Qur`an mestilah menjadi titik tolak dalam pembacaan Qur`an. Amin Al-Khuli mengkritik tajam ketergesaan “mengambil petunjuk” (ihtida`) dari teks Qur`an yang umum terdapat dalam wacana Islam, tanpa terlebih dahulu memahami makna “literal” dari teks itu sebagaimana yang dipahami pada masa pewahyuannya. Menurutnya, hal ini dapat dengan mudah menggelincirkan pembacaan Qur`an ke dalam manipulasi yang bersifat ideologis. Inilah yang kemudian mendorong Amien al-Khuli untuk merumuskan metode baru dalam pembacaan teks Al-Qur`an. Amin Al-Khuli menyebut metode yang digagasnya dengan istilah al-manhaj al-adabi fi al-tafsir (metode literer dalam penafsiran); suatu metode yang berusaha untuk menggAbu ngkan teori-teori dalam disiplin ilmu linguistik ke dalam penafsiran Qur`an (Nur ichwan 1999; 37).
Abu Zayd sepenuhnya mengikuti rintisan ilmiah dari Amin Al-Khuli ini dan mengembangkannya lebih jauh lagi dengan memanfaatkan berbagai pendekatan yang berkembang dalam teori dan kritik sastra modern. Jika Amin Al-Khuli mendulang inspirasi terutama dari khazanah linguistik Arab klasik, maka selain dari khazanah ini Abu Zayd juga banayk memanfaatkan berbagai teori modern yang berkembang di Barat, misalnya yang sering ia kutip adalah teori-teori dari Ferdinand de Saussure, Roman Jakobson, dan sebagainya (Lih. Shihibuddin 1999a:60-63). Abu Zayd percaya bahwa satu-satunya cara untuk memahami dan menafsirkan Qur`an secara “obyektif” adalah dengan menerapkan pendekatan-pendekata literer semacam ini. Menurut Abu Zayd, hanya dengan cara inilah dapat dicapai kesadaran yang ilmiah terhadap teks Qur`an, di samping di sisi lain dapat menghindarkan dari kecenderungan manipulasi atas teks-teks agama untuk tujuan-tujuan yang bersifat ideologis (Abu Zayd 1994: 12 dst).
Aspek lain dimana Abu Zayd melanjutkan rintisan ilmiah dari Amin Al-khuli terletak pada penekanan yang sama kuatnya atas kritisisme historis[7]. Abu Zayd menyadari bahwa metode literer semata tidaklah memadai karena ia hanya dapat memberikan kerangka struktural dari teks tanpa memberikan imbangan yang memadai pada aspek historis dan prosesualnya. Dari Amin Al-Khuli, Abu Zayd telah belajar bahwa dalam pembacaan teks dengan menggunakan metode literer seseorang tidak boleh mengabaikan konteks historis dari teks. Sayangnya, al-Khuli tidak mengembangkan lebih jauh lagi prinsip yang amat mendasar ini. Celah inilah yang pada saatnya kemudian dicoba diisi Nasr Hamid Abu Zayd, juga dengan memanfaatkan berbagai pendapat literer yang berkembang dalam teori dan kritik sastra modern. Melalui pendekatan ini, Abu Zayd kemudian berusaha untuk mengintegrasikan aspek historis teks ini ke dalam konsepsinya tentang tekstualitas Qur`an[8]. Ini menghasilkan beberapa konsep kunci dalam pemikiran hermeneutika Abu Zayd, misalnya tentang historisitas teks Qur`an, dialektika teks Al-Qur`an dengan realitas sosial budayanya, pergerakan semantik (al-tahrik `l-dalali) teks Qur`an menurut pergeseran horison pembacanya, dan sebagainya.

