IBNU SHINA
Posted by DENBAGUS in TOKOH - TOKOH DUNIA
Ibnu Sina yang juga dikenali sebagai 'Aviciena' oleh masyarakat barat, telah dilahirkan pada 980 tahun Hijrah di Kampung Afshana berdekatan dengan Bukhara yang sekarang ini terletak dalam wilayah Rusia. Bapanya Abdullah tergulung dari kaum Bani Ismail.
Ketika berusia 10 tahun, Ibnu Sina telah mempamerkan kebijaksanaannya yang luar biasa. Dia telah menghafal kandungan Al-Quran dan lain-lain bahan penulisan klasik Arab. Ketika berusia 17 tahun, Ibnu Sina telah mengalihkan tumpuannya kepada bidang perubatan kerana dia menganggap ia lebih mudah. Dia telah menaikkan martabatnya sebagai seorang tabib ketika berusia 18 tahun apabila dia telah dititah oleh Sultan Nuh Ibnu Mansur untuk berkhidmat dengan baginda. Sebagai mengenang jasa dan khidmatnya, Sultan telah memperkenankan Ibnu Sina menggunakan perpustakaan diraja. Perpustakaan ini mengandungi banyak buku-buku yang unik dan jarang boleh dijumpai. Berkat kebolehannya menelaah dan mengingati sesuatu perkara, Ibnu Sina telah menghafal segala maklumat dari buku-buku yang dibacanya. Ketika berusia 21 tahun, dia telah menghasilkan bukunya yang pertama.
Ibnu Sina merupakan orang yang pertama menggunakan kaedah pembedahan dalam bidang perubatan. Dia telah menyembuhkan sahabatnya sendiri melalui pembedahan terhadap pundi hempedunya.
Sepanjang hayatnya, Ibnu Sina telah menghasilkan 45 penulisan tentang falsafah, perubatan, geometri, kaji bintang, ilmu ketuhanan dan metafizik. Ibnu Sina telah meninggal dunia pada tahun 1036 hijrah ketika berusia 58 tahun. Beliau telah dikebumikan di Hamadan.
Artikel dan gambar diadaptasi dari bahan di lelaman :
http://monz@starlight.demon.co.uk/html
Antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd
Oleh ASEP SAEFUL MIMBAR & AGUS SULTHONIE
DALAM realitas sejarahnya, manusia bukanlah makhluk yang vacum, tapi ia adalah makhluk dinamis yang selalu mengembara untuk melakukan pencerahan pemikiran dalam kerangka men-sejarah-kan eksistensi dirinya di bumi. Adalah jenis makhluk pemikir-filosof yang tidak pernah puas atas segala realitas yang terkadang kontras dengan idealisme dan bangunan-bangunan kemanusiaan.
Para filosof yang melakukan pengembaraan dalam refleksi-refleksi intelektual filosofisnya itu bermaksud untuk mencari solusi-solusi atas persoalan-persoalan manusia, alam--bahkan Tuhan sekalipun. Karenanya, sejarah pemikiran filsafat sesungguhnya tidak pernah mandeg dan berhenti. Bukankah, alam pikiran manusia itu bersifat sinambung, demikian ungkap Bernard Delfgauuw (1991:3)--bahkan kesinambungan alam fikiran manusia itu selalu bersamaan dengan perkembangan dan situasi sosial yang dihadapinya.
Dalam sejarah filsafat Islam telah muncul figur-figur filosof Muslim terkemuka model Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, betapapun dari sisi rentang waktu sesungguhnya keduanya tidak sezaman, tetapi keduanya telah memberikan kontribusi dan implikasi yang cukup signifikan bagi dunia dan umat Islam--bahkan sampai sekarang .
Dari hal tersebut di atas, penulis mencoba men-studi dan memahami terhadap beberapa tema dialog intelektual kedua tokoh tersebut, juga aspek-aspek epistemologi yang digunakan dan ditawarkan, dus implikasinya bagi dunia Islam.
Beberapa tema dialog intelektual
Adalah Al-Ghazali, sosok figur ulama-pemikir yang selalu ingin mengetahui kebenaran hakiki--yang bisa diyakini sepenuhnya tanpa sedikitpun keraguan. Karenanya, wajarlah bila Al-Ghazali berusaha mendalami seluruh pemikiran yang muncul saat itu--baik dari filosof Yunani maupun Muslim. Konon, katanya, setelah melalui proses kerja intelektual yang luar biasa, Al-Ghazali berkesimpulan bahwa pemikiran mereka--para filosof, ternyata tidak sesuai dengan apa yang dicarinya. Bahkan ia berpendapat, bahwa dalam pemikiran mereka terdapat kekacauan dan nampak bertentangan dengan ajaran agama. Untuk maksud tersebut, Al-Ghazali menulis kitab "Maqashid al-Falasifah" (Maksud-maksud para Filosof) yang berusaha memaparkan pemikiran para filosof yang tujuannya sebagai persiapan untuk menolak pandangan mereka. Sedangkan analisis dan kritikannya yang luar biasa itu, terkandung dalam bukunya yang terkenal "Tahafut al-Falasifah" (Kekacauan para Filosof).
