Djalaluddin Rakhmat "Psikologi Agama- Sebuah Pengantar"
Posted by DENBAGUS in TOKOH - TOKOH DUNIA
Bertanding dan Bersanding
Judul Buku : Psikologi Agama- Sebuah Pengantar
Penulis : Djalaluddin Rakhmat
Penerbit : Mizan
Cetakan I : September 2003
Tebal : xviii + 247 halaman
Nurani Einstein berkata dalam salah satu pidatonya bahwa ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta. Pergulatan Einstein dengan sains membawanya menemukan Tuhan. Perkembangan sains sekarang ini menunjukkan ke arah kepedulian terhadap agama. Namun, keduanya, sains dan agama, pernah berperang dan kemudian rujuk lagi. Psikologi, sebagai bagian dari sains juga mengikuti alur perang dan rujuk yang terjadi. Jalaluddin Rakhmat, sang ahli komunikasi ini mengupasnya secara mendetail dalam buku Psikologi Agama-Sebuah Pengantar yang diterbitkan oleh Mizan.
Agama dan Sains
Perkembangan selama ini menunjukkan bahwa sains didominasi oleh aliran positivisme, sebuah aliran yang sangat menuhankan metode ilmiah dengan menempatkan asumsi-asumsi metafisis, aksiologis dan epistemologis. Menurut aliran ini, sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan kebenaran, sains merupakan ‘dewa’ dalam beragam tindakan (sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain). Agama hanyalah merupakan hiasan belaka ketika tidak sesuai dengan sains, begitu kira-kira kata positivisme.
Namun apakah yang dimaksud dengan kebenaran itu? Menurut sains, kebenaran adalah sesuatu yang empiris, logis, konsisten, dan dapat diverifikasi. Sains menempatkan kebenaran pada sesuatu yang bisa terjangkau oleh indra. Sedangkan agama menempatkan kebenaran tidak hanya meliputi hal-hal yang terjangkau oleh indra tetapi juga yang bersifat non indrawi. Sesuatu yang datangnya dari Tuhan harus diterima dengan keyakinan, kebenaran di sini akan menjadi rujukan bagi kebenaran-kebenaran yang lain. Sains dan agama berbeda, karena mungkin mereka berbeda paradigma.
Pengklasifikasian secara jelas antara sains dan agama menjadi suatu tren tersendiri di masyarakat zaman renaiscance dan tren ini menjadi dasar yang kuat sampai pada perkembangan selanjutnya.
Akibatnya, agama dan sains berjalan sendiri-sendiri tidak beriringan, maka tak heran kalau kemudian terjadi pertempuran di antara keduanya. Sains menuduh agama ketinggalan zaman, dan agama balik menyerang dengan mengatakan bahwa sains sebagai musuh Tuhan.
Sejarah tidak dapat menutup mata tentang pertempuran dua kubu ini. Ingatlah ketika Galileo dan Copernicus dihukum oleh Gereja karena penemuan mereka berdua bertentangan dengan Bibel. Disusul kemudian dengan serangan dari teori evolusi Darwin yang mengklaim bahwa segala sesuatu berevolusi dan manusia merupakan hasil evolusi dari kera.
Perseteruan antara agama dan sains dibahas dalam bab 2 dalam buku yang bersampul putih ini. Psikologi merupakan salah satu bidang yang dikaji dalam sains, sehingga psikologi pun pernah mengalami permusuhan dengan agama. Hal tersebut dituliskan oleh Kang Jalal-panggilan Jalaluddin Rakhmat- dalam bab 3 tentang psikologi dan agama yang kemudian dilanjutkan dengan bab 4 tentang psikologi versus agama.