POKOK-POKOK PIKIRAN

Pada dasarnya, studi al-Qur`an yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zayd memiliki dua sasaran utama. Pertama adalah untuk menentukan status tekstualitas al-Qur`an. Dan kedua, untuk menentukan suatu pemahaman yang objektif terhadap pemahaman teks tersebut (lih. Abu Zayd 1994 : 18-19). Kedua tujuan ini, bagi Abu Zayd, merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan; ibarat satu sisi dari sekeping mata uang. Karena itu, dalam metodologi Abu Zayd, teori tentang penafsiran tidaklah terpisahkan dari teori tentang teks, sebaliknya ia justru berlandaskan pada yang terakhir ini. Menurut Abu Zayd, hanya setelah menetukan hakikat suatu teks maka penafsiran atas teks itu baru dapat dilakukan. Semua perangkat metodologis yang dimanfaatkan Abu Zayd seperti yang dipaparkan di atas pada dasarnya adalah upaya Abu Zayd untuk mewujudkan kedua sasaran ini.
Di bawah ini akan dikemukakan tiga pokok pikiran Nasr Abu Zayd yang paling sentral menyangkut isu ini, yaitu, pertama, mengenai hakikat tekstualitas al-Qur`an; kedua, dialektika teks Qur`an dengan realitas sosial budayanya; dan ketiga, pergerakan semantik teks Qur`an.
Qur`an sebagai teks
Dalam sebuah artikelnya The Modernization of Islam or The Islamization of Modernity, Abu Zayd menyatakan bahwa sebelum penafsiran dilakukan “seseorang pertama-tama harus mendefinisikan terlebih dahulu hakikat teks dan menemukan hukum-hukm yang mengatur studi atas teks tersebut. Jadi tidak segala penafsiran dimungkinkan”. Adalah berbahaya menurut Abu Zayd untuk membiarkan teks, apalagi teks agama, terbuka bagi segala penafsiran secara bebas, sebab teks agama, khususnya dalam Islam, memiliki pengaruh yang mendasar pada kehidupan sosio-kultural dan politik. Jika teks agama ini ditarik begitu saja pada kepentingan ideologis si penafsir tanpa menentukan terlebih dahulu hakikat teks itu dan batas-batas makna yang dapat diberikannya, maka teks itu terbuka lebar untuk menjadi sasaran segala bentuk penyalahgunaan ideologis (ideological abuse).
Untuk itu, Abu Zayd berulang kali menggarisbawahi betapa pentingnya memahami status tekstualitas Qur`an. Dengan ini ia memaksudkan agar dalam memahami Al-Qur`an seseorang harus melepaskan semua pandangan legal, teologis dan ideologisnya, dan hanya berpijak pada apa yang diberikan teks itu sendiri sebagai tanda-tanda linguistik. Dalam kaitan ini pendekatan literer menurut Nasr Hamid Abu Zayd sangatlah membantu karena pendekatan itu dapat mengeleminir subyektivitas si penafsir. Dengan merujuk pada pernyataan Amien al-Khuli, Abu Zayd menekankan untuk memahami Qur`an pertama-tama sebagai “kitab berbahasa Arab yang paling agung dan warisan kesusastraan yang abadi”; atau dengan kata lain, sebagai karya sastra yang adiluhung, menejelaskan hal ini Abu Zayd menyatakan,