Dalam "Tahafut al-Fasalifah" yang kemudian dibahas kembali dalam "Al-Munqidz Min al-Dhalal", yang diserang Al-Ghazali dengan nada keras hanyalah pada aspek mentafisis dari filsafat yang menurutnya bisa membawa kepada kekufuran. Dalam hal ini, kami kira al-Ghazali telah bertindak benar.
Ada tiga proposisi yang diserang habis-habisan. Pertama, pendirian para filosof akan kekekalan alam (qodim-nya alam). Kedua, terbatasnya pengetahuan Tuhan (Tuhan tidak mengetahui juz'iyat), hanya mengetahui yang universal saja. Ketiga, penyangkalan para filosof akan kebangkitan jasmani pada hari kiamat, bahwa kebangkitan jasmani sesungguhnya tidak ada.
Al-Farabi dan para filosof Muslim lainnya pernah berkata, bahwa alam ini adalah kekal, tegasnya qadim--tidak mempunyai permulaan zaman. Artinya, bukan hanya Allah yang qadim, tetapi juga ciptaan-Nya. Pandangan tersebut, begitu menggelisahkan seorang Al-Ghazali yang juga dikenal sebagai teolog. Dalam perspektif Al-Ghazali, pengertian qidam itu sebagai 'ada; sejak zaman tidak bermula yang tidak pernah tidak ada pada masa lampau, dan karenanya akan membawa pengertian kepada tidak diciptakan (ghair makhluq). Dengan demikian, munculnya pendapat tentang yang qadim selain Allah, menurut Al-Ghazali--akan membawa kepada: 1) Banyaknya yang qadim, yakni banyaknya Tuhan, yang berarti syirik; 2) Paham ateisme, alam yang qadim tidak memerlukan pencipta. Kedua pandangan ini secara normatif, dipandang bertentangan dengan ajaran Islam yang bersifat eternal dan essensial. Dari sinilah, bisa dimaklumi jika Al-Gazali mengkafirkan orang-orang yang menganut pemikiran qadim-nya alam.
Gugatan Al-Ghazali terhadap pemikiran para filosof itu--kelak ditanggapi secara serius oleh Ibn Rusyd. Menurut Rusyd, antara kaum teolog dan kaum filosof terdapat perbedaan yang mendasar tentang makna al-ihdats dan qadim. Menurut kalangan teolog, al-ihdats diartikan sebagai menciptakan dari 'tiada', sedangkan para filosof memahaminya sebagai menciptakan dari yang 'ada'. Dari 'tiada' (adam), menurut Ibn Rusyd--tidak bisa berubah menjadi 'ada' (wujud) dalam bentuk yang lain. Memang, dalam filsafat muncul suatu paradigma, bahwa penciptaan dari tiada (creatio ex nihillo) adalah suatu kemustahilan belaka. Untuk memperkuat pendapatnya, Ibn Rusyd mengemukakan ayat al- Qur'an surat Hud ayat 7 dan s. Fushilat ayat 11. Pada kedua ayat tersebut ditegaskan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dalam tempo enam periode. Dan langit pun diciptakan dari asap dan gas.
Dan secara cerdas, Ibn Rusyd berpandangan--bahwa seandainya Tuhan menciptakan sendiri secara langsung segala yang ada di alam ini, maka akibatnya teori tentang 'sebab akibat' atau kausalitas menjadi tiada berguna. Padahal apapun yang terjadi di alam ini tidak lepas dari hukum sebab akibat.
Menurut para filosof, Tuhan itu tidak mengetahui hal-hal yang kecil (juz'iyat), Tuhan hanya mengetahui yang universal saja. Pendapat ini didukung oleh para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui sesuatupun kecuali diri-Nya.
Dari pandangan selintas tersebut di atas, maka Al-Ghazali mementahkan pemikiran tersebut dari dua perspektif:
Pertama, ia sependapat dengan para filosof yang menyatakan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu dengan pengetahuan yang satu sejak zaman azzali dan tidak pernah berubah. Akan tetapi, pendapat mereka mengenai pengetahuan terikat dengan ruang dan waktu tidak bisa dibenarkan dengan akal sehat. Dalam pandangan Al-Ghazali pengetahuan Tuhan harus benar-benar bebas dari persyaratan ruang dan waktu. Menurutnya, Tuhan itu mengetahui hal-hal yang kecil, mulai dari beberapa daun kering yang jatuh di hutan sampai jumlah butiran pasir di pantai, Tuhan mengetahuinya. Dengan demikian, pengetahuan-Nya mencakup hal-hal juz'iat, juga yang tunduk pada ruang dan waktu. Perubahan yang mungkin terjadi pada modus pengetahuan--tidak harus terjadi pada modus pengetahuan, tidak harus terjadi perubahan pada Dzat Yang Menciptakan--melainkan hanya pada teknis pengetahuan dengan obyeknya yang terus menerus terjadi transformasi (perubahan).
Kedua menurut Al-Ghazali, mengapa para filosof mesti takut untuk mengatakan bahwa Tuhan juga mengetahui hal-hal yang kecil? Al-Ghazali juga mempertanyakan keyakinan para filosof yang menyatakan bahwa alam ini bersifat qadim. Bukankah alam itu merupakan subyek bagi perubahan-perubahan itu sendiri. Maka, menurut Al-Ghazali jika para filosof itu menyakini akan perubahan sesuatu yang qadim (alam), seharusnya mereka juga tidak menolak untuk mempercayai bahwa pengetahuan Tuhan bisa menimbulkan perubahan pada diri Tuhan.