Perseteruan Antara Psikologi dan Agama
Pertempuran antara agama dan sains dalam bidang psikologi (yang merupakan bagian bab 4 dalam buku ini) untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Sigmund Freud, bapak psikoanalisis. Freud yang dilahirkan sebagai keturunan Yahudi dengan sangat tegas menyatakan ketidakpercayaannya terhadap agama. Menurutnya, agama merupakan ilusi, delusi, pengekspresian dari harapan masa kanak-kanak terhadap ketakutan dari bahaya-bahaya kehidupan. Tokoh ateisme ini dalam praktek menghadapi kliennya menemukan bahwa terdapat kesamaan antara tingkah laku orang yang beragama dengan tingkah laku orang yang menderita obsesif neurotis, salah satu abnormalitas dalam tingkah laku. Dengan pemikirannya yang seperti itu, Freud menanggalkan agama “Yahudi” dan menyatakan “psikoanalisis” sebagai panutannya. Bukan Freud namanya kalau tak bisa mempengaruhi orang lain, pemikiran Freud mengilhami dunia di sekitarnya. Sehingga beredarlah label dalam masyarakat saat itu bahwa seseorang yang meninggalkan agama adalah seorang intelektual dan ilmiah sedangkan yang menyandang agama dicap memiliki patologi (penyakit).
Setelah Freud, dalam sejarah aliran psikologi, kita mengenal behaviorisme. Behaviorisme dengan salah satu tokohnya Watson menyatakan bahwa kita tidak mungkin meneliti pengalaman spiritual karena hal itu tidak bisa dibuktikan secara empiris dan tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahannya. Bagi Watson, pengalaman spiritual tidak akan pernah menjadi data sains karena sains modern dibangun di atas dasar empirisme, sesuatu yang bisa diamati dan diuji. Berdasarkan asumsi ini, psikologi yang awalnya mempelajari tentang jiwa beralih meneliti tentang tingkah laku manusia.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan ketika sains mencapai puncak kejayaan, manusia yang mempunyai the soul (jiwa) berkata jujur: “Hidupku hampa walau kubergelimang harta dan kebahagiaan, kukehilangan makna, apa fungsi aku hidup?”. Sains hanya bisa menutup mulut, penjelasannya hanya ada di agama. Sains tertunduk malu, dan agama pun mengajak untuk bersanding bukan bertanding. Di sinilah suatu titik yang membawa perubahan pada perkembangan sains selanjutnya yang juga berpengaruh pada perkembangan psikologi dimana psikologi mulai melirik agama untuk studi-studinya.
Khusus mengenai psikologi yang pro agama diceritakan dalam bab 5 yang sekaligus juga sebagai penutup dari buku terbitan Mizan ini.
Rujuk; Psikologi bersanding dengan Agama
Berawal dari pertanyaan terhadap makna kehidupan, dalam sejarah psikologi kemudian berkembang logoterapi, suatu teknik untuk memberikan makna melalui pendekatan agama. Selain itu juga lahir aliran psikologi transpersonal, yang menganggap pengalaman keagamaan sebagai pengalaman puncak manusia.
Psikologi agama, menurut kang Jalal, adalah studi agama yang dilakukan oleh para psikolog. Psikologi agama sebagai suatu aliran baru dalam psikologi masih belum mempunyai suatu kriteria yang paten tentang bagaimana interaksi antara keduanya. Sehingga timbul pertanyaan tentang pengklasifikasian dari psikologi agama itu sendiri. Apakah kajian psikologi tentang agama merupakan bagian dari psikologi agama, atau apakah kajian agama yang berbau psikologi dapat langsung dikategorikan sebagai psikologi agama, adakah psikologi agama merupakan integrasi dari keduanya-pertanyaan-pertanyaan ini masih belum terjawab secara pasti.
Namun demikian, aliran psikologi agama saat ini cukup memikat perhatian dunia akademis, terbukti dengan keberadaan divisi 36 dalam APA (American Psychological Association) yang mengkhususkan diri untuk pengembangan psikologi agama.
Sekilas buku ini terkesan sebagai buku populer, tapi tampaknya lebih pas untuk disebut sebagai buku yang “agak” ilmiah karena melihat dari paparan yang diajukan penulis dari bab awal sampai akhir. Walaupun “agak” ilmiah, jangan khawatir dulu, bahasanya tetap komunikatif sehingga memudahkan pembaca untuk memahami hasil karya ahli komunikasi merangkap pecinta psikologi ini. Selamat Membaca!
Keberagamaan yang Sehat dan Matang
JUDUL buku: Psikologi Agama: Sebuah Pengantar
PENERBIT: Mizan, September 2003
TEBAL: 247 halaman
AGAMA merupakan kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat karena agama senantiasa hadir dalam kehidupan sehari-hari di rumah, kantor, media massa, pasar, dan di mana pun saja kita berada. Begitu misterius karena agama sering kali menampakkan wajah-wajah yang ambigu (tampak berlawanan) memotivasi kekerasan dan solidaritas kemanusiaan, menumbuhkan takhayul dan mengilhami pencarian ilmu pengetahuan, memekikkan peperangan paling keji dan menebarkan perdamaian paling hakiki.