“Qur`an merupakan karya seni Arab yang paling sakral, baik pengamat melihatnya demikian dalam agama maupun tidak. Maka melakukan studi literer atas Qur`an pada tataran estetisnya ini, tanpa memperlihatkan dimensi keagamaannya …….harus merupakan tujuan pertama dan sasaran puncak yang didahulukan dari tujuan dan sasaran maupun yang lainnya. Barulah setelah tujuan ini terpenuhi seseorang bisa berpijak pada Kitab itu untuk mengambil dan menguti darinya apa yang dikehendakinya, dan mengacunya untuk hal-hal yang disukainya, seperti legislasi, teologi, etika, reformasi masyarakat dan sebagainya. Tetapi tujuan-tujuan sekunder ini tidak bisa terwujud kecuali dengan berpijak pada studi literer yang tepat dan menyeleuruh terhadap satu-satunya Kitab Arab yang agung ini” (Abu Zayd 1994:10; cetak miring dari Sf).
Jadi upaya mendekati Kitab Qur`an berdasarkan status tekstualitasnya berarti memandangnya sebagai teks linguistik yang kedudukannya tidak berbeda dengan teks-teks linguistik lainnya. Bahwa teks itu merujuk pada sumber ilahiah, itu tidaklah berarti mengubah sama sekali status tekstualnya sebagai tanda-tanda linguistik yang tunduk pada hukum-hukum yang mengatur sistem tanda linguistik pada umumnya. Salah satu dari hukum-hukum itu yang ditekankan oleh Nasr Hamid Abu Zayd adalah bahwa teks linguistik tersebut tercakup dalam struktur kebudayaan tertentu dalam mana ia terbentuk mengikuti norma-norma kebahasaan dan kebudayaan yang berlaku didalamnya (Abu Zayd 1992 :197-198).
Abu Zayd juga menandaskan bahwa status tekstualitas Qur`an semacam di atas bahkan diteguhkan oleh teks Qur`an sendiri. Pertama, kata wahyu dalam Qur`an secara semantik sepadan dengan firman Allah (kalam Allah) dan bahwa Qur`an merupakan pesan (message, risalah). Sebagai firman dan pesan, maka Qur`an tak ayal mesti diperlakukan sebagai teks. Kedua, susunan surat dan ayat Qur`an berbeda dari urutan kronologis pewahyuannya semula. Urutan pewahyuan Qur`an (tanjim) mencerminkan historisitas teks Qur`an, sementara struktur dan susunannya saat ini mencerminkan tekstualitasnya. Ketiga, Qur`an mencakup ayat-ayat yang jelas (ayat muhkamat) yang merupakan induk dari teks (umm`l kitab), dan ayat-ayat yang ambigu (ayat mutasyabihat) yang harus dipahami dalam kaitannya dengan yang pertama. Keberadaan dua jenis ayat ini mengharuskan pembaca bukan hanya untuk mengidentifikasikan ayat-ayat untuk yang ambigu, namun juga untuk menentukan mana ayat-ayat yang jelas yang merupakan kunci untuk menerangkan dan menjernihkan ayat-ayat yang ambigu. Karena kejelasan/ ambigusitas merupakan karakteristik tekstualitas Qur`an, maka dengan sendirinya hal itu akan menentukan pula corak penafsirannya (Abu Zayd Ttb; bdk. Nur Ichwan 1999: 54-55).
Penekanan bagi status tekstualitas Al-Qur`an ini mempunyai arti yang amat penting dalam kerangka metodologi yang dicoba-rumuskan Abu Zayd. Sebab, ia dapat menggambarkan hubungan timbal balik antara teks Al-Qur`an dengan realitas sosial-budayanya. Penafsiran teks Qur`an menurut Abu Zayd hanya dapat dilakukan melalui pemahaman atas interaksinya dengan sistem sosial-budayanya karena sistem ini merupakan kerangka penafsiran (marja`at-tafsiar) bagi teks tersebut.