Gugatan-gugatan Al-Ghazali tersebut disanggah secara bijak oleh Ibn Rusyd yang berpandangan bahwa pertentangan antara filosof dengan Al-Ghazali, hal itu muncul dari adanya penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Menurut Ibn Rusyd, hal-hal yang khusus juz'iat itu diketahui oleh manusia melalui panca indrawinya, sedangkan yang universal (kulliyat) diketahui melalu akal. Selanjutnya, menurut Ibn Rusyd pengetahuan Tuhan itu bersifat Qadim, sedangkan pengetahuan manusia bersifat baru (hadist). Pengetahuan yang universal merupakan sebab, sedangkan pengetahuan yang khusus merupakan akibat. Dengan demikian, para filosof sesungguhnya tidak pernah mengatakan, apakah pengetahuan Tuhan tentang alam ini bersifat juz'i atau kulli.
Para filosof berpendapat, bahwa yang kekal itu hanyalah jiwa manusia, bukan fisiknya. Mereka menolak kembalinya dan menyatunya jiwa denga fisik, mereka juga menolak adanya siksa neraka dalam bentuk fisik dan kesenangan surgawi dalam bentuk fisik pula. Menurut Ibnu Sina, semuanya itu hanyalah simbol dari Tuhan yang menggambarkan tentang kebahagian dan kesengsaraan, di mana surga merupakan simbol kebahagian, sedangkan neraka merupakan simbol kesengsaraan, yang menurut Ibnu Sina jika manusia sanggup memaksimalkan potensi dirinya yang memililiki delapan potensi sampai pada tingkat intelektualitasnya, maka ia memperoleh kebahagian dan menjadi 'insan kamil'.
Al-Ghazali sepakat dengan para filososof bahwa kenikmatan ruhani jauh lebih tinggi tinimbang kenikmatan jasmani. Demikian pula dengan keabadian jiwa sesudah berpisah dari badan, karena jiwa merupakan subtansi yang berdiri sendiri, dan ini sesuai dengan QS. Al-Imran ayat 169-170.
Secara tegas Al-Ghazali meng-konstatir argumentasi pemikiran para filosof yang dipandangnya tidak menyakinkan dan tidak berdasar, maka satu-satunya jalan adalah dengan cara kembali kepada otoritas kitab suci Al-Qur'an dan Sunah Rasul. Kemudian, Al-Ghazali merasa heran dan mempertanyakan, apa sih keberatanya Tuhan SWT memberikan balasan kepada manusia berupa kebahagian dan kesengsaraan yang bersifat spiritual dan sekaligus bersifat fisikal. Menurutnya, bukankah keterpaduan kedua hal tersebut lebih sempurna dari pada hanya berupa ruhani belaka. Karenanya, kita wajib membenarkan akan kebangkitan fisik dan ruhani. Kritikan dan gugatan Al-Ghazali nampak lebih bersifat normatif dan cenderung skripturalis dari pada didasarkan pada pandangan-pandangan filosofis.
Karenanya, menjadi wajarlah bila Ibn Rusyd pun kemudian menyanggahnya--bahwa kritikan Al-Ghazali terhadap para filosof dianggap sebagai salah alamat. Menurut Ibn Rusyd, para filosof tidak menyebut-nyebut hal itu--karena memang, Al-Farabi dan Ibn Sina tidak menegaskan pendapat mereka yang sebenarnya mengenai masalah itu. Memang, Ibn Rusyd tidak sepenuhnya sepakat dan overconfidence sebagaimana pemikiran filosof Ibn Sina cs. Sebab Ibn Rusyd masih memperhatikan firman Allah yang mengatakan: Tuhan akan membalas orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dengan surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, dan mereka langgeng di dalamnya. Akan tetapi yang menarik bagi Rusyd sesungguhnya adalah kelanjutan ayat tersebut yang mengatakan bahwa 'keridhaan Allah itulah yang utama'.
Dari uraian-uraian tersebut di atas, secara tentatif dapat ditarik kesimpulan, bahwa pertentangan Al-Gazali dengan para filosof--yang, kelak termasuk dengan Ibn Rusyd, adalah karena perbedaan interpetasi ijtihadi terhadap doktrin-doktrin Islam.
Sebagaiman diakuinya sendiri oleh Al-Ghazali dalam "al-Munqidz", bahwa dirinya adalah seorang empiris-rasionalis, dimana panca indra dan rasio dianggap sebagai media untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran sejati. Namun dalam pergumulannya itu, Al-Ghazali skeptis terhadap pengetahuan yang diperoleh panca indra (empiris), lalu Al-Ghazali beralih pada pengetahuan rasional (filsafat, logika). Dimana ia yakin bahwa pengetahuan rasional bisa menyakinkan dirinya.