TERKADANG kita begitu resah, gelisah, dan tak kunjung mengerti ketika menjumpai seseorang yang tampak begitu religius, rajin beribadah, dan terlihat sangat beriman kepada Tuhan, namun pada saat sama bersedia melakukan tindakan kekerasan dan bahkan pembantaian terhadap manusia serta sekaligus mencari pembenaran atau mengklaim tindakan tersebut sebagai kebenaran. Sebagai contoh, kita tak begitu mengerti mengapa Amrozi yang tampak sangat religius tega untuk ikut andil dalam peledakan bom di Bali. Pertanyaan kita adalah: benarkah keberagamaan tersebut? Atau dengan pertanyaan lain: sehatkah keberagamaan seperti itu?
Bagaimana kita dapat mengukur dan memahami keberagamaan yang tampak ambigu tersebut? Agama tentu bisa saja dipelajari dari berbagai pendekatan. Namun, dibandingkan dengan pendekatan lain (khususnya teologi), pendekatan psikologi merupakan pendekatan paling manusiawi dan adil.
Psikologi memperlakukan agama bukan sebagai fenomena "langit" yang serba sakral dan transenden, seperti yang menjadi pendekatan teologi. Pendekatan psikologis ingin sepenuhnya membaca keberagamaan sebagai fenomena yang manusiawi dan menukik ke dalam proses-proses kejiwaan yang memengaruhi perilaku kita dalam beragama. Psikologi, karena itu, memandang agama sebagai perilaku manusiawi yang melibatkan siapa saja, agama apa saja, dan di mana saja. Pendekatan psikologis terhadap agama inilah yang coba dilakukan Kang Jalal (panggilan akrab Prof Dr Jalaluddin Rakhmat) dalam buku terbarunya berjudul Psikologi Agama: Sebuah Pengantar.
Dengan studi kepustakaan yang ekstensif dan analisis yang tajam atas berbagai fenomena keagamaan yang berkembang, buku psikologi agama karya kang Jalal ini memberi kita petunjuk untuk mengukur dan memahami keberagamaan kita. Inilah buku paling serius dan ilmiah yang pernah ditulis seorang cendekiawan Muslim tentang psikologi agama.
SIGMUND Freud, bapak psikologi modern, dalam bukunya The Future of An Illusion mengatakan bahwa pada dasarnya motivasi beragama berasal dari ketakberdayaan manusia melawan kekuatan-kekuatan alamiah di luar dirinya, dan kekuatan naluriah dari dalam dirinya. Agama timbul karena manusia belum mampu mempergunakan kekuatan diri dan akalnya secara maksimal.
Dalam pandangan Sigmund Freud, keberagamaan seperti di atas sebagai sesuatu sikap mirip dengan "neurosis obsesional" yang menjangkiti orang beragama. Agama, kata Freud adalah suatu ilusi yang sengaja diciptakan manusia dalam rangka mengatasi berbagai macam problem psikologis yang menyedihkan, seperti rasa frustrasi, depresi, narsisme atau rasa bersalah yang dihadapi manusia (hlm 41).
Freud sebenarnya sedang menyuarakan suatu keprihatinan etis: bahwa dengan beragama manusia sebenarnya bisa jatuh dalam suasana yang patologis, khususnya kalau akalnya tidak dipakai sebagai jalan mengembangkan kesadaran beragama. Ia merasa berkewajiban untuk menyembuhkan umat manusia dari "gangguan kejiwaan" yang bernama agama (hlm 11).
Freud mengatakan, orang beragama sering berada dalam situasi the feeling of powerlessness (perasaan ketergantungan). Menurut Freud, dengan the feeling of powerlessness itu, orang tak akan pernah sampai pada kedewasaan beragama, justru karena gagal membangun otonomi dirinya sendiri sebagai manusia. Mengapa? Karena the feeling of powerlessness pada hakikatnya berlawanan dengan apa yang dalam tradisi keagamaan disebut sebagai religious feeling (perasaan keberagamaan), yang selalu ditandai dengan tujuan perkembangan spiritual manusia dalam cita-cita pencapaian kebenaran (reason, truth, logos), cintakasih-persaudaraan (brotherly-love), mengurangi penderitaan (reduction of suffering), dan sebagai jalan mendapatkan kebebasan dan tanggung jawab sosial manusia sebagai wakil Tuhan di muka Bumi ini.