Dialektika Teks Qur`an dengan Sistem Budaya dan Realitasnya
Abu Zayd mengkritik keras kecenderungan pengabaian status tekstualitas Qur`an yang biasa terdapat dalam studi keislaman tradisional. Dalam studi semacam ini penekanan umumnya ditujukan pada pihak pengujar teks (Allah SWT), kemudian pihak penerima pertama teks (Nabi Muhammad SAW), dan setelah itu baru berbicara tentang realitas yang melatari teks tersebut di bawah topik-topik semacam asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, Makki-madniy, dan sebagainya. Abu Zayd menyebut metode ini “dialektika menurun”, yaitu dialektika yang menolak dari tataran yang abstrak dan ideal menuju yang konkret dan empiris. Menurutnya, studi semacam ini lebih bercorak spekulatif dan idealistik (untuk tidak mengatakan teologis) hingga sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, disamping mudah terpeleset jadi retorika kosong belaka (Abu Zayd 1994:26).
Sebagai ganti dari kecenderungan spekulatif dan idealistis di atas, Abu Zayd menawarkan metode yang berkebalikan dengannya, yaitu mengkaji teks Qur`an dari titik tolak kenyataan-kenyataan dan aksiomatika-aksiomatika (al-haqa`iq wal-badihiyyat) dan dari sini menuju hal-hal yang masih samar dan belum diketahui. Ini berarti, mengkaji teks itu dari konteks sistem budaya dan kenyataan-kenyataan yang melatarinya yang dapat diketahui melalui telaah kesejarahan (Abu Zayd 1994 :26).
Untuk memulainya, Abu Zayd berusaha menegaskan keterkaitan erat teks Qur`an dengan pertama-tama sistem bahasa dan kemudian dengan sistem kebudayaan yang mendasarinya. Di sinilah Abu Zayd memanfaatkan perangkat teoritik yang dipinjamnya dari de Sausssure, yaitu mengenai pembedaan antara langue dan parole. Mengutip pernyataan Abu Zayd, “pembedaan yang dilakukan ahli bahasa de Sausssure antara langue dan parole barangkali dapat membantu kita di sini untuk menjelaskan antara struktur linguistik suatu teks – khususnya teks-teks yang istimewa – dengan sistem kebahasaan-kultural yang menghasilkannya. Langue ialah sistem tanda bagi suatu kelompok dalam totalitas dan keseluruhan tingkatannya (fonetis, morfologis, gramatikal dan semantis); merupakan khazanah yang diacu oleh setiap orang ketika menyusun ujarannya (parole). Dengan demikian parole ini dalam hubungannya dengan langue mencerminkan aspeknya yang konkret dan spesifik; merupakan sistem parsial – atau medium spesifik – di dalam sistem yang menyeluruh yang tersimpan dalam memori kolektif” (Abu Zayd 1992; 193-194).
Pembedaan di atas oleh Abu Zayd kemudian diterapkan untuk menjelaskan hubungan teks Qur`an dengan sistem bahasanya. Dalam hubungannya ini, teks Qur`an merupakan parole yang terbentuk berdasarkan acuan sistem kebahasaannya (langue), yaitu sistem bahasa Arab di Jazirah Arabia pada Abad VII Masehi, tetapi karena sistem bahasa itu sendiri pada dasarnya merupakan sarana kolektif untuk memahami dunia dan susunannya, teks Qur`an pada gilirannya juga terkait dengan sistem budaya dan realitasnya – sejauh teks ini berada dalam kerangka sistem bahasa yang menampilkan kembali sistem budaya dan realitas tersebut dalam bentuk simbol. Dalam pengertian ini, maka teks Qur`an dapat disebut sebagai “produk budaya” (muntaj tsaqafi) karena teks itu – sebagai pengungkapan individual – lahir dalam kerangka sistem bahasa dan sistem budaya tertentu yang melingkupinya dan ia terbentuk atau menstrukturkan diri menurut acuan sistem bahasa dan sistem kebudayaan tersebut (Abu Zayd 1992; 94; bdk 1994:24). Akan tetapi kedudukan teks Qur`an tidaklah bersifat pasif belaka dalam pengungkapannya terhadap struktur kultural melalui sistem kebahasaannya ini. Sebab, teks itu memiliki vitalitas dan efektivitasnya sendiri yang muncul dari kekhususan struktur linguistiknya. Justru segi inilah (yakni keistimewaan struktur linguistik teks Qur`an) yang menegaskan keunggulan teks Qur`an atas teks-teks lain semasanya, seperti teks-teks persajakan dan perdukunan pra-Islam. Sebab, teks-teks yang terakhir ini tidak cukup jenial untuk mengolah kembali unsur-unsur kebahasaan dan kultural yang semula membentuknya. Ukuran keistimewaan suatu teks menurut Abu Zayd mesti diukur dari seberapa jauh tingkat penggarapan linguistiknya ini, karena itu teks-teks yang Cuma menyalin mentah-mentah realitas, atau sekedar mengulang-ulang apa yang sudah baku dalam sistem kebahasaan, sebenarnya tidaklah pantas disebut teks, mengutip kata-kata Abu Zayd,