Arkian, sehubungan dengan pengetahuan dan kebenaran empiris-rasional itu relatif, maka Al-Ghazali beralih pada kebenaran yang diajarkan tasawuf dengan mendekatkan diri kepada Allah melalui ma'rifat. Inilah barangkali epistemologi tasawufnya Al-Ghazali dalam menemukan kebenaran hakiki yang sejati.
Untuk mencapai ma'rifat yang akan membawanya pada nur Ilahi dan ilm al-mukasysyafah (pencerahan, iluminasi), menurut Al-Ghazali: maka seseorang harus menempuh maqamat-maqamat (stasiun-stasiun) tertentu.
Akhirnya, Al-Ghazali dalam pergumulannya dengan berbagai macam intelektualisme saat itu, ia menempuh jalan sufi. Pilihannya yang terakhir ini sebagai upaya untuk mencari kebenaran yang hakiki, ia mencoba untuk mereguk kedalaman spiritualitas sufistik secara mengagumkan. Melalui pengalaman mistisnya ini, Al-Ghazali men-sitensis-kan prinsip-prinsip filsafat dan mistis dalam sistem teologinya.
Epistimologi Ibn Rusyd berawal dari pembagian akal--akal aktif dan akal pasif. Akal aktif adalah akal yang dinamis yang mampu melahirkan konsep-konsep dan mendorong aktivitas. Sedangkan akal pasif adalah kemampuan yang bersifat operasional untuk mengaktualisasikan konsep-konsep.
Dalam epistemologi Ibn Rusyd, kedudukan akal untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran sangat tinggi. Menurut keyakinannya, segala permasalahan harus bisa diselesaikan oleh akal, dus dalam persoalan ketuhanan sekalipun. Namun demikian, ia mengakui bahwa sumber kebenaran itu ada dua, yakni agama dan akal.
Karena sumber kebenaran untuk mencapai kebenaran itu sendiri ada dua, maka Ibn Rusyd berkeyakinan bahwa agama dan akal atau agama dan fisafat itu bisa diketemukan.
Epistimologi Ibn Rusyd intinya adalah perpaduan agama dan filsafat. Inilah yang disebut sebagai doble-truth. Ibn Rusyd sendiri menulis sebuah makalah yang berjudul "Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa al-Syari'ah al-Ittishal".
Memang ada beberapa tudingan yang dialamatkan kepada Al-Ghazali yang dianggap sebagai tokoh figur anti intelektualisme. Sehingga pemikiran Al-Ghazali yang sangat Asy'arian tersebut dipandang harus turut bertanggungjawab atas kemerosotan kaum muslimin di dunia. Dan ini juga mungkin diangap sebagai bias atas serangan Al-Ghazali terhadap filsafat peripatetik-nya Ibnu Sina melalui bukunya "Tahafut al-Falasifah".
Tetapi sesungguhnya, kurang fair bila kemunduran kaum muslimin diakibatkan dari pemikirannya Al-Ghazali. Dalam magnum opus-nya "Ihya 'Ulum al-Dien", Al-Ghazali justru membagi ilmu menjadi dua, Syar'iyah dan ghair Syar'iyah. Ilmu Syar'iyah adalah segala sesuatu yang datang dari para Nabi yang wajib ditekuni oleh setiap muslim. Sedangkan yang ghair syar'iyah adalah segala ilmu yang bukan datang dari para Nabi. Sedangkan dari sisi sifatnya, ilmu itu ada yang terpuji (mahmud) dan tercela (madzmum). Ilmu-ilmu yang terpuji itu termasuk ilmu kedokteran, ilmu hisab, industri (al-shana;at) dan ilmu-ilmu yang lainya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, maka menpelajarinya menjadi fardu kifayah, termasuk di dalamnya ilmu politik (al-siyasah).
Dan sudah barang tentu tidak ada alasan bagi kaum muslimin untuk berpandangan bahwa Al-Ghazali mempunyai andil dalam meruntuhkan kaum muslimin. Justru, kemunduran umat Islam di dunia karena mengalami kemacetan berpikir di dunia Islam--itu pun khususnya di dunia Sunni--yang memang merupakan fenomena sosiologis yang sangat kompleks. Demikian kompleksnya, hinga tuduhan orang terhadap Al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran umat, sungguh sangat tidak berdasar sama sekali.
Sedangkan Ibn Rusyd yang dipandang sebagai orang yang paling serius di kalangan pemikir Islam, dalam pengembaraannya di arena filsafat memang sangat mengagumkan. Sehinga pengaruhnya di dunia--khususnya Barat (Eropa), memang karena pikiran-pikiran Ibn Rusyd yang brilian. Hal ini diakui oleh para pengamat Barat--bahwa pengaruh Ibn Rusyd di Eropa jauh lebih besar bila dibandingkan dengan Ibn Sina sekalipun. Pikirannya tidak saja terkenal sebagai penganjur pembaharuan tetapi juga dianggap sebagai 'Bapak' yang mengutamakan akal-filsafat secara modern.