Menafsirkan Freud dengan cara ini, seperti yang dilakukan Kang Jalal, akan membawa kita pada sudut pandang lain terhadap psikoanalisis, yang selama ini dalam hampir semua buku filsafat agama sering dilihat hanya secara negatif: bahwa psikoanalisis Freud menyuarakan ateisme. Padahal, justru sebaliknya: Dilihat dari sudut etis, Freud-dengan cara psikoanalitisnya itu-sebenarnya sedang menyuarakan suatu keprihatinan atas penggusuran hakikat agama, yaitu religious feeling, oleh perasaan yang tak terkendali, yang dianggap orang beragama sebagai "agama". Lewat analisis Freud, kita bisa melihat hubungan manusia psikologis dengan manusia spiritual, hubungan antara makna psyche pada zaman dahulu dan zaman modern (hlm 95). Keprihatinan Freud ini, secara implisit juga menunjukkan model keberagamaan yang tidak sehat. Lantas adakah keberagamaan yang sehat?
Erich Fromm, dalam bukunya Psychoanalysis and Religion, menyebutkan agama sebagai sistem yang memberikan manusia kerangka orientasi dan obyek pengabdian. Agama adalah "suatu pandangan dunia" (world view) atau cara dalam melihat dunia ini. Dua orang yang sama-sama mengaku beragama, tetapi yang satu mengalami kemandekan dalam perkembangan rohani, dan yang lainnya sampai kepada perkembangan yang matang, pasti akan mempunyai pandangan dunia yang berbeda.
Mungkin yang satu akan melihat Tuhan sebagai zat yang Maha Kuasa dan selalu menghukum umatnya yang tidak taat, seperti anak kecil yang melihat orangtuanya dalam gambaran Freud (menjadi orang yang terbelenggu dalam otoritas hukum). Yang lain mungkin melihat Allah sebagai simbol cermin pribadi yang harus dituju setiap manusia. Yang terakhir inilah model keberagamaan yang sehat menurut Erich Fromm.
Jika tujuan pokok beragama adalah pencapaian perkembangan rohani dalam diri manusia, dan jika Freud menggambarkan suatu keadaan "neurosis obsesional" dalam diri orang beragama, maka sebenarnya ia sedang menggambarkan suatu fenomena orang-orang gagal mencapai perkembangan rohani itu. Dengan kata lain, apa yang tidak dikatakan dalam teorinya tentang agama, secara implisit sebenarnya sedang dicari bentuk-bentuk beragama yang sehat dan matang secara psikologis. Atau bisa dikatakan, Freud sebenarnya sedang berbicara mengenai hakikat agama sebagai "penyembuhan rohani" (cure of the soul).
BUKU yang ditulis Kang Jalal ini sangat menarik dan menantang wawasan serta perilaku keagamaan kita selama ini. Sangat menarik karena di tangan Kang Jalal yang pakar di bidang komunikasi ini, tema yang kompleks tentang psikologi agama seakan tak pernah kehilangan relevansi dan pesonanya.
Teori-teori yang rumit dari Sigmund Freud, William James, BF Skinner, hingga W Alport, dia kemas dengan bahasa yang mudah dimengerti, sederhana, dan segar. Kita pun ditantang untuk mengukur sejauh manakah keberagamaan kita: sehatkah atau sudah matangkah? Selain itu, wawasan keagamaan kita juga bertambah dengan membaca buku Psikologi Agama ini. Kita akan ditunjukkan betapa pentingnya psikologi dalam agama, sebagaimana dikatakan Kang Jalal, "tanpa bantuan psikologi, para tokoh agama akan salah melakukan diagnosis, dan karena itu juga tidak membantu umatnya".
Itulah salah satu pendapat Kang Jalal dalam buku ini, seraya mengutip pertanyaan Van Deusen Hunsinger tentang perlunya agama menggandeng psikologi untuk "menyelamatkan" domba-dombanya yang tersesat.