“Teks-teks semacam ini sebenarnya bukanlah teks dalam pengertian sebenarnya, melainkan langue dari segi stabilitas dan resistensinya terhadap perubahan. Langue, seperti dikemukakan de Saussure, juga menentang perubahan dan mengupayakan pemantapan, karena ia termasuk gejala sosial yang bersifat kolektif (dhahirah ijtimaiyyah jamaiyyah), akan tetapi parole –yaitu penggarapan individual terhadap langue – adalah yang memperbarui dan mengembangkan sistem bahasa itu . Demikianlah, melalui pembedaannya yang kesohor antara langue dan parole (atau antara aspek sosial dan individual dari sistem bahasa), de Sauusure dapat mencermati beberapa unsur pertarungan ideologis dalam kehidupan sosial yang terwujud pada tataran bahasa. Jadi, di situ terdapat teks-teks yang yang diujarkan oleh langue, ialah teks-teks yang disebut demikian secara kiasan dan gampangan saja. Lalu ada pula teks-teks yang memiliki ujarannya sendiri (parole) yang berusaha ia nyatakan melalui sarana langue` (Abu Zayd 1995;86).
Untuk menunjukkan tingkat keistimewaan teks Qur`an dan kemampuan penggarapan linguistiknya atas unsur-unsur pembentuknya semula, Abu Zayd mengemukakan serangkaian premis sebagai berikut, Pertama, sebagai premis mayor, diketahui bahwa bahasa teks Qur`an acuannya didasarkan pada sistem bahasa (lisan) Arab secara umum dan pada kerangka penggunaan historisnya di Jazirah Arab pra-Islam secara khusus. Kedua, sebagai premis minornya yang diketahui bahwa teks Qur`an telah menciptakan perubahan semantik pada sejumlah kata, yaitu dari makna linguistik-leksikalnya dalam lisan (sistem bahasa Arab) kepada makna baru yang disebut makna syar`i. Ini semisal kata-kata shalat, zakat dan shaum yang oleh Qur`an dilampaui makna linguistiknya (yang berarti do`a, pertumbuhan dan pertambahan, pencegahan diri) untuk menunjukkan syiar-syiar dan kewajiban-kewajiban ritual (Abu Zayd 1995: 214-16; juga Shohibuddin 1999b). Dari kedua premis mayor dan minor di atas Abu Zayd kemudian sampai pada kesimpulan bahwa teks Qur`an, kendati lahir dari rahim sistem bahasa dan budaya yang melingkupinya, telah menciptakan pula medium kebahasaannya yang khas yang mampu mengkonstruksikan ulang unsur-unsur sistem tandanya yang semula ke dalam bentuk yang sama sekali baru. Dan ini dilakukan bukan hanya pada transformasi tataran semantiknya semata, kendati hal ini tidak kurang pula pentingnya, melainkan transformasi sistem bahasa itu sendiri secara keseluruhan “mulai dari level fonetis, morfologis, leksikal, hingga sampai pada pembentukan struktur gramatikal dan semantiknya yang sendiri” (Abu Zayd 1995: 216).
Melalui transformasi kebahasaan ini teks Qur`an sekaligus menciptakan perombakan pada struktur kebudayaannya, yaitu melalui perubahan struktur kesadaran baru yang terejawantahkan lewat konsep-konsep kebahasaannya. Sperti dinyatakan Abu Zayd, bahasa sebagai sistem tanda merupakan sistem yang mengungkapkan segala aspek kebudayaan manusia, termasuk didalamnya pandangan manusia atas dunianya, maka perombakan yang mendasar pada sistem kebahasaan ini pada gilirannya akan menciptakan perubahan yang radikal pula pada struktur kebudayaan dan pandangan dunia pemakai bahasa tersebut (Abu Zayd 1995 : 80-81). Dan ini rupanya juga disadari oleh masyarakat Arab yang hidup pada saat pewahyuan Al-Qur`an. Mereka ini tidaklah menolak fenomena wahyu itu sendiri, sebab mereka mendapatkan pedanannya pada fenomena persajakan dan perdukunan. Akan tetapi penentangan mereka lebih tertuju pada kandungan wahyu itu sendiri ataupun pada pihak yang membawanya.
“Masyarakat pra Islam (jahiliyyah) tampaknya lebih memahami karakter, fungsi dan tujuan teks Qur`an dibandingkan dengan mayoritas kaum agamawan saat ini yang cenderung memecah-mecah teks. Jadi perlawanan yang digalang oleh masyarakat Arab terhadap teks Qur`an sebenarnya adalah perlawanan terhadap kenyataan baru yang diciptakan teks itu pada struktur kebahasaannya untuk pertama kali. Maka ketika mereka menjuluki Muhammad sebagai seorang penyihir, tukang sihir atau dukun, mereka sebenarnya tengah berupaya untuk mengembalikan teks yang baru itu ke dalam kerangka teks-teks yang sudah dikenal sebelumnya, dan di sisi lain untuk “membingkai” seruan dan pesan teks itu ke dalam kerangka fungsi-fungsi sosial dari fenomena perdukunan dan persajakan yang ada dalam realitas saat itu` (Abu Zayd 1994: 141).