Kami kira banyak manfaat yang kita peroleh--bahwa perdebatan dan pergumulan pemikiran dalam filsafat Islam antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd seharusnya memberi keinsyafan intelektual bagi kaum muslimin untuk selalu kritis sekaligus terbuka (inklusif). Lebih dari itu, dinamika dan kreativitas pemikiran serta intelektualitas Islam tidak boleh stagnan. Dalam hal ini, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd telah memberikan keteladanan kepada kita--dalam pengembaraan intelektual dan dialog pemikiran-pemikirannya yang tajam. Wallahu 'alam bi al-shawab
Ketika berusia 10 tahun, Ibnu Sina telah mempamerkan kebijaksanaannya yang luar biasa. Dia telah menghafal kandungan Al-Quran dan lain-lain bahan penulisan klasik Arab. Ketika berusia 17 tahun, Ibnu Sina telah mengalihkan tumpuannya kepada bidang perubatan kerana dia menganggap ia lebih mudah. Dia telah menaikkan martabatnya sebagai seorang tabib ketika berusia 18 tahun apabila dia telah dititah oleh Sultan Nuh Ibnu Mansur untuk berkhidmat dengan baginda. Sebagai mengenang jasa dan khidmatnya, Sultan telah memperkenankan Ibnu Sina menggunakan perpustakaan diraja. Perpustakaan ini mengandungi banyak buku-buku yang unik dan jarang boleh dijumpai. Berkat kebolehannya menelaah dan mengingati sesuatu perkara, Ibnu Sina telah menghafal segala maklumat dari buku-buku yang dibacanya. Ketika berusia 21 tahun, dia telah menghasilkan bukunya yang pertama.
Ibnu Sina merupakan orang yang pertama menggunakan kaedah pembedahan dalam bidang perubatan. Dia telah menyembuhkan sahabatnya sendiri melalui pembedahan terhadap pundi hempedunya.
Sepanjang hayatnya, Ibnu Sina telah menghasilkan 45 penulisan tentang falsafah, perubatan, geometri, kaji bintang, ilmu ketuhanan dan metafizik. Ibnu Sina telah meninggal dunia pada tahun 1036 hijrah ketika berusia 58 tahun. Beliau telah dikebumikan di Hamadan.
Artikel dan gambar diadaptasi dari bahan di lelaman :
http://monz@starlight.demon.co.uk/html
Antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd
Oleh ASEP SAEFUL MIMBAR & AGUS SULTHONIE
DALAM realitas sejarahnya, manusia bukanlah makhluk yang vacum, tapi ia adalah makhluk dinamis yang selalu mengembara untuk melakukan pencerahan pemikiran dalam kerangka men-sejarah-kan eksistensi dirinya di bumi. Adalah jenis makhluk pemikir-filosof yang tidak pernah puas atas segala realitas yang terkadang kontras dengan idealisme dan bangunan-bangunan kemanusiaan.
Para filosof yang melakukan pengembaraan dalam refleksi-refleksi intelektual filosofisnya itu bermaksud untuk mencari solusi-solusi atas persoalan-persoalan manusia, alam--bahkan Tuhan sekalipun. Karenanya, sejarah pemikiran filsafat sesungguhnya tidak pernah mandeg dan berhenti. Bukankah, alam pikiran manusia itu bersifat sinambung, demikian ungkap Bernard Delfgauuw (1991:3)--bahkan kesinambungan alam fikiran manusia itu selalu bersamaan dengan perkembangan dan situasi sosial yang dihadapinya.
Dalam sejarah filsafat Islam telah muncul figur-figur filosof Muslim terkemuka model Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, betapapun dari sisi rentang waktu sesungguhnya keduanya tidak sezaman, tetapi keduanya telah memberikan kontribusi dan implikasi yang cukup signifikan bagi dunia dan umat Islam--bahkan sampai sekarang .
Dari hal tersebut di atas, penulis mencoba men-studi dan memahami terhadap beberapa tema dialog intelektual kedua tokoh tersebut, juga aspek-aspek epistemologi yang digunakan dan ditawarkan, dus implikasinya bagi dunia Islam.
Beberapa tema dialog intelektual
Adalah Al-Ghazali, sosok figur ulama-pemikir yang selalu ingin mengetahui kebenaran hakiki--yang bisa diyakini sepenuhnya tanpa sedikitpun keraguan. Karenanya, wajarlah bila Al-Ghazali berusaha mendalami seluruh pemikiran yang muncul saat itu--baik dari filosof Yunani maupun Muslim. Konon, katanya, setelah melalui proses kerja intelektual yang luar biasa, Al-Ghazali berkesimpulan bahwa pemikiran mereka--para filosof, ternyata tidak sesuai dengan apa yang dicarinya. Bahkan ia berpendapat, bahwa dalam pemikiran mereka terdapat kekacauan dan nampak bertentangan dengan ajaran agama. Untuk maksud tersebut, Al-Ghazali menulis kitab "Maqashid al-Falasifah" (Maksud-maksud para Filosof) yang berusaha memaparkan pemikiran para filosof yang tujuannya sebagai persiapan untuk menolak pandangan mereka. Sedangkan analisis dan kritikannya yang luar biasa itu, terkandung dalam bukunya yang terkenal "Tahafut al-Falasifah" (Kekacauan para Filosof).
Dalam "Tahafut al-Fasalifah" yang kemudian dibahas kembali dalam "Al-Munqidz Min al-Dhalal", yang diserang Al-Ghazali dengan nada keras hanyalah pada aspek mentafisis dari filsafat yang menurutnya bisa membawa kepada kekufuran. Dalam hal ini, kami kira al-Ghazali telah bertindak benar.