Judul Buku : Psikologi Agama- Sebuah Pengantar
Penulis : Djalaluddin Rakhmat
Penerbit : Mizan
Cetakan I : September 2003
Tebal : xviii + 247 halaman
Nurani Einstein berkata dalam salah satu pidatonya bahwa ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta. Pergulatan Einstein dengan sains membawanya menemukan Tuhan. Perkembangan sains sekarang ini menunjukkan ke arah kepedulian terhadap agama. Namun, keduanya, sains dan agama, pernah berperang dan kemudian rujuk lagi. Psikologi, sebagai bagian dari sains juga mengikuti alur perang dan rujuk yang terjadi. Jalaluddin Rakhmat, sang ahli komunikasi ini mengupasnya secara mendetail dalam buku Psikologi Agama-Sebuah Pengantar yang diterbitkan oleh Mizan.
Agama dan Sains
Perkembangan selama ini menunjukkan bahwa sains didominasi oleh aliran positivisme, sebuah aliran yang sangat menuhankan metode ilmiah dengan menempatkan asumsi-asumsi metafisis, aksiologis dan epistemologis. Menurut aliran ini, sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan kebenaran, sains merupakan ‘dewa’ dalam beragam tindakan (sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain). Agama hanyalah merupakan hiasan belaka ketika tidak sesuai dengan sains, begitu kira-kira kata positivisme.
Namun apakah yang dimaksud dengan kebenaran itu? Menurut sains, kebenaran adalah sesuatu yang empiris, logis, konsisten, dan dapat diverifikasi. Sains menempatkan kebenaran pada sesuatu yang bisa terjangkau oleh indra. Sedangkan agama menempatkan kebenaran tidak hanya meliputi hal-hal yang terjangkau oleh indra tetapi juga yang bersifat non indrawi. Sesuatu yang datangnya dari Tuhan harus diterima dengan keyakinan, kebenaran di sini akan menjadi rujukan bagi kebenaran-kebenaran yang lain. Sains dan agama berbeda, karena mungkin mereka berbeda paradigma.
Pengklasifikasian secara jelas antara sains dan agama menjadi suatu tren tersendiri di masyarakat zaman renaiscance dan tren ini menjadi dasar yang kuat sampai pada perkembangan selanjutnya.
Akibatnya, agama dan sains berjalan sendiri-sendiri tidak beriringan, maka tak heran kalau kemudian terjadi pertempuran di antara keduanya. Sains menuduh agama ketinggalan zaman, dan agama balik menyerang dengan mengatakan bahwa sains sebagai musuh Tuhan.
Sejarah tidak dapat menutup mata tentang pertempuran dua kubu ini. Ingatlah ketika Galileo dan Copernicus dihukum oleh Gereja karena penemuan mereka berdua bertentangan dengan Bibel. Disusul kemudian dengan serangan dari teori evolusi Darwin yang mengklaim bahwa segala sesuatu berevolusi dan manusia merupakan hasil evolusi dari kera.
Perseteruan antara agama dan sains dibahas dalam bab 2 dalam buku yang bersampul putih ini. Psikologi merupakan salah satu bidang yang dikaji dalam sains, sehingga psikologi pun pernah mengalami permusuhan dengan agama. Hal tersebut dituliskan oleh Kang Jalal-panggilan Jalaluddin Rakhmat- dalam bab 3 tentang psikologi dan agama yang kemudian dilanjutkan dengan bab 4 tentang psikologi versus agama.
Perseteruan Antara Psikologi dan Agama
Pertempuran antara agama dan sains dalam bidang psikologi (yang merupakan bagian bab 4 dalam buku ini) untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Sigmund Freud, bapak psikoanalisis. Freud yang dilahirkan sebagai keturunan Yahudi dengan sangat tegas menyatakan ketidakpercayaannya terhadap agama. Menurutnya, agama merupakan ilusi, delusi, pengekspresian dari harapan masa kanak-kanak terhadap ketakutan dari bahaya-bahaya kehidupan. Tokoh ateisme ini dalam praktek menghadapi kliennya menemukan bahwa terdapat kesamaan antara tingkah laku orang yang beragama dengan tingkah laku orang yang menderita obsesif neurotis, salah satu abnormalitas dalam tingkah laku. Dengan pemikirannya yang seperti itu, Freud menanggalkan agama “Yahudi” dan menyatakan “psikoanalisis” sebagai panutannya. Bukan Freud namanya kalau tak bisa mempengaruhi orang lain, pemikiran Freud mengilhami dunia di sekitarnya. Sehingga beredarlah label dalam masyarakat saat itu bahwa seseorang yang meninggalkan agama adalah seorang intelektual dan ilmiah sedangkan yang menyandang agama dicap memiliki patologi (penyakit).