Upaya sementara masyarakat Arab itu, seperti diketahui, ternyata gagal. Dan sunnguhpun mereka dengan gigih telah berupaya untuk “memerangkap” teks Qur`an ke dalam acuan tradisi kebahasaan dan kebudayaan yang berlaku saat itu (yaitu teks dan budaya persajakan dan perdukunan), tetapi teks Qur`an terbukti jauh lebih unggul dan bahkan mampu merombak tradisi teks dan budaya itu. Pada tahap ini, teks Qur`an yang semula merupakan “produk budaya” (muntaj tsaqafi) itu kini berubah menjadi “produsen kebudayaan” (muntij tsaqafi). Tetapi Abu Zayd juga mengingatkan bahwa kedua tahapan teks Qur`an ini tidaklah dalam pengertian tahapan yang bersifat kronologis. Sebaliknya keduanya merupakan dua aspek yang saling terkait satu sama lain sebagai bentuk dialektika teks Qur`an dengan realitas sosial-budayanya. Hal ini sebagaimana yang diringkaskan oleh Abu Zayd sebagai berikut ini,
“Jadi, secara ringkas dapat dikatakan bahwa teks-teks agama bertautan dengan realitas kebahasaan dan kebudayaannya, lalu ia terbentuk (tasyakkul) di dalamnya satu sisi, dan disisi lain menciptakan medium sendiri yang khas yang dengannya ia balik membentuk (tasykil) bahasa dan budayanya tadi. Lalu ada pula wilayah persinggungan diantara kedua sisi tadi yang memungkinkan teks-teks tersebut mampu menjalankan fungsinya dalam struktur kebudayaan pada masa pembentukan teks, artinya yang menjadikan teks-teks itu sebagai penanda yang terpahami oleh masyarakat yang hidup pada masa pembentukannya. Inilah wilayah yang berisikan tanda-tanda yang mengacu langsung pada realitas dan sejarah semasanya. Akhirnya, diluar wilayah persinggungan ini terdapat tanda-tanda yang terbuka dan dapat menerima pembaruan terus menerus sejalan dengan perubahan horison pembacaan yang tergantung pada perkembangan realitas bahasa dan kebudayaannya” (Abu Zayd 1992: 194).
Dari kutipan itu terlihat bahwa teks Qur`an pada waktu yang bersamaan dibentuk oleh sekaligus membentuk realitas sosial-kebudayaannya. Tapi sementara itu, ia tidak bisa melampaui wialyah persinggungan kedua aspek ini karena jika ia melakukannya maka ia menjadi teks yang tak terpahami. Sebagai ilustrasi, teks Qur`an mempunyai visi pembebasan wanita, termasuk dalam hal kesamaan hak waris. Tetapi dalam mewujudkan visi ini, ia tidak bisa terlepas sama sekali dari berbagai hambatan sosial, budaya, ekonomi, dan politik pada masanya. Jika ia mengabaikan batasan-batasan ini, maka teks itu menjadi “tidak terpahami” alias tidak relevan atau tidak kontekstual dalam setting historisnya sendiri. Tetapi terlepas dari batasan-batasan temporer itu ada “makna”, ada significance, yang dapat ditarik daripadanya, yaitu visi tentang kesamaan wanita secara total yang mesti diwujudkan jika hambatan-hambatan tadi sudah tidak dijumpai lagi. Inilah yang disebut Abu Zayd sebagai al-maskut `anhu, segi yang “didiamkan” atau tak dinyatakan secara eksplisit dalam teks tapi yang merupakan konsekuensi dari pergerakan maknanya yang tak terelakkan. Poin yang terakhir ini mengantarkan pada pokok pikiran Abu Zayd lain yang juga penting, yaitu tentang pergerakan pengertian teks Qur`an.
Pergerakan Pengertian Teks Qur`an
Pergerakan pengertian teks Qur`an ini mencerminkan teori penafsiran Abu Zayd yang ia rumuskan berdasarkan konsepsi teks yang ia rmuskan sebelumnya. Ada dua hal yang ingin dicapai Abu Zayd dari teori penafsiran ini, ialah mencapai pemahaman yang obyektif atas teks disatu sisi dan upaya menghindar dari kecondongan ideologis di sisi yang lain.
Menurut Abu Zayd, kecondongan ideologis (ideological inclination) dalam pembacaan teks terjadi ketika seseorang menarik teks begitu saja ke dalam horison masa kini, tanpa menentukan terlebih dahulu pengertian asal dari teks itu atau batas-batas makna yang dapat diberikannya. Ia menyebut pembacaan semacam ini sebagai pembacaan tendensius (qira`ah al-mughridah) karena ia memproyaksikan ke dalam teks itu keprihatinan-keprihatinan kontemporer pembacanya tanpa memperhitungkan terlebih dulu kapasitas “determinasi tekstual” dari teks itu sendiri (Abu Zayd 1992; 113)
Untuk menghindari kecenderungan ideologisasi teks semacam ini maka Abu Zayd melontarkan dua aspek yang harus diperhatikan dalam pembacaan teks.