Ada tiga proposisi yang diserang habis-habisan. Pertama, pendirian para filosof akan kekekalan alam (qodim-nya alam). Kedua, terbatasnya pengetahuan Tuhan (Tuhan tidak mengetahui juz'iyat), hanya mengetahui yang universal saja. Ketiga, penyangkalan para filosof akan kebangkitan jasmani pada hari kiamat, bahwa kebangkitan jasmani sesungguhnya tidak ada.
Al-Farabi dan para filosof Muslim lainnya pernah berkata, bahwa alam ini adalah kekal, tegasnya qadim--tidak mempunyai permulaan zaman. Artinya, bukan hanya Allah yang qadim, tetapi juga ciptaan-Nya. Pandangan tersebut, begitu menggelisahkan seorang Al-Ghazali yang juga dikenal sebagai teolog. Dalam perspektif Al-Ghazali, pengertian qidam itu sebagai 'ada; sejak zaman tidak bermula yang tidak pernah tidak ada pada masa lampau, dan karenanya akan membawa pengertian kepada tidak diciptakan (ghair makhluq). Dengan demikian, munculnya pendapat tentang yang qadim selain Allah, menurut Al-Ghazali--akan membawa kepada: 1) Banyaknya yang qadim, yakni banyaknya Tuhan, yang berarti syirik; 2) Paham ateisme, alam yang qadim tidak memerlukan pencipta. Kedua pandangan ini secara normatif, dipandang bertentangan dengan ajaran Islam yang bersifat eternal dan essensial. Dari sinilah, bisa dimaklumi jika Al-Gazali mengkafirkan orang-orang yang menganut pemikiran qadim-nya alam.
Gugatan Al-Ghazali terhadap pemikiran para filosof itu--kelak ditanggapi secara serius oleh Ibn Rusyd. Menurut Rusyd, antara kaum teolog dan kaum filosof terdapat perbedaan yang mendasar tentang makna al-ihdats dan qadim. Menurut kalangan teolog, al-ihdats diartikan sebagai menciptakan dari 'tiada', sedangkan para filosof memahaminya sebagai menciptakan dari yang 'ada'. Dari 'tiada' (adam), menurut Ibn Rusyd--tidak bisa berubah menjadi 'ada' (wujud) dalam bentuk yang lain. Memang, dalam filsafat muncul suatu paradigma, bahwa penciptaan dari tiada (creatio ex nihillo) adalah suatu kemustahilan belaka. Untuk memperkuat pendapatnya, Ibn Rusyd mengemukakan ayat al- Qur'an surat Hud ayat 7 dan s. Fushilat ayat 11. Pada kedua ayat tersebut ditegaskan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dalam tempo enam periode. Dan langit pun diciptakan dari asap dan gas.
Dan secara cerdas, Ibn Rusyd berpandangan--bahwa seandainya Tuhan menciptakan sendiri secara langsung segala yang ada di alam ini, maka akibatnya teori tentang 'sebab akibat' atau kausalitas menjadi tiada berguna. Padahal apapun yang terjadi di alam ini tidak lepas dari hukum sebab akibat.
Menurut para filosof, Tuhan itu tidak mengetahui hal-hal yang kecil (juz'iyat), Tuhan hanya mengetahui yang universal saja. Pendapat ini didukung oleh para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui sesuatupun kecuali diri-Nya.
Dari pandangan selintas tersebut di atas, maka Al-Ghazali mementahkan pemikiran tersebut dari dua perspektif:
Pertama, ia sependapat dengan para filosof yang menyatakan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu dengan pengetahuan yang satu sejak zaman azzali dan tidak pernah berubah. Akan tetapi, pendapat mereka mengenai pengetahuan terikat dengan ruang dan waktu tidak bisa dibenarkan dengan akal sehat. Dalam pandangan Al-Ghazali pengetahuan Tuhan harus benar-benar bebas dari persyaratan ruang dan waktu. Menurutnya, Tuhan itu mengetahui hal-hal yang kecil, mulai dari beberapa daun kering yang jatuh di hutan sampai jumlah butiran pasir di pantai, Tuhan mengetahuinya. Dengan demikian, pengetahuan-Nya mencakup hal-hal juz'iat, juga yang tunduk pada ruang dan waktu. Perubahan yang mungkin terjadi pada modus pengetahuan--tidak harus terjadi pada modus pengetahuan, tidak harus terjadi perubahan pada Dzat Yang Menciptakan--melainkan hanya pada teknis pengetahuan dengan obyeknya yang terus menerus terjadi transformasi (perubahan).
Kedua menurut Al-Ghazali, mengapa para filosof mesti takut untuk mengatakan bahwa Tuhan juga mengetahui hal-hal yang kecil? Al-Ghazali juga mempertanyakan keyakinan para filosof yang menyatakan bahwa alam ini bersifat qadim. Bukankah alam itu merupakan subyek bagi perubahan-perubahan itu sendiri. Maka, menurut Al-Ghazali jika para filosof itu menyakini akan perubahan sesuatu yang qadim (alam), seharusnya mereka juga tidak menolak untuk mempercayai bahwa pengetahuan Tuhan bisa menimbulkan perubahan pada diri Tuhan.