Setelah Freud, dalam sejarah aliran psikologi, kita mengenal behaviorisme. Behaviorisme dengan salah satu tokohnya Watson menyatakan bahwa kita tidak mungkin meneliti pengalaman spiritual karena hal itu tidak bisa dibuktikan secara empiris dan tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahannya. Bagi Watson, pengalaman spiritual tidak akan pernah menjadi data sains karena sains modern dibangun di atas dasar empirisme, sesuatu yang bisa diamati dan diuji. Berdasarkan asumsi ini, psikologi yang awalnya mempelajari tentang jiwa beralih meneliti tentang tingkah laku manusia.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan ketika sains mencapai puncak kejayaan, manusia yang mempunyai the soul (jiwa) berkata jujur: “Hidupku hampa walau kubergelimang harta dan kebahagiaan, kukehilangan makna, apa fungsi aku hidup?”. Sains hanya bisa menutup mulut, penjelasannya hanya ada di agama. Sains tertunduk malu, dan agama pun mengajak untuk bersanding bukan bertanding. Di sinilah suatu titik yang membawa perubahan pada perkembangan sains selanjutnya yang juga berpengaruh pada perkembangan psikologi dimana psikologi mulai melirik agama untuk studi-studinya.
Khusus mengenai psikologi yang pro agama diceritakan dalam bab 5 yang sekaligus juga sebagai penutup dari buku terbitan Mizan ini.
Rujuk; Psikologi bersanding dengan Agama
Berawal dari pertanyaan terhadap makna kehidupan, dalam sejarah psikologi kemudian berkembang logoterapi, suatu teknik untuk memberikan makna melalui pendekatan agama. Selain itu juga lahir aliran psikologi transpersonal, yang menganggap pengalaman keagamaan sebagai pengalaman puncak manusia.
Psikologi agama, menurut kang Jalal, adalah studi agama yang dilakukan oleh para psikolog. Psikologi agama sebagai suatu aliran baru dalam psikologi masih belum mempunyai suatu kriteria yang paten tentang bagaimana interaksi antara keduanya. Sehingga timbul pertanyaan tentang pengklasifikasian dari psikologi agama itu sendiri. Apakah kajian psikologi tentang agama merupakan bagian dari psikologi agama, atau apakah kajian agama yang berbau psikologi dapat langsung dikategorikan sebagai psikologi agama, adakah psikologi agama merupakan integrasi dari keduanya-pertanyaan-pertanyaan ini masih belum terjawab secara pasti.
Namun demikian, aliran psikologi agama saat ini cukup memikat perhatian dunia akademis, terbukti dengan keberadaan divisi 36 dalam APA (American Psychological Association) yang mengkhususkan diri untuk pengembangan psikologi agama.
Sekilas buku ini terkesan sebagai buku populer, tapi tampaknya lebih pas untuk disebut sebagai buku yang “agak” ilmiah karena melihat dari paparan yang diajukan penulis dari bab awal sampai akhir. Walaupun “agak” ilmiah, jangan khawatir dulu, bahasanya tetap komunikatif sehingga memudahkan pembaca untuk memahami hasil karya ahli komunikasi merangkap pecinta psikologi ini. Selamat Membaca!
Keberagamaan yang Sehat dan Matang
JUDUL buku: Psikologi Agama: Sebuah Pengantar
PENERBIT: Mizan, September 2003
TEBAL: 247 halaman
AGAMA merupakan kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat karena agama senantiasa hadir dalam kehidupan sehari-hari di rumah, kantor, media massa, pasar, dan di mana pun saja kita berada. Begitu misterius karena agama sering kali menampakkan wajah-wajah yang ambigu (tampak berlawanan) memotivasi kekerasan dan solidaritas kemanusiaan, menumbuhkan takhayul dan mengilhami pencarian ilmu pengetahuan, memekikkan peperangan paling keji dan menebarkan perdamaian paling hakiki.