“Aspek pertama ini adalah aspek historis dalam pengertian sosiologis untuk menempatkan teks dalam konteksnya semula demi memperoleh pengertian yang asli dari teks itu. Termasuk ke dalam aspek ini adalah konteks historis dan, sudah barang tentu, konteks kebahasaan yang spesifik dari teks tersebut. Aspek yang kedua adalah konteks sosio-kultural masa kini yang merupakan landasan yang mendorong untuk melakukan penafsiran – atau tepatnya penafsiran ulang – terhadap teks tersebut” (Abu Zayd 1992 114).
Kedua aspek yang dikemukakan diatas ini mewakili dua kutub pembacaan yang, kendati tidak terpisahkan, secara metodologis harus dipilahkan. Sebab tanpa itu, batas antara masa lampau dan masa kini menjadi lebur dan teks dengan mudah bisa ditundukkan pada prefensi subyektif pihak pembaca tanpa mengindahkan segi obyektifitas yang termuat dalam teks itu sendiri. Keharusan yang serupa juga berlaku dalam pemilahan antara “arti” (dilalah, meaning) teks dan “makna” (magza`, significance) teks. Yang pertama mencerminkan segi historis teks pada konteksnya semula, sedangkan yang kedua mencerminkan segi kontekstual teks pada konteks pembacaannya saat ini (Abu Zayd 1992:115).
Menurut Abu Zayd, gerak pembaca justru harus bermula dari penentuan “arti” teks, yaitu pengertian asli dari teks pada konteks historisnya sendiri. Pengertian teks pada tataran ini harus dicari pada interaksi teks dengan sistem bahasa dan budaya yang melatarinya dalam kedua fasenya yang disebutkan di muka, ialah pada fase saat teks itu menjadi produk sekaligus produsen kebudayaan. Abu Zayd berkeyakinan bahwa penentuan “arti” teks semacam ini memilki arti yang penting dalam gerak pembacaan teks secara keseluruhan. Sebab, ia dapat memberikan landasan obyektivitas pemahaman yang melaluinya arah “baru" pesan sebuah teks dapat dideteksi. Arah inilah yang akan menfasilitasi pergerakan dari “arti” ke “makna” teks kedalam konteks sosio-kultural masa kini. Di sisi lain, ia juga memungkinkan pembaca untuk dapat menentukan secara tepat dan efisien segi “historis” dan “temporal” teks yang tidak bermakna dalam konteks yang sekarang (Abu Zayd Ttb).
Mengambil lagi kasus hak waris, maka “makna” kesetaraan hak waris perempuan justru diperoleh setelah memperhatikan interaksi teks Qur`an dengan konteks sosial dan budayanya semula. Barulah di situ bisa dideteksi visi teks lebih mendasar yang merupakan arah pesan teks, ialah pembelaannya atas kesetaraan hak wanita secara penuh termasuk dalam hal waris. Sementara formulasi teks yang secara literal mendiskriminasikan hak kaum wanita dipandang sebagai bentuk kompromi teks tersebut terhadap paksaan-paksaan kondisi sosial dan budaya saat itu, yang menjadi tidak bermakna lagi ketika kondisi itu telah berubah pada konteks yang ada dan berlaku saat ini.
Kenyataan bahwa “makna” kontemporer teks hanya dapat ditarik berdasarkan “arti” teks dalam interaksinya dengan realitas sosial-budayanya ini membuktikan kebenaran Abu Zayd, bahwa penafsiran adalah segi yang tak terpisahkan dari konsepsi. Hanyalah setelah memahami status tekstualitas Qur`an maka penafsirannya dapat dilakukan. Dalam bahasa Abu Zayd (Ttb), “dengan mengawakodekan teks Qur`an dalam sinaran konteks linguistik, kultural dan historisnya, maka ia dapat dikodekan ulang kedalam sistem kode dari konteks linguistik dan kultural si penafsir”. Inilah yang ia sebut sebagai keistimewaan tekstual (textual pecualiarity). Yaitu keterbukaan teks pada proses pengawakodean terus-menerus seiring dengan perubahan sosio-kulturalnya. Ini memungkinkannya untuk menjadi open text yang dapat berdialog dan diaktualisasikan dengan berbagai setting sosial dan budaya, yang pada gilirannya hal ini akan terus dapat menghasilkan “makna” baru yang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam struktur teks itu sendiri.
Demikianlah, dengan pembedaan antara aspek historis teks dengan konteks sosio-kultural pembacaan disatu sisi, dan sejajar dengan ini pembedaan antara “arti” dan “makna”, maka penafsiran yang valid dan onyektif terhadap teks dapat dilakukan. Penafsiran memang akan terus berbeda-beda sepanjang masa, tetapi ia tidak perlu menjadi penafsiran yang ideologis atau bersifat “semau gue” selama tetap berlandaskan pada poros pengertian teks yang asli.