Gugatan-gugatan Al-Ghazali tersebut disanggah secara bijak oleh Ibn Rusyd yang berpandangan bahwa pertentangan antara filosof dengan Al-Ghazali, hal itu muncul dari adanya penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Menurut Ibn Rusyd, hal-hal yang khusus juz'iat itu diketahui oleh manusia melalui panca indrawinya, sedangkan yang universal (kulliyat) diketahui melalu akal. Selanjutnya, menurut Ibn Rusyd pengetahuan Tuhan itu bersifat Qadim, sedangkan pengetahuan manusia bersifat baru (hadist). Pengetahuan yang universal merupakan sebab, sedangkan pengetahuan yang khusus merupakan akibat. Dengan demikian, para filosof sesungguhnya tidak pernah mengatakan, apakah pengetahuan Tuhan tentang alam ini bersifat juz'i atau kulli.
Para filosof berpendapat, bahwa yang kekal itu hanyalah jiwa manusia, bukan fisiknya. Mereka menolak kembalinya dan menyatunya jiwa denga fisik, mereka juga menolak adanya siksa neraka dalam bentuk fisik dan kesenangan surgawi dalam bentuk fisik pula. Menurut Ibnu Sina, semuanya itu hanyalah simbol dari Tuhan yang menggambarkan tentang kebahagian dan kesengsaraan, di mana surga merupakan simbol kebahagian, sedangkan neraka merupakan simbol kesengsaraan, yang menurut Ibnu Sina jika manusia sanggup memaksimalkan potensi dirinya yang memililiki delapan potensi sampai pada tingkat intelektualitasnya, maka ia memperoleh kebahagian dan menjadi 'insan kamil'.
Al-Ghazali sepakat dengan para filososof bahwa kenikmatan ruhani jauh lebih tinggi tinimbang kenikmatan jasmani. Demikian pula dengan keabadian jiwa sesudah berpisah dari badan, karena jiwa merupakan subtansi yang berdiri sendiri, dan ini sesuai dengan QS. Al-Imran ayat 169-170.
Secara tegas Al-Ghazali meng-konstatir argumentasi pemikiran para filosof yang dipandangnya tidak menyakinkan dan tidak berdasar, maka satu-satunya jalan adalah dengan cara kembali kepada otoritas kitab suci Al-Qur'an dan Sunah Rasul. Kemudian, Al-Ghazali merasa heran dan mempertanyakan, apa sih keberatanya Tuhan SWT memberikan balasan kepada manusia berupa kebahagian dan kesengsaraan yang bersifat spiritual dan sekaligus bersifat fisikal. Menurutnya, bukankah keterpaduan kedua hal tersebut lebih sempurna dari pada hanya berupa ruhani belaka. Karenanya, kita wajib membenarkan akan kebangkitan fisik dan ruhani. Kritikan dan gugatan Al-Ghazali nampak lebih bersifat normatif dan cenderung skripturalis dari pada didasarkan pada pandangan-pandangan filosofis.
Karenanya, menjadi wajarlah bila Ibn Rusyd pun kemudian menyanggahnya--bahwa kritikan Al-Ghazali terhadap para filosof dianggap sebagai salah alamat. Menurut Ibn Rusyd, para filosof tidak menyebut-nyebut hal itu--karena memang, Al-Farabi dan Ibn Sina tidak menegaskan pendapat mereka yang sebenarnya mengenai masalah itu. Memang, Ibn Rusyd tidak sepenuhnya sepakat dan overconfidence sebagaimana pemikiran filosof Ibn Sina cs. Sebab Ibn Rusyd masih memperhatikan firman Allah yang mengatakan: Tuhan akan membalas orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dengan surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, dan mereka langgeng di dalamnya. Akan tetapi yang menarik bagi Rusyd sesungguhnya adalah kelanjutan ayat tersebut yang mengatakan bahwa 'keridhaan Allah itulah yang utama'.
Dari uraian-uraian tersebut di atas, secara tentatif dapat ditarik kesimpulan, bahwa pertentangan Al-Gazali dengan para filosof--yang, kelak termasuk dengan Ibn Rusyd, adalah karena perbedaan interpetasi ijtihadi terhadap doktrin-doktrin Islam.
Sebagaiman diakuinya sendiri oleh Al-Ghazali dalam "al-Munqidz", bahwa dirinya adalah seorang empiris-rasionalis, dimana panca indra dan rasio dianggap sebagai media untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran sejati. Namun dalam pergumulannya itu, Al-Ghazali skeptis terhadap pengetahuan yang diperoleh panca indra (empiris), lalu Al-Ghazali beralih pada pengetahuan rasional (filsafat, logika). Dimana ia yakin bahwa pengetahuan rasional bisa menyakinkan dirinya.
Arkian, sehubungan dengan pengetahuan dan kebenaran empiris-rasional itu relatif, maka Al-Ghazali beralih pada kebenaran yang diajarkan tasawuf dengan mendekatkan diri kepada Allah melalui ma'rifat. Inilah barangkali epistemologi tasawufnya Al-Ghazali dalam menemukan kebenaran hakiki yang sejati.