TERKADANG kita begitu resah, gelisah, dan tak kunjung mengerti ketika menjumpai seseorang yang tampak begitu religius, rajin beribadah, dan terlihat sangat beriman kepada Tuhan, namun pada saat sama bersedia melakukan tindakan kekerasan dan bahkan pembantaian terhadap manusia serta sekaligus mencari pembenaran atau mengklaim tindakan tersebut sebagai kebenaran. Sebagai contoh, kita tak begitu mengerti mengapa Amrozi yang tampak sangat religius tega untuk ikut andil dalam peledakan bom di Bali. Pertanyaan kita adalah: benarkah keberagamaan tersebut? Atau dengan pertanyaan lain: sehatkah keberagamaan seperti itu?
Bagaimana kita dapat mengukur dan memahami keberagamaan yang tampak ambigu tersebut? Agama tentu bisa saja dipelajari dari berbagai pendekatan. Namun, dibandingkan dengan pendekatan lain (khususnya teologi), pendekatan psikologi merupakan pendekatan paling manusiawi dan adil.
Psikologi memperlakukan agama bukan sebagai fenomena "langit" yang serba sakral dan transenden, seperti yang menjadi pendekatan teologi. Pendekatan psikologis ingin sepenuhnya membaca keberagamaan sebagai fenomena yang manusiawi dan menukik ke dalam proses-proses kejiwaan yang memengaruhi perilaku kita dalam beragama. Psikologi, karena itu, memandang agama sebagai perilaku manusiawi yang melibatkan siapa saja, agama apa saja, dan di mana saja. Pendekatan psikologis terhadap agama inilah yang coba dilakukan Kang Jalal (panggilan akrab Prof Dr Jalaluddin Rakhmat) dalam buku terbarunya berjudul Psikologi Agama: Sebuah Pengantar.
Dengan studi kepustakaan yang ekstensif dan analisis yang tajam atas berbagai fenomena keagamaan yang berkembang, buku psikologi agama karya kang Jalal ini memberi kita petunjuk untuk mengukur dan memahami keberagamaan kita. Inilah buku paling serius dan ilmiah yang pernah ditulis seorang cendekiawan Muslim tentang psikologi agama.
SIGMUND Freud, bapak psikologi modern, dalam bukunya The Future of An Illusion mengatakan bahwa pada dasarnya motivasi beragama berasal dari ketakberdayaan manusia melawan kekuatan-kekuatan alamiah di luar dirinya, dan kekuatan naluriah dari dalam dirinya. Agama timbul karena manusia belum mampu mempergunakan kekuatan diri dan akalnya secara maksimal.
Dalam pandangan Sigmund Freud, keberagamaan seperti di atas sebagai sesuatu sikap mirip dengan "neurosis obsesional" yang menjangkiti orang beragama. Agama, kata Freud adalah suatu ilusi yang sengaja diciptakan manusia dalam rangka mengatasi berbagai macam problem psikologis yang menyedihkan, seperti rasa frustrasi, depresi, narsisme atau rasa bersalah yang dihadapi manusia (hlm 41).
Freud sebenarnya sedang menyuarakan suatu keprihatinan etis: bahwa dengan beragama manusia sebenarnya bisa jatuh dalam suasana yang patologis, khususnya kalau akalnya tidak dipakai sebagai jalan mengembangkan kesadaran beragama. Ia merasa berkewajiban untuk menyembuhkan umat manusia dari "gangguan kejiwaan" yang bernama agama (hlm 11).
Freud mengatakan, orang beragama sering berada dalam situasi the feeling of powerlessness (perasaan ketergantungan). Menurut Freud, dengan the feeling of powerlessness itu, orang tak akan pernah sampai pada kedewasaan beragama, justru karena gagal membangun otonomi dirinya sendiri sebagai manusia. Mengapa? Karena the feeling of powerlessness pada hakikatnya berlawanan dengan apa yang dalam tradisi keagamaan disebut sebagai religious feeling (perasaan keberagamaan), yang selalu ditandai dengan tujuan perkembangan spiritual manusia dalam cita-cita pencapaian kebenaran (reason, truth, logos), cintakasih-persaudaraan (brotherly-love), mengurangi penderitaan (reduction of suffering), dan sebagai jalan mendapatkan kebebasan dan tanggung jawab sosial manusia sebagai wakil Tuhan di muka Bumi ini.