Catatan penutup
Dengan perumusan konsep tekstualitas Qur`an semacam diatas, Abu Zayd pada dasarnya tengah mengusulkan suatu model pembacaan yang ilmiah terhadap teks-teks agama. Agenda semacam ini mendorongnya untuk mencari pijakan teoritis yang memungkinkan pembaca untuk dapat berbuat adil baik terhadap tuntutan determinasi historisnya sendiri maupun terhadap determinasi tekstual dari teks yang dibacanya. Dari sini suatu hermeneutika yang bercorak obyektif menjadi sebuah keniscayaan karena ia memungkinkan pergerakan ganda dari masa kini ke masa lampau dan dari sana balik lagi ke masa kini. Gerak bolak-balik ini dimungkinkan oleh adanya dimensi ganda dari setiap teks –dimensi historis dan dimensi kontekstual- sehingga pergerakan dari “arti” historis teks ke “makna” kontekstualnya menjadi mungkin.
Abu Zayd percaya bahwa dengan kerang teoritis semacam ini pembacaan yang ilmiah atas teks agama menjadi mungkin. Dengan ini ia maksudkan sebagai pembacaan obyektif yang sebisa mungkin menyadari dan meminimalisir muatan-muatan subyektif yang dapat turut membonceng selama proses pembacaan. Bagaimanapun, subyektivitas dalam pembacaan tidak mungkin dihindari sama sekali. Apa yang perlu dilakukan adalah menyadari muatan subyektif itu sekritis mungkin sehingga teks tidak menjadi saluran yang pasif belaka bagi makna yang telah tertentukan sebelumnya. Kritisisme semacam ini – suatu religius criticism – juga diperlukan agar bisa selalu disadari jarak yang memisahkan antara suatu teks dan penafsirannya. Dengan menyadari jarak ini maka dapat dihindarkan kecenderungan pemutlakan dalam wacana agama di satu sisi, sementara di sisi yang lain bisa ditumbuhkan semacam relativisme internal tertentu dalam kehidupan keberagamaan manusia.
Dengan wawasan semacam ini maka kehidupan agama juga bisa belajar dari aspek-aspek kehidupan manusia lainnya. Dalam praktiknya, agama tidak pernah menjadi acuan tunggal. Karena selalu terlibat dalam jaringan sosial yang lebih luas dalam suatu hubungan yang bersifat timbal-balik. Ini terutama relevan dalam konteks sosial politik Mesir di mana agama terlibat didalamnya dengan sangat intens. Keterlibatan agama itu tidak bisa dan tidak boleh lagi secara sederhana sebagai persoalan agama yang harus direspon secara teologis pula. Melainkan merupakan praktik-praktik manusiawi pada umunya yang melibatkan subyek-subyek sosial yang tidak “immun” dari berbagai interes tertentu terlepas dari jargon keagamaan yang disuarakannya.
Di atas segalanya, dengan konsesinya di atas Nasr Hamid Abu Zayd sebenarnya tengah mengadvokasikan suatu corak keagamaan yang rendah hati; suatu kesadaran bahwa dalam beragamapun subyeknya tetaplah menusia biasa yang bisa salah. (Ditulis oleh Siti Faizah)***
Catatan kaki:
Uraian biografi selanjutnya sebagian besar mengacu pada Moch. Nur Ichwan, kandidat Doktor kelahiran Ponorogo ini, kecuali jika disebut lain.
2 Kelompok ini semula bekerja sama dengan Gamal Abdul Nasser dalam “Gerakan Perwira Bebas” untuk menumbangkan pemerintahan regime sebelumnya. Tetapi setelah gerakan itu berhasil, keduanya bersimpang jalan dan kelompok Ikhwan akhirnya berdiri pada pihak yang beroposisi yang semakin lama mengambil bentuk yang semakin keras. Sebagai reaksinya, regime Gamal Abdul Nasser juga mengambil tindakan keras dengan menindas gerakan Ikhwan ini dan memenjarakan tokoh-tokohnya.
3 Keengganan ini menurut pengakuan Abu Zayd didasarkan pada peristiwa 25 tahun sebelumnya ketika disertasi Ahmad Khalafullah pada jurusan yang sama (tentang seni narasi dalam Al-qur`an) ditolak dan pembimbingnya, Prof. Amien Al-Khuli dilarang mengajar. Ketika itu pihak Universitas menganggap bahwa penggunaan pendekatan kesusastraan (literer) seperti dilakukan Khalafullah tidak layak diterapkan pada kitab suci Qur`an, Abu Zayd merasa cemas bahwa peristiwa yang serupa dapat terulang pada dirinya jika ia melakukan hal yang sama dalam studi Qur`an (lih. Abu Zayd 1996: 31).
4 Diterbitkan pada tahun 1982 di bawah judul al-ittijah al-`aqli fi-al-tafsir: Dirasah fi Qadiyah `l-majaz fi `l Qur`an `inda `l-Mu`tazilah (tren penafsiran rasional : studi tentang persoalan metafor dalam Qur`an menurut Mu`tazilah).
5 Diterbitkan pada tahun1993 dengan judul Falsafah al-Ta`wi: Dirasah fi Ta`wil al-Qur`an `inda Muhyiddin ibnu al-Arabi (Filsafat Ta`wil: Studi tentang Hermeneutika Qur`an menurut Muhyiddin ibnu `Arabi).
6 Sejak berlangsungnya pemilu 1982, partai-partai ini bahkan ikut-ikutan mencantumkan isu pemberlakuan hukum Islam dalam platform partainya, bahkan menjalin koalisi dengan kelompok Ikhwan al-Muslimun.
7 Karena itu, Nasr Abu Zayd mengkritik ibnu al-Syati` yang sementara mengikuti metode kritisisme literer yang dikemukakan Amin al-Khuli (suaminya sendiri), namun tidak menerapkan metode kritisisme historisnya. Ini membuat kedudukan ibnu al-Syati` lebih dekat pada posisi yang cenderung bersifat konservatif dan anti-modernis.
8 Di sini disebutkan bahwa model komunikasi bahasa dari RomanJakobson membantu Abu Zayd untuk mengintegrasikan aspek historis teks kedalam konsepsinya tentang tekstualitas Qur`an (lih. Shobibuddin 1999c: 4-5; bdk. Abu Zayd 1994: 25).

0 komentar

Posting Komentar

ANALOG


Label

Arsip Blog

BUKU TAMU


Free chat widget @ ShoutMix

VISITOR THE PAGE

RECENT VISITOR

TRAFFIC FISITOR

MY FAMILY

MY FAMILY






MY HEART

MY HEART