Untuk mencapai ma'rifat yang akan membawanya pada nur Ilahi dan ilm al-mukasysyafah (pencerahan, iluminasi), menurut Al-Ghazali: maka seseorang harus menempuh maqamat-maqamat (stasiun-stasiun) tertentu.
Akhirnya, Al-Ghazali dalam pergumulannya dengan berbagai macam intelektualisme saat itu, ia menempuh jalan sufi. Pilihannya yang terakhir ini sebagai upaya untuk mencari kebenaran yang hakiki, ia mencoba untuk mereguk kedalaman spiritualitas sufistik secara mengagumkan. Melalui pengalaman mistisnya ini, Al-Ghazali men-sitensis-kan prinsip-prinsip filsafat dan mistis dalam sistem teologinya.
Epistimologi Ibn Rusyd berawal dari pembagian akal--akal aktif dan akal pasif. Akal aktif adalah akal yang dinamis yang mampu melahirkan konsep-konsep dan mendorong aktivitas. Sedangkan akal pasif adalah kemampuan yang bersifat operasional untuk mengaktualisasikan konsep-konsep.
Dalam epistemologi Ibn Rusyd, kedudukan akal untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran sangat tinggi. Menurut keyakinannya, segala permasalahan harus bisa diselesaikan oleh akal, dus dalam persoalan ketuhanan sekalipun. Namun demikian, ia mengakui bahwa sumber kebenaran itu ada dua, yakni agama dan akal.
Karena sumber kebenaran untuk mencapai kebenaran itu sendiri ada dua, maka Ibn Rusyd berkeyakinan bahwa agama dan akal atau agama dan fisafat itu bisa diketemukan.
Epistimologi Ibn Rusyd intinya adalah perpaduan agama dan filsafat. Inilah yang disebut sebagai doble-truth. Ibn Rusyd sendiri menulis sebuah makalah yang berjudul "Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa al-Syari'ah al-Ittishal".
Memang ada beberapa tudingan yang dialamatkan kepada Al-Ghazali yang dianggap sebagai tokoh figur anti intelektualisme. Sehingga pemikiran Al-Ghazali yang sangat Asy'arian tersebut dipandang harus turut bertanggungjawab atas kemerosotan kaum muslimin di dunia. Dan ini juga mungkin diangap sebagai bias atas serangan Al-Ghazali terhadap filsafat peripatetik-nya Ibnu Sina melalui bukunya "Tahafut al-Falasifah".
Tetapi sesungguhnya, kurang fair bila kemunduran kaum muslimin diakibatkan dari pemikirannya Al-Ghazali. Dalam magnum opus-nya "Ihya 'Ulum al-Dien", Al-Ghazali justru membagi ilmu menjadi dua, Syar'iyah dan ghair Syar'iyah. Ilmu Syar'iyah adalah segala sesuatu yang datang dari para Nabi yang wajib ditekuni oleh setiap muslim. Sedangkan yang ghair syar'iyah adalah segala ilmu yang bukan datang dari para Nabi. Sedangkan dari sisi sifatnya, ilmu itu ada yang terpuji (mahmud) dan tercela (madzmum). Ilmu-ilmu yang terpuji itu termasuk ilmu kedokteran, ilmu hisab, industri (al-shana;at) dan ilmu-ilmu yang lainya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, maka menpelajarinya menjadi fardu kifayah, termasuk di dalamnya ilmu politik (al-siyasah).
Dan sudah barang tentu tidak ada alasan bagi kaum muslimin untuk berpandangan bahwa Al-Ghazali mempunyai andil dalam meruntuhkan kaum muslimin. Justru, kemunduran umat Islam di dunia karena mengalami kemacetan berpikir di dunia Islam--itu pun khususnya di dunia Sunni--yang memang merupakan fenomena sosiologis yang sangat kompleks. Demikian kompleksnya, hinga tuduhan orang terhadap Al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran umat, sungguh sangat tidak berdasar sama sekali.
Sedangkan Ibn Rusyd yang dipandang sebagai orang yang paling serius di kalangan pemikir Islam, dalam pengembaraannya di arena filsafat memang sangat mengagumkan. Sehinga pengaruhnya di dunia--khususnya Barat (Eropa), memang karena pikiran-pikiran Ibn Rusyd yang brilian. Hal ini diakui oleh para pengamat Barat--bahwa pengaruh Ibn Rusyd di Eropa jauh lebih besar bila dibandingkan dengan Ibn Sina sekalipun. Pikirannya tidak saja terkenal sebagai penganjur pembaharuan tetapi juga dianggap sebagai 'Bapak' yang mengutamakan akal-filsafat secara modern.
Kami kira banyak manfaat yang kita peroleh--bahwa perdebatan dan pergumulan pemikiran dalam filsafat Islam antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd seharusnya memberi keinsyafan intelektual bagi kaum muslimin untuk selalu kritis sekaligus terbuka (inklusif). Lebih dari itu, dinamika dan kreativitas pemikiran serta intelektualitas Islam tidak boleh stagnan. Dalam hal ini, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd telah memberikan keteladanan kepada kita--dalam pengembaraan intelektual dan dialog pemikiran-pemikirannya yang tajam. Wallahu 'alam bi al-shawab