Menafsirkan Freud dengan cara ini, seperti yang dilakukan Kang Jalal, akan membawa kita pada sudut pandang lain terhadap psikoanalisis, yang selama ini dalam hampir semua buku filsafat agama sering dilihat hanya secara negatif: bahwa psikoanalisis Freud menyuarakan ateisme. Padahal, justru sebaliknya: Dilihat dari sudut etis, Freud-dengan cara psikoanalitisnya itu-sebenarnya sedang menyuarakan suatu keprihatinan atas penggusuran hakikat agama, yaitu religious feeling, oleh perasaan yang tak terkendali, yang dianggap orang beragama sebagai "agama". Lewat analisis Freud, kita bisa melihat hubungan manusia psikologis dengan manusia spiritual, hubungan antara makna psyche pada zaman dahulu dan zaman modern (hlm 95). Keprihatinan Freud ini, secara implisit juga menunjukkan model keberagamaan yang tidak sehat. Lantas adakah keberagamaan yang sehat?
Erich Fromm, dalam bukunya Psychoanalysis and Religion, menyebutkan agama sebagai sistem yang memberikan manusia kerangka orientasi dan obyek pengabdian. Agama adalah "suatu pandangan dunia" (world view) atau cara dalam melihat dunia ini. Dua orang yang sama-sama mengaku beragama, tetapi yang satu mengalami kemandekan dalam perkembangan rohani, dan yang lainnya sampai kepada perkembangan yang matang, pasti akan mempunyai pandangan dunia yang berbeda.
Mungkin yang satu akan melihat Tuhan sebagai zat yang Maha Kuasa dan selalu menghukum umatnya yang tidak taat, seperti anak kecil yang melihat orangtuanya dalam gambaran Freud (menjadi orang yang terbelenggu dalam otoritas hukum). Yang lain mungkin melihat Allah sebagai simbol cermin pribadi yang harus dituju setiap manusia. Yang terakhir inilah model keberagamaan yang sehat menurut Erich Fromm.
Jika tujuan pokok beragama adalah pencapaian perkembangan rohani dalam diri manusia, dan jika Freud menggambarkan suatu keadaan "neurosis obsesional" dalam diri orang beragama, maka sebenarnya ia sedang menggambarkan suatu fenomena orang-orang gagal mencapai perkembangan rohani itu. Dengan kata lain, apa yang tidak dikatakan dalam teorinya tentang agama, secara implisit sebenarnya sedang dicari bentuk-bentuk beragama yang sehat dan matang secara psikologis. Atau bisa dikatakan, Freud sebenarnya sedang berbicara mengenai hakikat agama sebagai "penyembuhan rohani" (cure of the soul).
BUKU yang ditulis Kang Jalal ini sangat menarik dan menantang wawasan serta perilaku keagamaan kita selama ini. Sangat menarik karena di tangan Kang Jalal yang pakar di bidang komunikasi ini, tema yang kompleks tentang psikologi agama seakan tak pernah kehilangan relevansi dan pesonanya.
Teori-teori yang rumit dari Sigmund Freud, William James, BF Skinner, hingga W Alport, dia kemas dengan bahasa yang mudah dimengerti, sederhana, dan segar. Kita pun ditantang untuk mengukur sejauh manakah keberagamaan kita: sehatkah atau sudah matangkah? Selain itu, wawasan keagamaan kita juga bertambah dengan membaca buku Psikologi Agama ini. Kita akan ditunjukkan betapa pentingnya psikologi dalam agama, sebagaimana dikatakan Kang Jalal, "tanpa bantuan psikologi, para tokoh agama akan salah melakukan diagnosis, dan karena itu juga tidak membantu umatnya".
Itulah salah satu pendapat Kang Jalal dalam buku ini, seraya mengutip pertanyaan Van Deusen Hunsinger tentang perlunya agama menggandeng psikologi untuk "menyelamatkan" domba-dombanya yang tersesat.